Simalakama Pengadaan Lahan Infrastruktur

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Seorang nenek renta, warga kota Malang, yang terbiasa hidup sederhana, mendadak menjadi milyarder. Tegalan dan pekarangan rumahnya diterabas proyek jalan tol Pandaan – Malang, dibeli dengan harga Rp 6,2 milyar. Hal yang sama juga dinikmati oleh Asmari, yang menerima ganti-rugi sebesar Rp 5,4 milyar (untuk sawah seluas 0,55 hektar). Beberapa tetangga yang lain di kampung Cemorokandang, juga mendadak menjadi kayaraya. Sebanyak 76 bidang tanah (seluas 13 hektar) ditukar dengan rekening bank dengan nilai Rp 110,7 milyar.
Itu salahsatu berkah pencerahan dan penegakan HAM (Hak Asasi Manusia). Diantaranya, pengakuan dan perlindungan hukum kepemilikan aset rakyat. Pemberian ganti rugi atas aset rakyat, wajib ditunaikan secara adil, sesuai harga ke-ekonomi-an. Pada rezim terdahulu (dekade 1970-an sampai 1990-an), proyek infrastruktur pemerintah dilaksanakan menyimpangi HAM. Pejabat pemerintah bisa semau-gue menentukan ganti-rugi. Rakyat wajib patuh.
Dulu, banyak rakyat menjerit (dalam hati) namun memilih pasrah. Sebab, jika melawan, akan mengalami intimidasi. Namun mulai tahun 2001, nampaknya, doa rakyat yang ter-zalimi, terkabul. Banyak pejabat masuk penjara, karena terlibat manipulasi ganti-rugi pembebasan tanah. Ada proyek pasar, proyek jalan dan jembatan, serta proyek pembangunan waduk, telah menjerumuskan pejabat ke penjara. Banyak pejabat propinsi, kabupaten, Camat dan Lurah, terlibat menjadi makelar tanah.
Sekarang, tiada lahan gratis yang bisa diberikan secara cuma-Cuma untuk proyek pemerintah. Bukan hanya terhadap lahan milik masyarakat, atau investor. Melainkan juga lahan milik instansi pemerintah (Kementerian maupun Daerah), mesti di-appraisal sesuai harga pasaran yang berlaku. Ini menyebabkan seluruh proyek infrastruktur selalu mengalamai hambatan serius. Pengadaan lahan untuk infrastruktur daerah (dan negara), biasa berlarut-larut sangat lama.
Pembebasan Lahan
Dulu, proyek infratsruktur yang membutuhkan lahan selalu berhadapan dengan makelar tanah. Penyelesaian urusan tanah saja, bisa memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga proyek infrastruktur berjalan lamban. Beberapa kali diterbitkan regulasi, namun tetap tak mempan. Setiap proyek infrat-sruktur selau tergagap-gagap pada tahap pembebasan lahan. Walau harga telah diprediksi akan mahal. Tidak terkecuali lahan milik negara, yang dikuasakan kepada Kementerian.
Kepemilikan aset wajib dihormati. Namun aksi makelar tanah tidak boleh menjadi penghalang proses pembangunan kepentingan umum. Hal itu pernah terjadi, misalnya, pada proyek jalan tol Surabaya – Mojokerto seksi 1A (Waru – Sepanjang). Walau ruasnya sepanjang “lidah,” hanya 1.890 meter, tapi dibutuhkan 5 tahun untuk menyelesaikannya. Jadi kemampuan pengerjaannya rata-rata cuma 378 meter per-tahun.
Mudah-mudahan ini tak terdengar negara tetangga, karena seolah-olah Indonesia bagai negeri miskin yang baru coba-coba pula membangun jalan ber-bayar. Yang lebih harus ditutupi rapat-rapat adalah proses pembebasan lahan. Sangat sering (hampir selalu) pembebasan lahan menjadi kendala utama. Ingat, untuk membangun frontage road (sisi timur dan barat) jalan A. Yani Surabaya, juga diperlukan negosiasi alot. Padahal seluruh arealnya merupakan lahan milik instansi pemerintah.
Begitu pula (lebih-lebih) proyek Jalur Lintas Selatan (JLS) Jawa Timur, hingga kini terseok-seok karena pembebasan lahan milik pemerintah (Perhutani). Seolah-olah tiada koordinasi antar-instansi pemerintah? Seolah-olah tiada pucuk pimpinan sebagai pusat komando, sehingga masing-masing bagai raja-raja kecil. Lahan tidur dan lahan telantar tiba-tiba menjadi komoditas dengan harga tinggi. Harga lahan bisa melonjak sampai seribu persen!
Pimpinan instansi pemerintah tiba-tiba pula berubah menjadi makelar tanah. Andai terdapat pimpinan nasional yang efektif, maka kendala pembebasan lahan milik pemerintah tak perlu terjadi. Kendala pembebasa lahan untuk proyek instruktur menunjukkan potret kuatnya ego-sektoral. Masing-masing pejabat seolah memiliki hak mutlak terhadap asset, terutama lahan. Tak sejengkalpun boleh dijamah oleh sesama instansi, sebelum dibayar.
Walau sebenarnya (sejarah) kepemilikan lahan diperoleh secara gratis. Bahkan boleh jadi dari hasil mencaplok tanah adat, hak ulayat atau tanah yang sudah dibuka (dan dikerjakan) oleh rakyat. Regulasi pembebasan lahan selalu menjadi persengketaan, selalu terasa ketingalan zaman.`Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005, baru setahun sudah diganti dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 tahun 2006.
BPK Audit Lahan
Juga masih terdapat Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007, plus adanya Lembaga Penilai Harga Tanah (LPHT) yang dilisensi oleh BPN. Namun tetap saja berbagai regulasi itu tak menjamin kelancaran pembebasan lahan untuk pembangunan infra-struktur. Buktinya, saat ini pemerintah mengajukan lagi RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Diantara di dalam draft pasal 8, terdapat persyaratan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi sebagai landasan pengadaan lahan.
Banyak RTRW berubah fungsi, menganut pada asas keuntungan sesaat, serta nilai ke-ekonomi-an. Pemerintah Daerah (propinsi maupun kabupaten dan kota) meng-abaikan urusan yang lebih strategis. Misalnya kawasan hijau, area konservasi, serta lahan pangan berkelanjutan. Karena itu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), kini aktif meng-audit kinerja ketahanan pangan (sejak tahun 2012). Diantaranya, berpatokan pada UU 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Audit BPK terhadap pelaksanaan APBD, berupa penilaian rangkaian upaya pemerintah daerah mencapai swasembada beras berkelanjutan. Hasilnya, kinerja pangan belum menunjukkan kesungguhan. Audit dilakukan mula dari tim Pembina P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional), kegiatan optimalisasi lahan, penyuluhan pertanian sampai pemantauan ketersediaan gabah/beras. Hasilnya, rapor merah. Bahkan beberapa diantaranya terindikasi KKN yang bisa berurusan dengan KPK maupun Kejaksaan.
Karena itu pembebasan lahan untuk pembangunan, juga masih dirasa lebih memihak kepentingan kapitalisme industri jalan tol. Perlindungan terhadap ekologi dan ketahanan pangan sering terabaikan. Selalu “berhadapan” dengan agenda dan proposal pengusaha yang berlindung di balik proyek pemerintah. Bersyukur pula negara Arab Saudi (pada dekade awal 1980-an) berkenan mengongkosi pembangunan jalan tol Perak-Sidoarjo. Andai tidak, boleh jadi jalan bebas hambatan itu belum pernah ada.
Tetapi harus diakui, pembebasan lahan milik masyarakat (maupun milik) pemerintah, juga dijadikan bancakan. Tidak jelas lagi, siapa pemerintah siapa dan siapa makelar tanah. Harga tanah bisa disulap menjadi beberapa kali  lipat, sampai 500%. Setelah terbayar, kelebihan harga tanah dibagi-bagi oleh tim panitia. Mark-up ini dianggap “halal” karena harga disetujui oleh kedua belah pihak, penjual (rakyat) maupun pembeli (pemerintah).

                                                                                                  ———   000   ———

Tags: