Siaga Banjir Bandang

foto ilustrasi

Banjir bandang telah mengubah jalan raya bagai menjadi aliran sungai ber-jeram deras. Di Bandung aliran banjir bisa menghanyutkan mobil. Ibukota propinsi Jawa Barat dalam dua bulan telah dua kali terendam banjir, karena luapan sungai Citepus. Sungai Citarum sangat diwaspadai, karena luapannya lebih dahsyat. Sedangkan ibukota negara, Jakarta, mewaspadai sungai Ciliwung. Serta dua propinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur) ekstra waspada sungai Bengawan Solo.

Musim hujan lazimnya akan berpuncak pada bulan Januari. Seluruh daerah di pulau Jawa seyogianya siaga (darurat) banjir. Sekaligus menyusun mapping rawan bencana, terutama pada kawasan cekungan di pantai utara dan kawasan pantai selatan. Banjir dan longsor seolah tak surut dengan berbagai proposal dan program pemerintah. Ribuan area banjir dan longsor nampak tersebar dari Lhokseumawe (di Aceh) sampai Larantuka (di Flores).

Bahkan setiap musim selalu menambah area baru tergenang, dan luruhan longsor baru. Sudah banyak pemerintah daerah (Pemda) meng-antisipasi cepat dampak bencana. Namun tak jarang Pemda terlambat menetapkan kondisi darurat. Juga abai terhadap penyusutan daya dukung lingkungan. Sungai yang menjadi tanggungjawab pemerintah propinsi, serta sungai “milik” kabupaten dan kota, juga sering meluap.

Misalnyai di Cilacap (Jawa Tengah), sungai Cimeneng telah meluap, merendam 5 kecamatan. Di Semarang, sungai Banjir Kanal Timur (BKT), dan sungai Beringin juga biasa meluap. Dampak bencana banjir (dan longsor) selalu terasa pedih. Kerugian materi pada tingkat rakyat (rumahtangga) sangat besar, berupa kerusakan sawah dan kebun. Serta terputusnya akses infrastruktur perekonomian lain (pasar, jembatan dan jalan). Kerugian materi lebih besar dibanding akibat kebakaran lahan dan hutan. Bertambah pedih, karena selalu terdapat korban jiwa.

Penetapan status darurat bencana seyogianya tidak perlu menunggu sampai dampak bencana terasa lebih besar. Penanganan dampak bencana akan lebih rumit. Secara lex specialist, tanggap bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Diberikan kewenangan kepada pemerintah (nasional), dan pemerintah daerah (propinsi maupun kabupaten, dan kota) menetapkan status ke-tanggap darurat-an.

Pada pasal 51 ayat (1) dinyatakan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah (pusat). Skala bencana nasional, disebabkan pemerintahan propinsi dipastikan tidak dapat menanggung dampak bencana. Dalam ayat ke-2 dinyatakan, bahwa untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden. Skala propinsi dilakukan oleh Gubernur, sedangkan untuk skala kabupaten dan kota dilakukan oleh Kepala Daerah masing-masing.

Audit lingkungan patut menjadi program periodik Pemda (Pemerintah Daerah). Karena menyusutnya daya dukung lingkungan, niscaya akan menghadirkan bencana periodik pula. Setiap musim hujan selalu terjadi bencana. Pasti pula akan mengurangi potensi perekonomian yang diusahakan oleh masyarakat. Khususnya sektor pertanian, dan perdagangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) sangat rentan terhadap bencana banjir.

Berdasar data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) tercatat, setidaknya terdapat 315 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya. Dampak banjir (tingkat sedang dan parah) selalu mengintai pada musim hujan. Ini meng-akibatkan sekitar 63,7 juta jiwa penduduk berisiko terpapar dampak banjir. Bulan Januari – Maret, bagai menjadi periode ke-prihatin-an di pulau Jawa. Semakin banyak daerah sentra pangan gagal panen besar. Juga bagai “jeda” melaut nelayan.

Ke-prihatin-an semakin komplet, manakala bencana tanah longsor makin masif terjadi. Berdasar mapping kebencanaan, tanah longsor mengancam 274 kabupaten. Ironisnya, kinerja urusan sungai mengendur disebabkan pemerintah (dan daerah) fokus pada urusan pandemi CoViD-19. Pemerintah perlu menggelar Toko Tani Indonesia (TTI) operasi pasar, dan bazaar sembako murah.

——— 000 ———

Rate this article!
Siaga Banjir Bandang,5 / 5 ( 1votes )
Tags: