Siasat Produsen Tempe di Tengah Melambungnya Harga Kedelai

Salah seorang produsen tempat Nur Alip ditempat pembuatan tempe di Sentra Industri Tempe Sumber Taman, Kecamatan Wonoasih. Dia tetap mempertahankan kualitas di tengah mahalnya harga kedelai. [wiwit agus pribadi]

Tak Mau Campur Bahan Baku demi Pertahankan Kualitas, Hanya Perkecil Ukuran
Probolinggo, Bhirawa
Harga kedelai di Kota Probolonggo naik dari Rp7.500 menjadi Rp 9.400 per kilogramnya. Para pengusaha tempe di kota ini pun harus memutar otak untuk mencegah kerugian. Seperti memperkecil ukuran tempe, karena menaikkan harga tempat suatu hal yang tidak mungkin.
Salah seorang pengusaha tempe di Kelurahan Sumber Taman, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, Nur Halid mengatakan, naiknya harga kedelai mulai dirasakan jelang Natal 2020. Meski begitu, Nur Halid tak berhenti memproduksi tempe yang sudah menjadi mata pencaharian keluarganya selama bertahun-tahun. Hanya saja dia mengurangi ukuran tempe yang dijualnya.
“Seharusnya satu plastik cetak diisi dengan dua kilogram. Tapi saat ini diisi 1,7 kilogram saja. Harga jual tetap seperti harga normal, namun ukurannya dipertipis. Secara otomatis pendapatan ikut berkurang,” jelas Nur Halid saat ditemui, Minggu (17/1) lalu.
Sementara Sri Astutik, istri Nur Halid mengaku, dalam usaha tempenya itu bisa menghabiskan waktu 1,5 sampai 2 kwintal kedelai impor. Semua hasil produksi tempe dijual di pasar daerah Kabupaten Lumajang.
Tidak hanya Nur Halid dan istrinya, semua warga yang mempunyai usaha tempe di kampungnya juga tetap berproduksi. “Karena saya tidak ingin kehilangan pelanggan. Jadi meski mahal harga kedelai kita tetap produksi. Jadi pembeli harus juga paham meski ukuran tempe tidak seperti saat harga kedelai normal,” ujar ibu dua anak ini.
Sri juga mengaku, usaha tempe yang digelutinya itu mampu menghidupi keluarga dan juga bisa menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. “Saya berharap agar harga kedelai segera turun dan kembali normal seperti semula,” paparnya.
Dalam sepekan terakhir, sejumlah konsumen tempe di Kota Probolinggo merasakan ada yang berbeda dengan tempe yang mereka beli. Dengan harga yang sama, ukuran tempe menjadi lebih tipis. Kondisi ini dirasakan terutama oleh ibu rumah tangga yang biasa membeli tempe. Meskipun dari segi rasa, tempe yang dikonsumsi tidak banyak berubah.
“Tempenya lebih tipis. Kelihatan sekali saat digoreng. Anak-anak jadi nanya, kok tempenya lebih kecil. Tapi kalau dari rasa tidak beda jauh,” ujar Wilujeng, ibu rumah tangga di Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran.
Bagi konsumen tempe seperti Wilujeng, bentuk tempe yang lebih tipis tidak berpengaruh besar untuk konsumsi keluarga. Tiap hari pun tetap beli tempe. Namun berbeda lagi dengan para perajin tempe. Mereka harus memutar otak untuk terus bertahan di tengah bahan baku yang terus melambung.
Ya, saat ini harga kedelai impor sebagai bahan baku tempe memang melambung tinggi. Kedelai hampir mendekati Rp 10 ribu per kilogram sejak setelah Natal sampai saat ini.
Nur Alip, salah satu perajin tempe di Sentra Industri Tempe Sumber Taman, Kecamatan Wonoasih. Dia pun harus memutar otak menghadapi kenaikan harga bahan baku tempe. “Harga kedelai memang tidak sampai Rp 10 ribu per kilogram. Sekarang ini kedelai biasa Rp 9.400 per kilogram. Kalau sudah diselep harganya Rp 9.600 per kilogram. Padahal harga normalnya hanya Rp 7.500 per kilogram,” ujarnya.
Alip menjelaskan, kenaikan harga kedelai menjelang akhir tahun sudah sering terjadi. Namun, kenaikan harga tahun 2020 sangat tinggi. “Kedelai yang kami gunakan untuk tempe ini kedelai impor. Kami tidak tahu kenapa harganya sampai sepanjang itu. Apa mungkin memperlihatkan oleh importir,” terangnya.
Bapak dua anak ini memastikan, perkiraan saat kedelai ini masih lancar di Kota Probolinggo. Sehingga setiap hari dia tetap bisa produksi seperti biasa. “Cuma ya mahal. Kami tetap produksi dua kuintal setiap kedelai hari. Tapi ukuran tempe disiasati lebih tipis,” lanjutnya.
Biasanya dalam satu kantong plastik tempe diisi 2 kilogram kedelai. Namun, karena harga kedelai naik, dia hanya mengisi dengan 1,7 kilogram kedelai. “Jadi dikurangi 300 gram tiap satu kantong plastik. Harganya tetap sama, kami jual Rp 15 ribu per pak. Kalau pedagang keliling jualnya Rp 20 ribu per pak tempe,” tandas Alip.
Sebenarnya perajin tempe bisa saja mencampur kedelai dengan bahan lain. Sehingga, kedelai yang dibutuhkan tidak terlalu banyak. Misalnya, mencampur kedelai dengan serutan pepaya. Namun, itu tidak berlaku. “Tempe terkuat serutan pepaya ya tetap jadi. Tapi rasanya beda dengan tempe yang dibuat dari 100 persen kedelai. Kami lebih suka mengurangi ukuran tempe lebih kecil dari yang mengubah rasa tempe,” ungkapnya.
Dengan menggunakan kedelai murni, Alip berharap dia bisa mempertahankan kualitas tempe. Sehingga, pelanggannya tetap bertahan. Memang, keuntungannya jadi berkurang. Namun, menurutnya itu lebih baik untuk mempertahankan keuntungan, namun kualitas tempe malah menurun. “Lebih baik kami mengurangi keuntungan, kehilangan pelanggan karena kualitas tempenya berkurang,” tandasnya.
Alip sendiri sudah membuat tempe sejak masih SMP. Saat itu harga kedelai masih Rp500 per kilogram. “Sampai terakhir harga normal kedelai itu Rp7.500 per kilogram. Sekarang ini Rp9.600 per kilogram, ya tetap produksi. Kami tidak mogok produksi,” terangnya. [wiwit agus pribadi]

Tags: