Hari-hari akhir tugas sebagai anggota parlemen, DPR masih mengebut penyelesaian Rancangan Undang Undang (RUU). Dengan suasana kebatinan yang gegap gempita, sampai larut malam meliputi rapat paripurna DPR-RI. Hujan interupsi, berebut pengeras suara sampai menggebrak meja. Pemandangan kerja keras di penghujung periode (2009-2014), itu berujung pada pemungutan suara untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Hasilnya, pilkada Bupati dan Walikota akan dipilih oleh DPRD setempat.
RUU itu memang cukup berat. Bahkan telah dibahas selama 3,5 tahun. Forum rapat paripurna (dihadiri hampir 500 anggota dari jumlah total 560 orang) dihadapkan pada dua pilihan. Yakni, opsi pilkada langsung (dipilih oleh rakyat, seperti 10 tahun terakhir). Serta opsi kedua, dipilih oleh DPRD (sudah pernah dilakukan sejak tahun 1978 sampai 2008). Sebenarnya terdapat opsi ketiga yang diusulkan oleh fraksi Partai Demokrat (F-PD), yakni pilkada langsung dengan perbaikian sistem.
Tetapi opsi yang digagas F-PD gagal disepakati sebagai “pilihan tengah.” Sehingga tetap pada dua opsi awal. Inilah yang menyebabkan F-PDI memilih walk-out meninggalkan forum paripurna. Tidak turutnya F-PD dalam voting terhadap dua opsi, menyebabkan kelompok pendukung pilkada langsung menjadi minoritas. F-PD di DPR memang menjadi bandul penentu dalam voting, antara koalisi merah putih (Golkar, PPP, PKS, PAN, dan Gerindra) dengan koalisi PDIP, PKB dan Hanura.
Pilkada merupakan amanat UUD pasal 18 ayat (4). Bunyinya, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.” Hasil amandemen kedua ini di-breakdown dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 56 ayat (1) yang ditafsirkan sebagai dipilih langsung oleh rakyat.
Terdapat perbedaan antara Pilkada dengan Pilpres. Dalam UUD, amanat pilpres tercantum pada pasal 6A ayat (1). Dinyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Nyata-nyata terdapat amanat tatacara pemilihan, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat. Sedangkan pada pilkada, tidak terdapat kata langsung oleh rakyat. Melainkan dengan frasa kata “dipilih secara demokratis.”
Lebih lagi secara ke-regulasi-an, pilkada bukanlah rumpun pemilu. Karena dalam UU tentang Pemilu yang disebut hanya pemilu legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Begitulah yang dimanatkan UUD pada BaB VIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E. Yang dikelompokkan sebagai pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD (ayat ke-2).
UUD pasal 22E ayat (1) menyatakan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Nyata-nyata terdapat frasa kata “langsung,” yang berarti dilaksanakan melalui pilihan oleh rakyat. Sedangkan untuk pilkada, UUD 1945 (yang telah diamandemen) mengatur tersendiri perihal Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4). Tidak terdapat amanat dipilih secara langsung.
Tetapi pilkada dipilih oleh DPRD maupun secara langsung, sebenarnya sama demokratisnya. Dalam hal kecurangan pun sama peluangnya. Tetapi pilkada oleh DPRD tidak memperhadapkan rakyat secara diametral dalam kubu-kubu kontestan pasangan calon Kepala Daerah. Dan konon DPRD lebih memiliki “saringan” untuk me-minimalisir praktik politik dinasti. Misalnya, pencalonan Kepala Daerah oleh keluarga dekat Kepala Daerah incumbent. Ada anak (yang masih belia, dibahwa 30 tahun), adik, istri Kepala Daerah incumbent sukses memenangi pilkada.
Namun pilkada oleh DPRD juga berpotensi terjadi KKN (Kolusi, korupsi dan nepotisme) antara pasangan calon dengan parpol (fraksi di DPRD). Tetapi itu menjadi tupoksi KPK untuk lebih aktif meneropong pilkada. Lebih mudah menangkap tangan pelaku KKN pada pilkada oleh DPRD. Rakyat juga turut mengawasi pilkada!
—————- 000 —————–