Siapkan Tiga Model Pembelajaran untuk SLB

Pelaksanaan UNKP dan USBN di SLB Negeri Kota Batu.

Sesuaikan Kemampuan Anak, Orangtua Bisa Memilih
Dindik Jatim, Bhirawa
Tiga model sistem pembelajaran bagi sekolah berkebutuhan khusus atau SLB(sekolah Luar Biasa) disiapkan Dindik Jatim untuk pendidikan inklusi dan anak berkebutuhan khusus. Tahun ini sebanyak 19.265 siswa dari 71 SLB Negeri dan 373 SLB swasta melaksanakan pembelajaran daring.
Model sistem pembelajaran bagi sekolah berkebutuhan khusus (SLB) selama masa pandemic yang disiapkan ini terdiri sistem daring, orangtua datang kesekolah dan guru melakukan home visit.
Dijelaskan Kepala Bidang Pembinaan PKPLK Suhartono, penerapan tiga sistem pembelajaran ini berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan dengan MKKS se Jatim dan pengawas pendidikan khusus di Jatim, selama rentan waktu Maret-Juni untuk mengukur kesiapan sekolah berdasarkan program kerja.
Di mana sebanyak 11 persen sekolah tidak menyusun program kerja, dan 89 persen lainnya menyusun. Sedangkan untuk model pembelajarannya, ada enam yang digunakan sekolah.
“Seperti 5 persen menggunakan video call/video conference, 9 persen aplikasi online untuk penugasan melalui laporan wa (whatsapp), 14 persen penugasan bukan menggunakan aplikasi dan diserahkan saat masuk dan 24 persen penugasan manual, serta 29 persen model lain. Dari hasil ini kita bikin 3 model pembelajaran ini,” ujar dia.
Dari tiga sistem pembelajaran tersebut wali murid bisa memilih model pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan untuk putra-putrinya. Jika menggunakan sistem daring, maka peran guru yang didorong untuk membuat model pembelajaran inovatif sesuai kemampuan anak.
Namun, jika wali murid terkendala secara sarana prasarana, dengan kata lain terbatas secara kuota atau media komunikasi maka bisa menggunakam sistem kedua dengan orangtua datang ke sekolah untuk mengambil materi siswa untuk pembelajaran mandiri.
“Atau jika merasa khawatir dengan adanya Covid-19 atau kesulitan dalam pembelajaran siswanya karena hambatan tertentu, guru bisa mendatangi rumah siswa yang betul-betul tidak bisa hadir kesekolah untuk dilakukan pendampingan selama pembelajaran,” jabar Suhartono.
Diakui Suhartono, tiga cara tersebut, dinilainya mampu memfasilitasi pembelajaran dimasa pandemi. Sebab, selama pandemi controling guru juga terus dilakukan yang juga melibatkan pengawas.
“Ini ada laporan. Jadi apa yang dilakukan oleh guru dan siswa setiap akhir bulan ini dilakukan laporan,” jabarnya.

Pakar ABK: Harus Ada Kolaborasi Guru dan Orangtua
Sementara itu, Pakar Pendidikan ABK Unesa, Prof Dr Budiyanto menyebut ada tiga faktor yang harus disiapkan tidak hanya bagi guru atau tenaga pendidik, melainkan juga orangtua dalam pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Yakni dari dimensi komunikasi, dimensi teknis dan dimensi pembelajaran. Sebab, jika dilihat dari sisi waktu dikelompok tertentu seperti autis dan hambatan komunikasi, faktor komunikasi menjadi penentu dalam memahami pembelajaran.
“Kalau offline atau tatap muka, guru dapat menyesuaikan kondisi anak. Tapi ini kan menggunakan sistem online jadi tidak bisa. Karena yang berkitan dengan emosi ini tidak bisa menjangkau. Ini menjadi PR orang tua untuk menyiapkan anak dalam belajar. Dalam konteks ini yang harus disiapkan selain anak adalah juga orangtua dan keluarga,” jelas dia.
Persoalan lain, juga berkaitan dengan kemampuan komunikasi anak. Dalam hal ini anak menjadi faktor utamanya. Pasalnya untuk ABK, dalam belajar (daring, red) tidak semua memiliki komunikasi yang baik. Misalnya, anak dengan celebral palsy atau tunadaksa yang memiliki hambatan pada sistem motorik otak.
“Untuk kasus ini orangtua tidak mengerti anak ini ngerti atau enggak (materi pembelajarannya) karena mereka tidak bisa mengekspresikan. Termasuk anak autis dan sebagainya. Beda dengan guru yang memang memahami ekspresi atau gerak tubuh mereka,” urainya.
Karenanya, dalam sistem pembelajaran daring ini, kata dia, harus ada interaksi guru ke orangtua untuk memahamkan materi yang akan diberikan. Karena jika tidak sepaham maka tidak ada peluang untuk menekan anak..
“Jadi harus ada kolaborasi. Ini teknis entraksionalnya. Artinya panduan sederhana harus tetap ada. Agar pendampingan juga optimal. Orangtua harus memiliki kompetensi lebih. Sehingga mereka juga tahu apa yang harus dipelajari oleh anak dan bagaimana cara mempelajarinya,” jelasnya. [ina]

Tags: