Sindikasi vs Peternak

Foto Ilustrasi

Konglomerasi usaha peternakan ayam kini mulai menjadi “predator” peternak, sekaligus bisa men-dikte harga pasar. Modal besar disertai lobi kuat antar-perusahaan besar, bisa menghabisi peternak gurem di kampung. Bagai perang tak seimbang. Pemerintah berkewajiban mengendalikan suasana usaha peternakan ayam (pedaging maupun petelur). Terutama melindungi usaha mikro dan kecil unit peternak ayam mandiri.
Ombudsmen sebagai institusi negara telah menjejaki penyimpangan, berupa penguasaan usaha dari hulu ke hilir. “Integrator” (perusahaan besar) menguasai seluruh unit usaha peternakan ayam, mulai usaha pembenihan, obat, sampai pemasaran. Peternak ayam di kampung-kampung, tak lebih sebagai “buruh” pekerja ternak. Peternak mandiri yang coba kukuh ber-wiraswasta akan selalu merugi, karena kalah bersaing.
Panen omzet jelang Ramadhan terancam gagal jual. Pangsa pasar yang luas bagai telah tertutup. Hanya beredar di pasar tradisional. Berdasar catatan Ombudsmen, kerugian peternak mandiri semakin tak tertanggulangi selama enam bulan terakhir. Pemerintah tak boleh lalai, hanya terbuai investasi besar (bahkan penanaman modal asing). Realitanya, bukan hanya memproduksi bibit. Melainkan juga menyediakan pakan, obat, sampai proposal kandang, dan distribusi.
Ribuan usaha kecil dan mikro (UKM) unit peternakan ayam telah tutup usaha dengan catatan kerugian besar. Kekalahan peternak ayam di kampung, sesungguhnya telah nampak sejak dua tahun terakhir (sejak 2017). Tutupnya UMK peternakan, bagai “musibah” kedua. Kepedihan akibat musibah pertama telah dialami, berkait dengan isu flu burung. Jutaan ayam harus dimusnahkan, termasuk yang tidak terpapar flu unggas.
UKM ternak ayam coba bangkit dengan berharap pada pasar yang semakin luas. Antara lain, karena daging ayam (dan telur) telah menjadi menu utama setiap rumahtangga, melebihi konsumsi ikan. Kebutuhan daging ayam nasional mencapai 260 ribu ton per-bulan (3,120 juta ton per-tahun). Bisa jadi, data konsumsi dalam negeri belum di-optimalisasi melalui survei lebih mendalam. Misalnya, perkembangan warung makan dengan menu utama ayam goreng. Konon bisa mencapai 5 juta ton setahun.
Pasar dalam negeri tergolong terbesar ketiga di dunia (setelah Amerika Serikat, dan China). Hasil produksi peternakan ayam bisa mencapai 385 ribu ton per-pekan. Jika diakumulasi selama setahun bisa lebih dari 20 juta ton! Sehingga terjadi kelebihan pasokan sampai 300%, menjadi potensi ekspor ke negara tetangga terdekat. Serta diperlukan diversifikasi menu sajian kuliner berbasis daging ayam. Misalnya sarden ayam dalam kaleng, serta memperluas produksi abon ayam.
Begitu pula kelebihan produk telur, bisa mengancam keberlanjutan usaha. Saat ini produksi per-bulan mencapai 350 ribu ton, sedangkan kebutuhan telur per bulan hanya sekitar 200 ribu ton. Terdapat kelebihan suplai telur sampai lebih 40%. Pada tingkat usaha mikro dan kecil, telah bangkit memanfaatkan kelebihan telur ayam. Ribuan UMKM gerobak dorong menjual produk makanan sehat bergizi berbasis telur. Antara lain berupa kapeda (sate martabak telur), kondang di kalangan milenial.
Pangsa yang besar, namun ironis, peternak ayam tidak bisa menjalankan usaha mandiri. Hanya bagai “angon” ayam. Hasilnya juga disetor ke perusahaan besar sebagai “pemilik” komoditas. Sekaligus berperilaku sebagai integrator yang menguasai usaha dari hulu hingga ke hilir. Integrator, merupakan perusahaan peternakan unggas skala besar. Mengusahakan bisnis mulai dari produksi pakan, DOC (Day Old Chick), vaksin, sapronak, budidaya ayam, sampai produk olahan.
Pemerintah seyogianya kukuh melaksanakan Peraturan Mentan Nomor 26 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras. Pemerintah juga berkewajiban melindungi persaingan (liar) sektor UMKM yang bisa terlindas modal konglomerasi.

——– 000 ———

Rate this article!
Sindikasi vs Peternak,5 / 5 ( 1votes )
Tags: