Sinergi Mengentaskan Permukiman Kumuh

wahyu-kuncoro-snOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ;
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya
Permukiman kumuh menjadi salah satu masalah pelik di perkotaan. Masalah ini selalu ada di hampir seluruh kota-kota besar di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Berbagai program pengentasan permukiman kumuh sudah dilakukan pemerintah, namun tetap saja persoalan tersebut dihadapi setiap tahunnya.
Di Indonesia, dengan menilik rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional  (RPJMN) 2015-2019, maka salah satunya adalah mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh pada 2019. Ada tiga indikator yang digunakan, yakni berkurangnya proporsi rumah tangga yang menempati hunian dan permukiman tidak layak menjadi 0%, meningkatnya akses penduduk terhadap air minum layak menjadi 100% dan meningkatnya akses sanitasi menjadi 100%. Kondisi saat ini, setidaknya kalau melihat data di Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) menunjukkan, hingga Mei 2014 capaian pengentasan permukiman kumuh sampai pada angka 12% atau menyentuh 7,2 juta KK di Indonesia.
Ada dua karakteristik permukiman kumuh di perkotaan yang biasa kita saksikan. Pertama, permukiman  masyarakat  yang berada  di lahan-lahan illegal (squatter) seperti di bawah jembatan, di bantaran sungai, bantaran rel kereta api dan sebagainya. Kedua, permukiman yang dibangun  di lahan legal (slum area) yang bisa dibuktikan dengan kepemilikan surat-surat lengkap, namun tidak tertata sebagaimana mestinya. Untuk karakteristik yang pertama, penyelesaian yang dilakukan biasanya dengan memindahkan mereka ke rumah susun sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa sehat sesungguhnya merupakan program prioritas pembangunan nasional yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar permukiman yang sehat dan layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara untuk karakteristik kedua, perlu dilakukan penataan ulang di wilayah tempat tinggal masyarakatnya, seperti misalnya yang diterapkan dalam program Kampung Improvement Program (KIP) untuk miskin perkotaan (Miskot).
Sebuah studi yang pernah dilakukan oleh Laboratorium Permukiman ITS (2010) di Surabaya memberikan data bahwa lokasi-lokasi yang lebih banyak ditempati rumah-rumah kumuh adalah sekitar pasar, pertokoan, pabrik/kegiatan industri. Penelitian ini juga menjelaskan umumnya yang bertempat tinggal di lokasi ini adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah bersedia tinggal walaupun kondisi lingkungan fisiknya buruk. Hal ini disebabkan karena lingkungan fisik yang baik belum menjadi kebutuhan prioritas mereka, yang lebih diprioritaskan adalah memperoleh kesempatan di bidang ekonomi untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Ongkos Sosial Backlog
Sejatinya, kebutuhan masyarakat akan rumah tinggal sangat tinggi. Rata-rata pertumbuhan kebutuhan rumah sekitar 800.000 unit setiap tahun. Sementara itu, pengembang hanya mampu membangun sekitar 247.000 unit. Hingga saat ini, selisih antara penawaran dan permintaan hunian (backlog) sebesar 15 juta unit. Artinya backlog akan semakin bertambah manakala pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang pro pasar pertumbuhan. Bila backlog terus membesar maka peluang tumbuhnya permukiman-permukiman kumuh akibat ketidakmampuan masyarakat berpenghasilan rendah mimiliki rumah yang layak akan terjadi. Dengan kata lain, keberadaan permukiman-permukiman kumuh sesungguhnya juga menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum memiliki rumah layak.
Singkatnya, munculnya permukiman kumuh adalah ongkos sosial (social cost) yang harus dibayar ketika pemerintah tidak bisa segera menyelesaikan persoalan backlog. Lantaran itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengerem laju munculnya permukiman-permukiman kumuh khususnya di perkotaan adalah dengan memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah ini bisa memiliki rumah yang layak.
Pemerintah pusat tentu tidak bisa bekerja sendirian, maka sungguh relevan kiranya bila pemerintahan daerah didorong membuat program yang pro-perumahan bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Adanya area perumahan untuk MBR yang dimiliki pemda dinilai bakal mampu meminimalkan aksi spekulan sehingga harga tanah juga terkontrol. Bahwa permasalahan yang kerap dihadapi Pemda dalam program pembangunan permahan antara lain adalah masalah tanah. Selama ini masih banyak MBR seperti PNS serta buruh tenaga kerja yang membutuhkan rumah murah agar mereka bisa tinggal di rumah yang layak huni. Kalau saja pemerintah daerah bisa membebaskan pajak untuk rumah yang mendapat subsidi dari pemerintah sehingga lebih banyak masyarakat yang memiliki rumah dengan harga terjangkau.
Menyandarkan pemenuhan rumah bagi MBR kepada pemerintah saja tentu juga berlebihan, maka perlu didorong peran swasta untuk ikut terlibat. Dalam konteks inilah, keterlibatan para pengembang perumahan yang tergabung dalam asosiasi Real Estate Indonesia (REI) menemukan relevansinya. Oleh karenanya, momentum pelaksanaan Musyawarah Daerah (Musda) REI 17 – 19 Juni 2014 ini, menurut penulis bisa menjadi momentum bagi REI Jatim untuk meneguhkan komitmennya berperan serta dalam pengentasan permukiman kumuh khususnya  di wilayah Jatim.
Makna strategis Musda REI bagi pengentasan permukiman kumuh adalah musda ini bisa menjadi ajang untuk mengingatkan kembali bahwa persoalan permukiman kumuh akan menjadi agenda berat yang akan dihadapi masing-masing daerah. Bagi Jawa Timur, persoalan permukiman kumuh mungkin saja masih menjadi persoalan bagi wilayah perkotaan seperti Surabaya dan sekitarnya, namun di masa mendatang, seiring dengan perkembangan waktu, hampir pasti masalah ini juga akan dihadapi daerah-daerah yang lain. Dengan demikian, Musda REI Jatim akan mengirim pesan bagi para pengembang di daerah untuk ikut serta peduli dengan pengadaan rumah murah sebagai bagian dari upaya mencegah tumbuhnya permukiman kumuh di masing-masing wilayah. Selain itu, forum Musda REI Jatim diharapkan juga menegaskan komitmen para pengembang khususnya anggota REI untuk menerapkan aturan kawasan hunian berimbang, agar tidak hanya memikirkan rumah yang nyaman bagi warga ekonomi menengah keatas saja, tetapi juga ikut memperhatikan masyarakat berpenghasilan rendah agar bisa memiliki tempat tinggal yang layak.
Kawasan hunian berimbang sesungguhnya telah ada dalam UU Perumahan. Sayangnya, eksekusi kawasan hunian berimbang tidak berjalan. Aturan kawasan hunian berimbang mewajibkan pengembang untuk membangun rumah dalam beragam jenis tipe dalam satu kawasan. Dengan demikian diharapkan tidak hanya masyarakat mampu tetapi juga warga yang berpenghasilan kurang memadai juga bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan rumah di kawasan tersebut. Sekali lagi, munculnya permukiman-permukiman kumuh salah satunya adalah karena ketidakmpuan masyarakat berpenghasilkan rendah untuk membangun rumah yang layak.
Menguatkan Sinergi Kebijakan
Kepedulian para pengembang dalam ikut serta mewujudkan perumahan yang murah sebagai salah satu jalan mengentaskan permukiman kumuh, akan semakin bermakna ketika diikuti oleh langkah-langkah pemerintah yang secara proaktif menciptakan kebijakan yang mempermudah pengembang perumahan mewujudkan perumahan-perumahan murah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Logikanya, kalau pemerintah bisa bahkan antusias memberi dukungan berbentuk berbagai insentif pada produsen mobil untuk memproduksi mobil murah atau Low Cost Green Car (LCGC), maka sudah seharusnya pula perlakuan yang sama diberikan pada pengembang properti yang selama ini menjual rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Namun ironisnya yang terjadi malah sebaliknya, sektor properti justru diperberat dengan kenaikan pajak properti. Bahwa pemerintah, sesuai dengan fungsinya, seharusnya mengupayakan untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan perumahan rumah misalnya dengan menambah alokasi subsidi selisih bunga, subsidi uang muka, kredit mikro perumahan, serta subsidi bunga kredit konstruksi dan sebagainya.
Di atas itu semua, sektor riil sebagai sektor dengan kecenderungan padat modal sekaligus padat karya ini, berpotensi menimbulkan bangkitan ekonomi dengan tricle down effect-nya, terbukanya lapangan kerja, terciptanya peluang usaha turutan bagi pengusaha kecil menengah, membangun jiwa kewirausahaan masyarakat, sehingga dapat  memperkokoh struktur ketahanan ekonomi nasional.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

————– *** ————-

Rate this article!
Tags: