Sepinya Masjid Kami

Oleh:
A. Haris ar-Raci

Tak terhitung lagi peluh yang menetes dari badan ini pertanda lelah semakin mendera, dan panas semakin membara. Baju lusuhku sekarang bermandi keringat bagaikan sedang dicuci. Namun kaki tak boleh diam, jalanan yang menanjak ini harus segera kuselesaikan karena inilah satu-satunya cara agar aku segera bisa beristirahat melepas penat.
Gubuk itu masih kelihatan kecil, namun kaki rasanya sudah tak kuat lagi untuk memutar pedal sepeda agar tetap berjalan. Akhirnya kuputuskan menghentikan aktifitas ini dan kucari sebatang pohon yang rimbun untuk menerima tubuhku ini agar bisa mengistirahatkan seluruh persendian badan.
Ah… akhirnya aku bisa menikmati semilir angin. Sejuk terasa menerpa badan. Kusandarkan tubuh pada pohon beringin yang rimbun ini. Kuambil botol minum yang telah kusiapkan sejak dari rumah tadi. Cairan H2O langsung menyelusuri tenggorokan, secepat kilat menembus setiap pori-pori yang sejak tadi kosong ditinggalkan penghuninya. Tanpa diminta sejurus kemudian keringat kembali mengalir, bedanya kini terasa sejuk, sesejuk mata yang semakin lama semakin mengatup.

***

Ketika kubuka mata, pemandangan telah berubah, terik matahari telah redup, tepatnya tenggelam di ufuk barat, hanya semburat merah lembayung yang menggantikan warna langit yang semula biru. He…pohon yang kusandari tadi kini kemana, tak tampak lagi, berganti dengan tiang beton berbentuk persegi, dengan cat perpaduan warna biru muda dan coklat muda.
Sepedaku juga tak tampak lagi di hadapanku, berganti dengan meja kecil yang biasa kusebut dampar. Al-Quran di atasnya telah terbuka tepat pada surat Yasin, sebuah surat yang kubaca secara rutin tiap Kamis, yang pahalanya khusus untuk kedua orangtuaku di alam sana.
Botol minuman yang kupegang tadi, malah berubah menjadi tabung kecil yang biasa kupanggil pulpen. Entah keanehan apalagi ini. Rasanya ini tempat yang sangat aku kenal, kutengok kanan kiri, tampak Pak Dhe Ju yang sedang melaksanakan salat. Sesaat kemudian beliau salam dan langsung berdiri.
“Mana anak-anak Pak Sodron?” tergeragap aku menghadapi pertanyaannya. Apa maksudnya? Anak-anak yang mana, rasanya aku tidak sedang menunggu anak-anak sejak tadi. Jika pertanyaan ini disampaikan sepuluh tahun yang lalu aku akan menjawab, “Mungkin masih di jalan, Pakdhe.” Tapi tidak, tidak mungkin aku menjawab demikian, sebab terakhir kali aku menunggu anak yang mengaji padaku memang sepuluh tahun yang lalu. Ketika tinggal satu anak yang masih setia menekuni huruf-huruf hijaiyah yang telah terangkai di hadapannya.
Itupun tidak lama, sebab tiga bulan kemudian iapun menyerah dengan dirinya sendiri, ketika tak ada teman yang menemaninya berangkat maupun pulangnya.
“Pak Sodron, kok malah melamun, baiklah saya panggil Paijo agar segera ke sini, anak itu memang suka mengulur waktu agar tidak mengaji ke Pak Sodron.” Maksudnya beliau akan menyuruh cucunya agar segera mengaji padaku. Paijo adalah yang kumaksud satu anak tadi.
Dhe Ju segera berlalu, tanpa sempat mendengar jawabanku. Dalam termangu aku masih memikirkan, kenapa aku masih di dalam masjid ini. Bukankah aku telah meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika putus asa telah menerpaku. Sebab semangat untuk membagi ilmu telah lumer bagai lilin yang terbakar api dari sumbu.
Itupun bukan main jauhnya. Terbentang lautan luas yang memisahkan, lebar daratan beratus kilometer tak bisa ditempuh satu hari perjalanan meski pakai motor. Masak hanya karena ketiduran aku bisa sampai di tempat yang telah susah payah aku lupakan. Kucoba rasakan apakah ini mimpi atau kenyataan.
“Haps,” reflek aku pukul kaki yang terasa gatal karena gigitan nyamuk. Hem gatal dan sakit kena pukulan. Ini saja sudah menjadi pertanda bahwa aku tidak mimpi. Semilir angin dari kipas yang di atas plafon semakin menambah keyakinan bahwa aku memang tidak mimpi. Namun, tetap saja aku menjadi bingung, mengapa aku masih seperti dulu, berkopyah bulat, berbaju taqwa, bersarung motif kotak, pakai parfum wangi sabun, duduk di sandaran tiang sebagaimana kebiasaan, dan yang paling utama siap menanti santri untuk belajar mengaji.
“Assalamu’alaikum Ustaz,” Paijo mengagetkanku. Remah-remah kenangan yang masih kucoba susun buyar seketika karena teriakannya. Anak itu segera menuju tempat bangku seraya mengambil al-Quran kesayangannya. Sejurus kemudian ia telah di hadapanku tanpa berkata apa-apa ia memulai mengajinya. Aku hanya diam menyimak. Tentu saja kebingungan masih menderaku, kenapa anak ini masih mengaji padaku bukankah ia telah berkata:
“Ustaz Sodron mulai besok, saya tidak mengaji ke sini, ya?”
“Lho kenapa, Jo?” sakit langsung menonjok ulu hatiku. Tinggal satu anak kini iapun berpamitan.
“Saya ngaji di rumah saja, diajar Ayah, dia kan juga pandai mengaji, Tadz!”
“Pasti bukan karena itu saja alasanmu, kan, Jo?”
“Ehm… sebenarnya saya takut kalau pulang mengaji, Tadz, habis sendirian, sih. Masjid ini kan agak terpencil dari rumah warga.”
“Ooohh…” hanya itu kataku tidak mengabulkan tidak juga melarang. Nyatanya keesokan harinya dan seterusnya dia tidak pernah datang lagi. Ah…tapi kini kenapa Paijo kembali ke hadapanku.
“Sudah, Tadz. Habis ngaji boleh langsung pulang, nggak?” tanya Paijo sedikit merayu. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Paijo beringsut dari hadapanku dang langsung meninggalkan masjid.
Kembali aku termangu. Sebenarnya apa yang terjadi. Kembali aku menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata. Kucoba mengingat-ingat kejadian dulu. Tak terasa kembali aku tertidur.

***

“Ustaz… kok malah tidur sih, aku kira tadi menyimakku lha kok malah tidur!” teriak Surti mengagetkanku. Kubuka mata lebar-lebar. Ya Allah, apalagi ini. Baju kokoku berganti warna biru, sarung samarinda warna sepadan dipadu dengan kopyah hitam. Sedangkan di hadapanku, ada dua gadis, yang satu cantik, Surti yang mengagetkanku tadi dengan temannya yang hitam manis. Sedang menekuri al-Quran di hadapannya.
“Lho ya, sekarang malah melamun,” teriaknya sekali lagi.
“Eh…eh… maaf Ti, aku capek banget, nggak sengaja tidur tadi. Sampai mana tadi?”
“Ini lho Tadz, surat al-A’raf ayat 18.”
Sejurus kemudian aku kembali menyimak mereka. Namun keherananku semakin bertambah. Bukankah tadi Paijo sudah mohon diri. Dan mestinya aku tinggal tadarus sendiri sambil menunggu adzan Isya’ tapi kenapa sekarang malah ada dua anak gadis dengan 4 teman lainnya yang rupanya mereka menunggu giliran. Pasti ada yang tidak beres dengan keadaanku sekarang. Ini hanya halusinasiku. Tapi kalau melihat mereka dan keadaan sekitar mengapa begitu nyata?
“Ustdaz, sekarang giliran saya, ya?” tanya Paiman. Aku hanya mengangguk. Paiman bersama adiknya Paidi mengaji dengan lancar. Setelah selesai…
“Ustaz, anak-anak kok tambah sedikit ya, yang ngaji. Sebentar lagi pasti tinggal saya berdua saja yang ngaji?” tanya Paiman dengan sedih.
“Lha terus memang kamu bisa menjamin kalau kalian berdua mengaji terus?” tanyaku penuh selidik. Tentu saja aku tidak perlu jawabannya. Sebab aku sudah tahu kejadian selanjutnya, kedua anak ini akhirnya tidak mengaji juga sebulan kemudian. Alasannya mereka sudah merasa lancar mengajinya dan hanya perlu tadarus di rumah masing-masing.
Akhirnya aku selesai menyimak ke enam anak ini. Pas ketika adzan isya’ terdengar dari musholla desa tetangga. Segera aku menyuruh Paiman adzan, karena memang dialah anak yang paling senang jika adzan. Setelah jamaah mereka memohon diri secara teratur kembali ke rumahnya.
Wiridan kembali kulanjutkan. Sendirian. Karena Dhe Ju tidak datang sedangkan warga yang lain? Hem…jangan heran sudah berbulan-bulan seusai hari raya Idul Fitri tahun ini mereka sudah tidak lagi menginjakkan kakinya ke masjid. Paling kalau hari Jum’at saja mereka hadir itupun mereka yang tidak bekerja di luar. Jangan tanya Shubuh, Maghrib-Isya’ saja paling cuma aku, Dhe Ju dan anak mengaji yang ikut salat berjamaah. Aku semakin khusyu’ wiridan. Fikiranku melayang entah kemana sampai tak ada lagi yang kufikirkan.

***

“Pak Sodron, anak-anak sudah datang,” Dhe Ju menggoyang-goyangku agar terbangun. Tentu saja aku tergeragap. Kok datang, bukannya tadi mereka sudah pulang sehabis jamaah? Ku tengok ke belakang. Benar, 12 anak telah duduk di masing-masing bangkunya. Mereka tersenyum padaku.
“Taqobbal allohu minna waminkum taqobbal yaa kariim….” Bersamaan dengan menolehnya aku mereka langsung berdoa mengawali mengaji. Aku segera ke bangku yang aku bawa dari rumah tadi.
Tapi kali ini kebingunganku tak kuhiraukan semuanya harus terjelaskan. “Anak-anak sekarang tanggal berapa?”
“Tanggal 31 Januari 2007, Tadz!” jawab Paiman. Terkesiap aku. Bagaimana mungkin aku kembali ke tahun ini. Sedangkan mestinya aku berada di tahun 2017. Tanggal ini merupakan tanggal keberangkatanku ke Pulau Kalimantan. Pulau tujuan untuk menumpahkan segala keputus asaanku, pulau pelarian membuang rasa sesakku yang tak mampu mempertahankan amanah Tuhan mengamalkan ilmu berupa mengajarkan al-Quran pada warga desa tempat tinggalku.
“Mengapa Ustaz Sodron bertanya demikian, masak guru kok lupa dengan tanggal?” protes Surti. Anak ini bicaranya selalu ceplas-ceplos.
“Hari ini tidak ada mengaji, saya hanya ingin berpesan pada kalian tentang suatu hal, dan ini sangat mungkin akan menjadi kenyataan.”
“Ustad seperti dukun saja pakai meramal, apa itu Ustaz, jadi penasaran, nih?” kata Paijo menimpali.
“Hem…begini saya minta maaf, jika nantinya kalian kecewa dengan pengajaran saya. Apapun yang terjadi kalian harus tetap mengaji. Tidak harus pada saya kemana saja kalian mengaji itu terserah sebab ilmu tidak hanya di saya. Masih banyak yang mampu mengajar ngaji seperti saya.”
“Terus kenapa Ustaz berkata demikian?” tanya Surti penasaran.
“Sebab tidak berapa lama lagi, satu persatu dari kalian akan meninggalkan saya dengan berbagai alasan, ada yang karena capek karena sekolahnya pulang terlalu sore, ada yang dari kalian lebih mementingkan latihan sepak bola sehabis maghrib daripada mengaji karena ingin berprestasi, ada juga dari kalian yang tidak ingin mengaji terus karena tidak suka saya, dan masih banyak alasan yang akan kalian kemukakan, intinya kalian tidak mau mengaji lagi.”
“Mana mungkin, Tadz, kami suka kok, apalagi di sini tidak sekedar mengaji tapi kadang Ustaz mengisinya dengan cerita, tafsir, kuis berhadiah, itu membuat kami kerasan.” Kata Paidi penuh keyakinan.
“Ini katamu sekarang, tapi apa yang saya katakan akan terjadi sebentar lagi. Baiklah, daripada saya kalian tinggalkan mungkin sebaiknya saya saja yang meninggalkan kalian dulu, Wassalamu’alaikum.” Kataku mengakhiri seraya berdiri meninggalkan mereka.
“Ustaaadzzz…jangan tinggalkan kami.” Mereka teriak, mereka berlari mengejarku. Tentu saja aku berlari, berlari dan lari terus entah jalanan di depan masjid kini semakin benderang dan tak ada ujungnya, aku menuju ke mana juga aku tak tahu, sampai kemudian…
“Pak-pak bangun, kenapa teriak-teriak di sini.” Keriap mataku terbuka, ada seseorang di hadapanku. He ternyata aku masih di sini, di kaki bukit di bawah pohon yang rindang.
“Mimpi apa, Pak, kok sampai teriak-teriak begitu?” tanya orang itu.
“Ah tidak, hanya gangguan syetan.”
“Oh, ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu.” Orang itu berpamitan.
Entah kenapa aku masih teringat mimpi yang aneh seperti tadi. Dan entah mengapa tiba-tiba perasaan rindu pada kampung tidak tertahankan. Sepuluh tahun hidup sendirian tentu kesepian melanda, apalagi berjuang di Pulau Kalimantan ini tidak ada sanak famili. Tidak juga saling berkirim kabar. Wajar, sebab aku pergi meninggalkan kampung tanpa berpamitan pada siapapun. Mungkin ini saatnya aku kembali ke kampung untuk menengok sanak famili. Atau mungkin saja aku perlu memulai dakwah lagi, tentu dengan metode yang berbeda siapa tahu keberhasilan bisa aku raih.
Segera kutuntun sepeda menuju rumah di atas bukit. Panas terik tak kuhiraukan. Kubulatkan tekad dan mempersiapkan perbekalan untuk kembali mudik.

***

Tiga hari kemudian sampailah aku di Pulau Jawa, tak perlu satu hari ku telah sampai pada kampung asalku. Dengan langkah tegap dan penuh semangat kutenteng tas ransel menuju masjid yang dulu menjadi titik nol perjuanganku. Kurang dari seratus meter masjid itu kelihatan. Cat kusam terlihat, menara yang dulu berdiri gagah pucuknya sudah tak nampak lagi speaker Toanya. Langkahku semakin kupercepat.
Duh! Betapa miris dan pilu rasa hatiku. Bagaimana aku bisa membendung kesedihanku, jika di hadapanku kini bukan masjid yang terlihat, melainkan rerimbunan onak dan duri mengelilinginya. Tembok penuh dengan lumut. Sudah rontok di sana-sini. Kusibak rerumputan untuk melihat ke dalam. Tokek, cicak, kadal, semut berkeliaran seakan menggantikan jamaah salat. Sarang laba-laba menggantung di sana sini.
Tak terperikan yang harus aku bayangkan. Runtuh sudah semangatku, habis sudah tekadku. Bagaimana aku memulai dakwahku sedangkan basis dakwahku ini telah mati suri dilanda zaman sepi, ditinggal para penghuni, di tengah maksiat yang semakin ramai.

Tentang Penulis: A. Haris ar-Raci
Anggota FLP Mojokerto, Pengajar di MI. Bustanul Ulum Perning Jetis Mojokerto

Rate this article!
Sepinya Masjid Kami,5 / 5 ( 3votes )
Tags: