‘September Kelabu’ dan Terorisme

Najamuddin Khairur RijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

September selalu dikenang sebagai titik beranjak mengemukanya kembali perbincangan tentang terorisme. Meski terorisme sama sekali bukanlah istilah yang baru, namun kajian dan perbincangan tentang terorisme kembali mengemuka dalam lima belas tahun terakhir. Terorisme menarik perhatian dunia internasional terutama setelah peristiwa yang dikenal dengan “September Kelabu”, Nine Eleven, atau 9/11. Pasca peristiwa itu, menyusul serangan-serangan teror di berbagai negara tak terkecuali Indonesia, terorisme berhasil menjadi perbincangan yang mewarnai berbagai spektrum keilmuan dan tiada henti dibahas.
Tragedi 9/11
Tahun ini, kita kembali mengenang peristiwa lima belas tahun lalu itu. Pagi itu, Selasa, 11 September 2001. Sekelompok orang tak dikenal menyerang Amerika Serikat (AS) dengan melulu-lantahkan menara kembar World Trade Center (WTC) sebagai pusat kedigdayaan ekonomi AS serta gedung pertahanan Pentagon sebagai pusat kedigdayaan militer AS.
Sekitar pukul 08.45 Eastern Standartd Time (EST) pesawat Boeing 767 American Airlines yang berpenumpang 92 orang, dengan nomor penerbangan 11, menabrak salah satu menara WTC setelah tinggal landas dari Bandara Boston, 45 menit sebelumnya. Pukul 09.30 EST, menara kedua WTC ditabrak oleh pesawat jenis Boeing 767 United Airlines berpenumpang 65 orang, dengan nomor penerbangan 175, setelah tinggal landas dari Bandara Boston, 49 menit sebelumnya. Sementara itu, gedung Pentagon ditabrak pada pukul 09.55 EST oleh Pesawat Boeing 757 United Airlines yang berpenumpang 64 orang dengan nomor penumpangan 93. Pesawat-pesawat itu dibajak oleh sekelompok orang yang kemudian dilabeli sebagai teroris.
Peristiwa ini menjadi sejarah kelam dan mengerikan tidak hanya bagi negeri Paman Sam, tetapi juga bagi dunia. Nyaris tidak ada menyangka bahwa simbol kedigdayaan ekonomi dan kekuatan militer sebuah negara super power akan dihancurkan oleh sekelompok aktor non-negara yang disebut sebagai teroris. Serangan tersebut mempunyai dampak yang besar karena terjadi pada saat AS sedang berada pada masa mendefinisikan kembali perannya sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.
Konsep GWoT
Peristiwa 911 tersebut berhasil mengangkat masalah terorisme sebagai isu yang paling banyak diperbincangkan masyarakat dunia. Pasca peristiwa itu, segera muncul ancaman baru bernama terorisme global yang profesional, efisien dan penuh kejutan namun menimbulkan kematian dalam jumlah besar serta kerusakan luar biasa hebat bahkan lebih jauh daripada itu. Serangan itu sekaligus menjadi starting point bagi pemerintah AS untuk mendeklarasikan perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism/GWoT).
Konsepsi GWoT yang diungkapkan oleh Presiden AS saat itu, George Walker Bush, merupakan pernyataan AS untuk memimpin perang global melawan terorisme. Hal tersebut semakin berhasil dengan dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373 Tahun 2001 yang memuat langkah-langkah dalam menanggulangi terorisme dan mendukung tindakan pencegahan dan pemberantasan terorisme.
Jika tragedi Nine Eleven telah mengubah “wajah AS” dengan menelan korban lebih dari tiga ribu jiwa, maka pada 20 September 2001 telah mengubah “wajah dunia”, yakni ketika Bush mengumandangkan GWoT tersebut. Doktrin Bush itu diungkapkan dengan kalimat “either with us or with terrorism”, Anda ikut dengan kami atau Anda berpihak kepada teroris. Karena itu, setiap negara yang dituding menyokong terorisme dipandang oleh AS sebagai musuh.
Ekspor ide perang terhadap terorisme kemudian menjadi dalih pembenaran atas tindakan politik luar negeri AS. Tampak jelas AS telah mendemonstrasikan praktik politik unilateralis dan arogansi tanpa ragu-ragu. Dengan dalih GWoT, AS mengidentifikasi negara musuhnya untuk selanjutnya melancarkan serangan atau memberikan embargo. Dengan dalih ini pula, AS melancarkan agresi militernya ke Afghanistan yang ditengarai sebagai “rumah” bagi jaringan terorisme yang dituding sebagai pelaku serangan 911, yaitu Al-Qaeda, tanpa mandat yang dapat dipertanggungjawabkan.  Untuk mendapatkan pembenaran atas serangan militer AS terhadap Afghanistan pada 2002, Afghanistan dituduh melindungi teroris bersama Osama bin Laden sebagai pemimpin jaringan teroris internasional Al-Qaeda.
Doktrin GWoT tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi berbagai negara untuk mengesahkan regulasi dalam upaya untuk mencegah, menghadapi, ataupun melawan teroris. Hal ini tidak terkecuali berlaku pula di Indonesia. Hanya sebulan setelah Nine Eleven, Bali diguncang bom pada 12 Oktober 2001 (Bom Bali I).
Merespons itu, pemerintah melakukan langkah konkret dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 dan UU Nomor 16 Tahun 2003. Ekspor perang terhadap terorisme ini kemudian seakan menjadi panasia (obat mujarab) bagi negara-negara di dunia dalam mewujudkan keamanan domestik maupun internasional dengan menanggulangi ancaman teroris.
Celakanya, mereka yang disebut-sebut sebagai teroris notabene-nya beragama Islam. Sehingga, seketika muncul stigma terhadap Islam di mana Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan dan melegalkan kekerasan serta teror. Dalam waktu yang tak lama, masyarakat internasional dilanda Islamophobia, adanya ketakutan terhadap Islam karena orang Islam diidentikkan sebagai teroris.
Setelah 15 Tahun
Terlepas dari itu, setelah lima belas tahun dunia bergerak untuk melawan teroris, nyatanya teror tiada kunjung reda. Serangan teror di berbagai negara masih terus terjadi, teroris pun masih menjadi ancaman nyata. Berbagai upaya telah dilakukan baik dalam konteks domestik berbagai negara, bilateral, multilateral, bahkan global, namun terorisme tidak kunjung mati. Semakin diperangi, jaringan teroris terus bertransformasi dan menebar ancaman di mana-mana.
Karena itu, segala daya dan upaya perlu terus dilakukan dalam melawan terorisme. Hal yang tak kalah pentingnya adalah menemukan “lahan-lahan” subur yang menjadi persemaian kelompok dan jaringan teroris, lalu menyelesaikan beragam faktor penyebab yang melahirkan teroris. “Lahan-lahan” subur yang dimaksud dapat berupa faktor ekonomi, sosial-budaya, politik, maupun ideologis.
Atas dasar itu, pendekatan komprehensif harus dilakukan, setidaknya untuk meminimalisasi potensi teror dan potensi lahirnya teroris. Bukan sekadar mengenang serentetan serangan teror yang masif terjadi di berbagai negara dalam lima belas tahun terakhir, terutama Nine Eleven. Tetapi yang penting adalah bagaimana masyarakat internasional memikirkan dan menemukan beragam cara untuk meminimalisasi ancaman teror dan berkontribusi positif untuk menciptakan situasi tanpa teror. Sebab, kita semua sepakat bahwa terorisme adalah ancaman nyata yang harus dihadapi.

                                                                                                               ————- *** ————–

Rate this article!
Tags: