Siaga Darurat Bencana

Kawasan selatan khatulistiwa akan selalu diliputi iring-iringan awan hitam cumulus nimbus. Berdasar prakiraan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), hujan dengan intensitas sedang sampai lebat akan tercurah di sepanjang Sumatera bagian selatan, dan seantero pulau. Juga Bali hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Sehingga diperlukan antisipasi meluapnya sungai-sungai besar, karena tak mampu menampung curah hujan.
Daya dukung lingkungan semakin susut seiring alih fungsi lahan. Tak terkecuali penyusutan bantaran sungai. Serta kawasan catchment area (area tangkapan air hujan) di pegunungan telah semakin gundul. Hutan yang semula dipenuhi pohon tegakan menjulang di punggung bukit, telah berubah menjadi kebun sayur, dan kebun teh. Serta sebagian dijadikan usaha penanaman kayu pohon sengon.
Di Jawa Timur, tiga daerah ujung barat (Pacitan, Ponorogo, dan Trenggalek), menjadi prioritas pengawasan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Juga menjadi kawasan perhatian seksama BPBD propinsi serta BPBD kabupaten. Tiga musim lalu (awal April 2017) di Ponorogo (Jawa Timur), terjadi longsor area perbukitan gundul. Merenggut 60 korban jiwa. Siapa tak miris dengan banjir dan longsor, yang bisa menyergap setiap saat mengancam jiwa.
Pengawasan terhadap kawasan bencana diatur secara lex specialist dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sehingga pengenalan terhadap bencana seharusnya menjadi mandatory (kelaziman wajib). Pada pasal 38 huruf a, dinyatakan, “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.”
Juga diwajibkan audit istemik dan periodik kawasan “langganan” bencana. Pada pasal 38 huruf b, dinyatakan, “kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.” Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi. Bahkan sebelum ke-parah-an terjadi, pemerintah, dan daerah diberi wewenang penetapan status darurat bencana.
UU Nomor 24 tahun 2007 pada pasal 51 ayat (2), menyatakan, penetapan status darurat bencana skala nasional dilakukan oleh presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, serta skala kabupaten dilakukan oleh bupati, dan skala kota dilakukan oleh walikota. Di Jawa Timur, Gubernur telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang Status Siaga Darurat Bencana Hidrometeorologi. Serta sebanyak 15 kabupaten dan kota menerbitkan SK yang sama.
Masih terdapat beberapa daerah (kabupaten) “langganan” banjir parah, tetapi belum menerbitkan SK Status Siaga Darurat Bencana. Antara lain, Gresik, Sampang, dan Trenggalek. Namun penanggulangan bencana, niscaya tak cukup hanya dengan menerbitkan SK. Melainkan harus disertai kinerja sistemik melalui prosedur operasional, dan standar minimal pelayanan. Termasuk ketersediaan peralatan pertolongan, evakuasi, dan pencarian korban.
SK Status Siaga Darurat Bencana, wajib menyertakan tim personel terampil “Tagana” (Taruna Siaga Bencana), selain pegawai BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Tagana berfungsi sebagai pelaksana rantai komando pertolongan korban hingga penyediaan kebutuhan dasar pada lokasi pengungsian. Lazimnya, setiap daerah rawan bencana telah memiliki kelompok Tagana, dibentuk dari kalangan masyarakat setempat.
Tetapi tiada bencana datang tiba-tiba. Pasti selalu diawali warning alamiah. Banjir selalu diawali menyusutnya kawasan resapan di perbukitan yang beralih fungsi. Tiada lagi pohon tegakan yang mampu menahan curah hujan, langsung meluncur ke perkampungan. Bahkan punggung perbukitan tergerus menjadi longsor. Bantaran dan plengseng sungai juga tergerus derasnya aliran (sampai mampu menjebol konstruksi beton kaki jembatan).
Trauma moril, kehilangan harta dan hancurnya sarana nafkah, sudah kerap terjadi akibat dampak banjir dan longsor. Nestapa korban jiwa anggota keluarga juga kerap dialami.
——— 000 ———

Rate this article!
Siaga Darurat Bencana,5 / 5 ( 1votes )
Tags: