Shalat Istisqo’ dan Bio-pori

Shalat IstisqoRumput di istana Bogor, sudah nampak layu kecokelatan. Daun pohon besar di kebun raya Bogor, juga mulai layu berguguran. Bogor, yang dijuluki “kota hujan” mulai dilanda kekeringan. Di pedesaan di seluruh pulau Jawa, banyak tanah dan ladang merekah. Padahal puncak musim kemarau, lazimnya baru akan terjadi pada bulan September. Saat itu diperkirakan, musim kemarau yang kering dengan situasi udara panas menyengat.
Tetapi kerusakan tanah (mengeras dan pecah-pecah) telah terjadi. Antaralain disebabkan ketahanan tanah makin rapuh, karena penumpukan sisa pupuk dan pestisida yang terurai. Hanya dengan siraman hujan ber-insensitas tinggi (dan cukup lama) bisa meng-gemburkan tanah yang merekah. Namun kondisi tanah telah terlanjur kritis, tak mampu menjadi resapan. Sehingga hujan yang tidak seberapa besar pun sudah meluap, menyebabkan banjir.
Karena itu diperlukan inovasi untuk memulihkan kondisi tanah, sekaligus untuk mencegah banjir. Hujan masih bagai solusi simalakama. Bukan lagi sekadar bermanfaat untuk mengairi sawah dan ladang, serta mengisi bidang resapan bawah tanah. Melainkan juga membawa ancaman. Berdampak banjir yang menyebabkan kerugian ke-ekonomi-an dan korban jiwa. Karena itu beberapa daerah di pulau Jawa (Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah), sudah mulai digelar shalat istisqo’. Tujuannya, berdoa untuk meminta diturunkan hujan dengan intensitas “cukup.”
Tetapi berdoa untuk intensitas hujan yang cukup, wajib pula disertai upaya (aksi) nyata. Lebih lagi, pemanfaatan air (terutama air dalam tanah) telah mengalami pergeseran paradigma.  Semula berfungsi sosial kini menjadi fungsi ekonomi. Dulu, air tanah merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang biasa diupayakan dan dipergunakan secara bersama-sama, bergotongroyong. Namun pada masa kini, air tanah telah menjadi komoditas bernilai tinggi yang diusahakan melalui industrialisasi dengan investasi modal besar.
Pada sisi lain, bidang penampungan air hujan yang dibangun, juga sering gagal menyediakan air untuk mengairi sawah. Misalnya, yang terjadi pada waduk Notopuro di Madiun. Pada Agustus 2013, Waduk yang mengering digunakan oleh warga untuk bercocok tanam. Pada areal (dibatasi) seluas 6 hektar ditanami padi dan palawija. Sedangkan kebutuhan air diperoleh dengan cara memompa air yang masih tersisa, disedot dengan pompa.
Hal yang sama juga terjadi pada waduk Saradan. Kapasita volume tampungan mestinya sampai 500 ribu meter kubik lebih. Kini tinggal separuhnya. Pada kondisi normal waduk mampu menyalurkan 420-an liter per-detik, kini hanya 170 liter. Cakupan areal yang mesti dijangkau seluas 980 hektar sawah. Sangat jauh dari memadai, walau diatur dengan cara buka-tutup bergilir sekalipun.
Musim kering tahun lalu, pemerintah memiliki program aksi nyata me-mimalisir dampak kekeringan. Yakni melalui kinerja BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dengan anggaran sebesar Rp 90 miliar. Misinya, membantu daerah-daerah yang mengalami kekeringan dan krisis air. Dana tersebut di-substitusi untuk penyediaan air bersih dan pengeboran sumur. Khususnya    daerah “langganan” bencana kekeringan seperti NTT, NTB, seluruh pulau Jawa, dan Lampung.
Musim kemarau kering, biasanya kurang dianggap sebagai bencana. Padahal bencana yang disebabkan oleh klimatologis (ke-iklim-an), secara tekstual masuk dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 1 (ketentuan umum) butir ke-14, dinyatakan: ” Rawan bencana adalah kondisi… klimatologis,… yang mengurangi kemampuan mencegah … dampak buruk bahaya.”
Kemarau kering realitanya dapat menyebabkan dampak buruk berupa gagal panen (secara ke-ekonomi-an). Juga berbagai timbulnya berbagai penyakit karena buruknya sanitasi. Maka penanggulangan dampak bencana kemarau kering, harus lebih sistemik dan inovatif. Misalnya dengan fasilitasi pembuatan bio-pori berteknologi (sederhana) memanfaatkan energi nuklir dari sinar matahari.

                                                                                                          ———- 000 ———–

Rate this article!
Tags: