Siapkah Sekolah Meluluskan ?

Mahfudh FauziOleh:
Mahfudh Fauzi
Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Daerah Kudus

Sesuai dengan ketetapan Kementerian kebudayaan dan pendidikan dasar dan menengah (Kemenbuddik Dasmen) Anies Baswedan, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk SMA/sederajat tanggal 13-15 April 2015, dan SMP/sederajat tanggal 4-7 Mei 2015. Sedangkan untuk pelaksanaan Unas, telah dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang tertuang dalam Prosedur Operasional Standar (POS).
Namun, tahun ini ada pemandangan berbeda terkait pelaksanaan UN. Anies Baswedan telah malakukan trobosan dengan memformat ulang ujian nasional dan akan menggantinya menjadi Evaluasi Nasional (EN). Jadi tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, UN masih menjadi buah bibir dalam dunia pendidikan. Sebelumnya prosentase nilai UN lebih banyak berbanding 60% : 40% dengan rapot siswa. Sedangkan tahun ini sebaliknya, pihak sekolah yang memiliki hak lebih untuk menentukan lulus atau tidaknya anak didik.
Perubahan tersebut termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 68, bahwa UN menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk (a) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, (b) sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (c) sebagai dasar pembinaan dan pemberinan bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutut pendidikan, dan (d) bukan sebagai penentu kelulusan dari satuan pendidikan. (Media Indonesia, 02/02/15)
Dengan demikian, ujian nasional yang sebelumnya dianggap sebagai momok dunia pendidikan akhirnya terhapus. Pihak siswa, wali murid, guru, bahkan pegawai sekolah setidaknya dapat bernapas lega. Sebab, akibat stigma UN yang berlebihan, ujian yang semula profan dianggap sakral. Banyak cara ditempuh untuk setidaknya dapat mempermudah dalam mengerjakan soal ujian. Mulai melakukan kegiatan magis sampai ritual religius, pra-UN menjadi waktu taubat sesaat seperti ingin menghadapi perang hidup-mati. Ironis.
Menilik Kesiapan Sekolah
Perubahan format UN bukan berarti menyisakan suka cita semata. Jika ditela’ah lebih mendalam, sekolah justru kewalahan untuk menjalankan trobosan baru Anies Baswedan. Logika mudahnya, jika sekolah prosentasinya lebih banyak dalam menentukan kelulusan siswa, maka beban sosialnya sangat kuat. Apabila ada siswa yang tidak lulus, maka orang tua akan berusaha mati-matian melobi sekolah untuk meluluskan anaknya.
Kemudian, jika ternyata angka ketidaklulusannya banyak, maka nama almamater pasti tercoreng. Akhirnya berdampak menurunnya prosentase penerimaan siswa baru. Dilema. Sekolah pasti kebingungan atas regulasi pendidikan yang selalu berubah. Sebab, sekolah belum memiliki kekuatan penuh untuk menjalankan kebijakan itu. Memang problematika ini sudah ‘usang’, ketika kelulusan masih didominasi nilai UN, tidak sedikit sekolah yang melakukan kecurangan. Lantas bagaimana jika sekolah diberi hak lebih?
Jika sekolah diberi hak lebih dalam meluluskan siswa, pasti peluang kecurangan sangat terbuka lebar. Nah, untuk mensiasati masalah tersebut, maka pemerintah harus sigap dan tegas mengawal dengan payung hukum yang kuat. Pengawasan pemerintah sangat dibutuhkan oleh semua pihak yang terkait, terutama sekolah. Pertama, untuk menanggulangi ketidakpuasan pihak siswa dan wali murid. Kedua, untuk menghalangi hasrat bertindak curang dalam pelaksanaan kelulusan.
Seharusnya, pihak sekolah juga harus lebih profesional dan bersikap lebih kritis. Bagaimanapun juga, kebijakan memformat ulang ujian nasional dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan bangsa Indonesia. Apakah tidak malu indeks nilai kualitas pendidikan kalah dengan negara tenangga? Apakah mau seperti ini terus, pendidikan nasional stagnan dan cenderung degradasi? Apakah mau seperti ini terus, instansi pendidikan hanya bisa mencetak generasi perusak?
Proyek Jangka Panjang
Harapannya format ulang UN tidak menyisakan masalah lain. Terkhusus kepada siswa, eksistensi ujian tidak dianggap sebagai ancaman namun tantangan. Jika dianggap sebagai tantangan, maka jauh hari akan menyiapakan diri untuk menghadapi ujian. Dengan giat belajar, melatih daya ingat, melatih daya respon, melatih kepekaan, dan tidak lupa rajin beribadah. Jika hal demikian dilakukan, maka ujian tak dianggap sebagai momok, namun ujian adalah sebuah momen yang paling dinantikan.
Di sisi lain, pihak guru juga harus menciptakan proyek jangka panjang. Dari awal, setidaknya guru sudah mengenalkan konsep dan mekanisme UN. Guru juga harus rajin melatih kesehatan otak siswanya, dengan hipnoterapi atau dengan game yang bernuansa edukasi. Selanjutnya, karena bangsa Indonesia mengusung asas kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa, maka guru harus terlibat dalam hal peribadatan siswa. Sia-sia jika usaha tanpa dibarengi doa, begitupun sebaliknya.
Penguatan pendidikan nasional mau-tidak mau harus dilakukan. Sebab, bukan hanya Anies Baswedan yang menyatakan pendidikan Indonesia gawat darurat. Jauh hari Gusdur dalam buku Menggerakan Tradisi, menyatakan pendidikan kita dapat dikatakan dalam keadaan kritis.  Karena itu, usaha pemerintah dalam penyemaian tekhnologi pendidikan perlu digalakkan kembali. Pasalnya, kebutuhan tekhnologi dalam dunia pendidikan sangat urgen. Pendidikan harus hidup dan berkembang sesuai dengan sosiokultural dan kebutuhan pelajar.
Oleh sebab itu, hadirnya tekhnologi harus disambut dengan hangat oleh dunia pendidikan Indonesia. Dengan sistem e-pendidikan, maka proses pembelajaran siswa akan semakin efektif dan efisien. Ingat bahwa fasilitas merupakan salah satu penunjang utama atas keberhasilan pendidikan. Jika pemerintah hanya fokus terhadap materi kurikulum tanpa mempertimbangkan fasilitas tekhnis, maka perkembangan dunia pendidikan akan timpang. Justru modernisasi dan dinamisasi pendidikan merupakan proyek jangka panjang paling ampuh.
Wallahu a’lam bi al-shawwab

                                                                                          ———————– *** ————————

Rate this article!
Tags: