Sepucuk Senapan yang Bersiul dalam kesendirian Saya

Oleh :
Beri Hanna
Pegiat Kamar Kata Karanganyar & teater Sophiyah

Seorang lelaki tua mengetuk pintu rumah, saat hujan deras dan petir menyambar-nyambar. Saya tidak dapat melihat wajah lelaki tua itu dengan jelas, karena memang begitu gelap dan terhalau jubah panjangnya. Ia tak sempat mengucapkan sepatah kata selain menyodorkan saya sebuah kotak berbalut kertas kado yang indah. Setelahnya, ia seakan lesap bersama air hujan.
Ingatan saya terlempar pada kejadian berpuluh tahun silam. Suatu hari Marzian berulang tahun dan ia datang sendiri mengantarkan sepucuk undangan bergambar boneka hello kitty yang lebih tampak kesepian. Marzian tak sempat duduk barang lima apa sepuluh menit, ia keburu waktu untuk mengetuk pintu ke pintu rumah teman kerabat lain sebagaimana ia datang ke rumah saya. Maka dari itu, saya juga tak sempat banyak bercakap-cakap padanya waktu itu.
Seingat saya, sesaat setelah Marzian pergi, saya berjalan-jalan di sekitar, mencari benda yang tepat untuk hadiah Marzian. Melewati beberapa curam jalan mendaki dan menurun, saya menemukan pedagang senjata tajam. Kalau tidak salah, mata saya tak berkedip saat melihat pisau bercorak naga pada gagang yang berbaris di antara pajangan penjual. Setiba di rumah, saya membungkus pisau bercorak naga itu dalam kotak kado. Tidak lupa sebuah surat ucapan selamat ulang tahun tulisan tangan.
Saya membawa kado persis seperti yang diberikan lelaki tua itu pada saya saat ini. Ya, warnanya, pita merahnya, saya ingat betul bahwa ini adalah kado serupa. Tapi, bagaimana mungkin kado pemberian saya waktu dulu bisa kembali lagi pada saya. Dan siapakah lelaki tua itu sebetulnya. Bagaimana ia bisa tahu alamat rumah saya. Sedangkan saya sudah lama hidup sendiri, makan sendiri, bangun pagi sendiri, dan sudah luma juga saya lupa pada diri saya sendiri. Tak ada siapa pun kecuali saya di sini.
Saya semakin penasaran. Dalam tenggang waktu yang cepat, saya mencabik-cabik bungkus kado, dan saya benar-benar tidak percaya saat melihat sebuah surat tulisan tangan serta hadiah pisau bercorak naga ada di dalamnya. Saya berdiri dan membuang kepala keluar jendela, memerhatikan mungkin lelaki tua itu masih ada di sekitar pohon berlindung dari hujan deras, tapi tak satu apa-apa yang saya lihat selain kegelapan dan suara-suara siulan, seperti dulu.

***

Sebelum pamit pulang dari rumah Marzian, mata saya masih tertuju pada senapan dekat pintu kamar. Saat Marzian sibuk meladeni para tamu yang bergantian pamit, saya bergerak aneh. Entah kenapa senapan itu seperti menggoda saya untuk memilikinya, tanpa sepengatahuan Marzian, senapan itu saya lempar ke luar jendela. Saya merasa bersalah saat melihat foto ayah Marzian yang tergantung di dinding memergoki aksi saya. Tetapi senapan sudah terlanjur saya lempar dan foto itu tidak akan bisa mengatakan pada Marzian kalau saya sudah mencuri. Seolah tak terjadi apa-apa, saya berjalan ke depan. Seperti tamu lainnya, saya turut pamit meninggalkan senyuman untuk Marzian.
Senapan itu sudah menggangu pikiran saya. Saat pertama kali diperlihatkan oleh Marzian, mata saya tidak berkedip, sama seperti saya melihat pisau bercorak naga sebagai hadiah ulang tahun Marzian. Entah kenapa, rasa benci saya melunjak-lunjak ingin mengetahui asal-usul senapan itu, seolah senapan itu membekas dalam hidup saya di masa lalu, masa yang saya lupa kapan dan di mana. Marzian tak banyak bercakap lebih dalam tentang senapan peninggalan almarhum ayahnya itu. ia hanya mengatakan bahwa senapan itu masih berfungsi dengan baik, dan siap meledakkan orang-orang jahat yang mengganggu hidupnya. Sebuah pesan dari almarhum ayah Marzian jika nyawanya lebih dulu pergi dari kehidupan, maka senapan inilah yang akan menjaga Marzian dari segala usaha kejahatan.
Saya sembunyi di balik semak, memastikan bila semua tamu sudah pulang, dan Marzian memadamkan lampu rumah. maka demikian saya memutar menuju samping rumah Marzian untuk mengambil senapan yang saya buang tadi. Saya merasa senang ketika senapan sudah digenggaman. Perjalanan menuju rumah seperti diiringi musik orkestra. Badan saya berjoget-joget. Suara musik semakin besar di telinga saya. Seperti saya memenangkan sebuah lotre miliaran rupiah. Saya merayakannya dengan penuh kegembiraan. Seperti saya punya pengawal pribadi yang siap meledak bila ada yang bergerak berusaha menerkam saya. Berusaha melenyapkan saya. Maka saya merasa aman dari gangguan. Saya juga merasakan getaran nyawa dari senapan ini, seperti ia bagian dari hidup saya. Entah itu apa.
Tetapi gangguan yang datang bukanlah gangguan yang nyata, melainkan gangguan gaib. Sebelum sampai di rumah, saya merasa diikuti oleh seorang. Ia bersiul-siul mengikuti iringan kaki saya. Di jalan yang gelap seperti ini tentu saya merasa takut. Hingga siulnya terdengar seperti sebuah lagu kematian yang ngilu. Bagaimana lagu kematian, entahla. Saya hanya merasa siulnya seperti lagu kematian. Saat saya membalikkan badan tak ada seorang melainkan pohon-pohon saja. Maka saya angkat senapan dan mulai mengancam.
Saya mempercepat langkah kaki saya menuju rumah. semakin cepat kaki saya bergerak, semakin keras siulan itu menggangu telinga saya. Gendang telinga saya meronta-ronta, tubuh saya meliuk-liuk kejang seperti strok.
Saya melompat ke dalam semak untuk mengambil napas sekaligus sembunyi, tapi suara siulan itu masih terdengar melantun di dekat-dekat saya. Berdenging-denging terus. Semakin lama semakin keras seperti seekor serangga bersarang di gendang telinga, berdansa ria menggelar pesta yang amat menyakitkan. Serasa kepala ini hendak pecah.
Belum selesai di sana, suara hentakan-hentakan kaki dari kejauhan menambah runyam nada buruk rupa. Saya tidak dapat berpikir, barang sejenak memandang dari semak-semak seperti sesosok mendekat ke arah saya, sesosok pembawa suara ingin menambah penderitaan saya, tangan saya tergerak mengacungkan senapan ke arahnya dengan tubuh yang meliuk-liuk tak tahan semakin mengorek seisi telinga. Ia terus mendekat menambah suara-suara bersarang semakin garang, saya coba memperingati, tapi ia terus mendekat. Saya tidak tahan dirajam suara-suara aneh yang keras bertumpuk-tumpuk memekakkan. Tepat ketika seseorang itu hendak melompat, saya menembak.
Seketika suara ngilu hilang terbawa ledakan dahsyat. Saya tertegun cukup lama melihat seorang itu telah tergeletak bersimbah darah. Saat saya mendapat sadar dan ingin melihat lebih dekat, saya kembali mendengar suara siulan. Sayup-sayup redup namun jelas sekali. Saya melempar mata ke sekeliling, tak satu tanda selain mayat di depan mata. Saya kembali takut saat siulan tak bisa berhenti. Saya angkat lagi senapan dan mengancam ke segala arah. Saya mual ketika suara itu bertambah dekat, semakin dekat, dan ternyata suara itu berasal dari dalam senapan. Saya balikkan kepala senapan, dan menempelkannya ke telinga. Suara bersiul jelas sekali. Dua bola mata saya ingin melompat melarikan diri, serta jantung hendak pecah terbelah-belah. Maka saya membuang senapan itu lalu berlari tunggang-langgang menuju rumah dengan napas setengah-setengah.
Satu-satunya hal yang membuat saya gila, ketika berita mengatakan bahwa Marzian mati tertembak saat malam mencari senapan peninggalan ayahnya yang dicuri seseorang. Saya tidak percaya dengan apa yang sudah saya lakukan. Maka dari itu saya ingin memastikan secara langsung, mendatangi rumah Marzian. Saat beberapa ratus meter di jalan mendaki, saya melihat darah berbekas di atas tanah, namun tak ada jasad atau pun senapan. Saya semakin meyakini bahwa Marzian benar-benar mati tertembak tidak lain oleh saya sendiri. Saat hendak sampai, memang satu polisi sudah berdiri di rumahnya menyibukkan diri untuk mengungkap kematian Marzian.
Saya memutar arah kaki, berlari ketakutan. Mengemas barang seadanya tak tertinggal foto almarhum ibu dalam pigura, lalu menembus kedalaman hutan. Saya menebang pohon dengan pisau yang saya asah di aliran sungai hingga tajam, mengikat setiap sisinya dengan akar-akaran yang saya temukan. hingga berdirilah rumah kayu yang cukup untuk saya berlindung dan hidup sendirian di antara kesunyian untuk waktu yang cukup lama. Melupakan kejadian malam ulang tahun Marzian, pencurian senapan, dan penembakan dalam gelap, serta siulan yang membuat saya melakukannya.

***

Saya terkesiap saat mendengar pintu rumah kembali diketuk. Saya menarik kepala dari jendela dan lincah menggenggam pisau bercorak naga. Dengan kuda-kuda saya mendekat ke pintu. Keringat dingin berjatuhan di lantai. Angin kencang yang masuk lewat jendela menyapu pigura foto ibu saya dan terjatuh pecah. Saya melompat kaget mengira seorang ingin menyerang dari belakang.
Saya terdiam dan tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Tapi saya percaya dengan apa yang saya dengar saat ini. Ya, suara siulan sepeti dulu sudah mendekat. Saya berjalan pelan ke arah pintu. Sepucuk senapan tergeletak tepat di bawah kaki saya. Saya perhatikan agak lama senapan itu benar-benar bersiul.

***

Tags: