Singkong berakar jari-jemari

Oleh; A. Dahri

Beberapa hari ini, Tarsawi tertegun di depan rumahnya. Sikapnya akhir-akhir ini berubah. Setelah dua orang berjaket kulit, tubuhnya tampak kekar, menghampiri Tarsawi di ladangnya.
Ia yang saat itu sedang membersihkan rumput pengganggu yang mengelilingi pohon-pohon singkong. Mencabut beberapa tumbuhan yang menjalar, melilit pohon-pohon singkongnya. Sinar matahari yang menyelinap di antara dedaunan, membuatnya silau, saat dua orang berbadan kekar itu menghampirinya.
“Kapan kamu mau menjual tanah ini sama Pak Budiman?”
“Saya belum ada pikiran untuk menjualnya kang.”
Lelaki yang ada di depannya terdiam, ia mengambil telepon genggam dari sakunya, lalu menelpon, entah siapa di seberang sana. Dari logat bicaranya nampak bahwa ia sedang menghubungi pesuruhnya. Sedangkan lelaki yang satunya masih memandang ke sudut-sudut kebun singkong milik Tarsawi.
Kedua lelaki itu lalu pergi tanpa sepatah katapun, sedangkan Tarsawi masih membersihkan rumput-rumput pengganggu. Namun hatinya sedang berperang argumentasi. “Jika aku menjual tanah warisan ini, apa kata orang nanti?” gumamnya. Apalagi orang tuanya baru meninggal dan belum genap empat puluh hari.

Kebun seluas satu setengah hektar itu berada di antara tanah-tanah proyek perumahan. Semua tetangga kebunnya sudah terjual, bahkan beberapa bangunan sudah berdiri seakan menantang kebun singkong milik Tarsawi. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan kebun ini. “Kebun ini adalah tinggalan kakek buyutmu, suatu hari engkau akan menggarapnya, jadi jaga baik-baik tanah ini!” ucap ayahnya.
Ketika Ayahnya masih sugeng, para petani yang memiliki lahan di sekitar kebunnya juga tak menerima tawaran dari Pak Budiman untuk menjual tanahnya. Bahkan di suatu siang yang terik pernah terjadi adu mulut antara anak buah pak Budiman dengan beberapa petani yang mempertahankan lahannya. Namun para petani itu goyah setelah Ayahnya Tarsawi mulai sering sakit. Bahkan Ketika diperiksakan ke rumah sakit terbesar di Malang, diagnosa dokter, Ayahnya Tarsawi tidak memiliki penyakit apapun, “Aneh ya mas, padahal hasil lab menyatakan bahwa Pak Wandi tidak memiliki gangguan penyakit dalam, tetapi kenapa beliau terkulai lemas begitu?” Ucap salah satu dokter yang kebingungan dengan kondisi Pak Wandi.
Karena kondisi Pak Wandi semakin tak menentu, akhirnya Tarsawi dan istrinya membawanya pulang. Sementara Ayahnya dirawat jalan. Sampai akhirnya Pak Wandi mendengar dari salah satu tetangga yang menjenguknya, bahwa sebagian besar petani yang memiliki lahan di dekat kebunnya semua sudah menjual tanah mereka ke brandalan itu.
Sejak saat itu, Pak Wandi lebih sering murung. Kondisinya semakin lemah, ia jarang makan dan minumpun hanya seteguk saja. Sampai akhirnya ia tertidur selamanya. “Mungkin Pak Wandi ngenes karena mendengar kabar bahwa tinggal kebunnya yang belum terjual.” Mujib dan Ijad rasanan.
Tangis Tarsawi dan istrinya tak terbendung. Anaknya yang masih berusia dua tahun menangis di bawah lincak kakeknya. Lamat-lamat Tarsawi teringat amanah ayahnya yang tiba-tiba muncul di antara anak sungai air matanya yang deras.
Ia mantap untuk tidak menjual tanahnya, apapun itu amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan.

Bisnis perumahan memang sedang digandrungi, di samping omsetnya yang luar biasa, rumah sudah menjadi kebutuhan yang berlomba-lomba manusia untuk memilikinya. Untuk ditempati sendiri atau menjadi investasi masa depan.
Pak Budiman yang sedang duduk dan menikmati sebatang rokok, di atas mejanya sudah ada beberapa berkas kelengkapan perumahan yang baru, di mana hanya kurang satu lahan yang belum terjual, sehingga menghambat kerja Pak Budiman dan anak buahnya.
Kerja sama dengan beberapa toko bangunan dan pengusaha property terhambat, karena Tarsawi belum menjual kebun milik mendiang ayahnya. Roadmap pembangunan sudah dipegang oleh Pak Budiman. Dan sesuai rencananya, tepat di tanah milik tarsawi akan bibangun pusat perbelajaan. Karena tanah itu berada di pinggil jalan, dan posisinya seperti di pojok. Menurut Pak Budiman, tanah yang cocok untuk usaha apapun.
Tanah-tanah yang lain sudah diukur dan dipeta-petakan, bahkan sudah ada yang berdiri bangunan rumah, tinggal satu tanah, kebun singkong milik Tarsawi yang belum dipetakan dan dijual oleh Tarsawi.

Tarsawi sudah berunding dengan Istrinya, pun dengan paman dan beberapa pamong desa. Hasilnya masih berat sebelah. Istrinya mengikuti saja keputusan Tarsawi. Sedangkan paman dan salah satu pamong desa mengingatkan, “Dijual saja tidak apa-apa, jangan berurusan dengan Budiman, dia orangnya nekat.”
Mendengar hal itu, Tarsawi mulai goyah. Beberapa hari kemudian ia menemui Pak Budiman. Ia menanyakan berapa harga belinya, namun Pak Budiman malah bertanya baik, “Kamu mau jual berapa?”
Tarsawi yang tidak pernah pengalaman menjual tanah, juga tak mengerti perkembangan harga tanah, akhirnya diam. Karena terlalu lama menunggu jawaban Tarsawi, Budiman akhirnya angkat suara, “Bagaimana jika aku membelinya, dua miliyar, luas tanah itu kan satu setengah hektar toh?” namun tak ada tanggapan dari tarsawi, lama ia berpikir, sambil memandang Budiman, rumahnya besar, ruang tamunya dihiasi beberapa senjata, mulai dari bedil, parang sampai samurai.
“Jika saya tidak menjualnya bagaimana Pak? Warisan bapak saya tinggal itu?” tanya Tarsawi
“Lah, tujuanmu kesini apa kalau bukan menjual tanah? Kamu jangan mempermainkan saya. Apalagi kalau tanah itu jadikamu jual, kamu bisa beli tanah lain.” Jawab Budiman geram
“Em…, saya perlu berbicara dengan keluarga pak, beri saya waktu tiga hari, saya juga perlu memanen singkong terlebih dahulu,”
“Baik, tiga hari saya tunggu kepastiannya. Kalau tidak, kamu bisa pilih, senjata mana yang pas untuk jari-jari tangan dan lidahmu.” Budiman sambil menujuk senjata-senjata yang menghiasi dindingnya.
“Hehehe…., iya pak, saya bisa memastikan.”
Tarsawi tiba-tiba seperti mendapat bisikan, bahwa ia harus pergi ke Gunung Grangsil menemui pamannya yang menyendiri di sana. Selepas pulang dari rumah Budiman, ia tidak langsung pulang ke rumah, namun ia pergi ke Gunung Grangsil.

Anak buah Budiman mengikutinya, dan tidak sampai ikut ke Grangsil di pertengahan jalan mereka Kembali dan melaporkan ke Budiman. Ia meminta anak buahnya untuk pergi ke rumah Tarsawi, takuti istrinya yang baru melahirkan itu, tekan dia untuk membujuk suaminya. Kalau tidak mau, katakana kepadanya, jari dan lidah suaminya akan segera tertanam di kebun singkong miliknya.
Segera anak buanya pergi dan menemui istri Tarsawi.

“Ada apa Le…? Kayaknya kamu bingung begitu.” Tanya Paman Tarsawi
“Tanah milik Bapak, mau dibeli paksa oleh bos perumahan yang lahannya ada di sekitar tanah Bapak.”
“Ealah, di sana sudah berjibun bangunan-bangunan ya Le?”
“Enggih, Pak Lik.”
“Semakin hari semakin jauh keblangsuknya, tanah yang seharusnya jadi resapan air, jadi lahan untuk pohon-pohon agar rindang daunnya, udara biar bersih, tapi karena polah manusianya, ya begitulah. Makanya kenapa Pak Lik, lebih senang tinggal di sini, udaranya, masyarakatnya, dan masih tersedia lahan-lahan luas untuk dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan masyarakat.”
“Saya harus bagaimana Pak Lik?”
Tiba-tiba HPnya tarsawi berdering, panggilan dari istrinya, sambil menangis terseduh istrinya mengatakan kalau baru saja didatangi oleh dua orang berbadan kekar, dan mengancamnya kalau tidak mau merayu suaminya untuk menjual tanahnya, maka jari dan lidahnya Tarsawi akan ditanam di kebun singkong miliknya.
Mendengar tangis dan cerita istrinya, ia terbelalak, kaget, dadanya sesak, kemarahannya memuncak sampai di ubun-ubun.
Kemudian ia masuk menemui Pak Liknya lagi, dan mengatakan semuanya. Pak Liknya Tarsawi tak menanggapinya, Ia lalu masuk ke kamarnya, kemudian ke dapur mengambil segelas air putih. “Minumlah, dan ini, bungkusan ini jangan kamu buka, bawa kemana-mana, temui Pembeli tanah itu, keluargamu sudah diusik, Bapakmu itu orang berani, masak kamu klemar-klemer.” Nada suara Pak Liknya berubah, setelah mendengar bahwa istrinya Tarsawi diancam-ancam.
“Enggih Pak Lik, sembah nuwun” Tarsawi meminum segelas air putih tadi, lalu berpamitan pulang.

Tiga hari setelah itu, Tarsawi benar-benar pergi menemui Budiman, siang itu ada yang berbeda dari Tarsawi. ia benar-benar seperti Bapaknya dulu. Kemana-mana membawa sebilah pisau, tidak besar juga tidak terlalu kecil, tetapi kilaunya menunjukkan bahwa pisau itu tajam, lengkap dengan rangkanya juga.
Ia berpamitan kepada Istrinya, mencium anaknya yang masih berumur dua bulan itu. Ia hanya berpesan, “Kalau aku yang diancam tidak masalah, tetapi karena istriku, garwaku, yang diancam, maka sudah menjadi lain urusannya.”
Tarsawi pergi menaiki motonya, istrinya terus memandangnya sampai ia ditelan kejauhan. Ia selalu berdoa dalam hatinya, agar seuaminya selamat tak kekurangan apapun.
Pak Budiman sudah menunggu sejak pagi rupaya, ia dipersilahkan duduk, tak ada air minum, tak ada pertanyaan tentang kabar, ia langsung menanyakan jadi atau tidak Tarsawi menjual tanahnya.
Ia tak menanggapinya, ia malah bertanya mengapa anak buanya mengancam istrinya. “Istri saya tidak tahu menahu perihal ini. Jadi tidak usah disangkut pautkan.”
Budiman hanya tertawa, sambil menjawil anak buahnya, seperti paham kode dari bosnya, mereka yang tadinya duduk di belakang Budiman, kini pindah duduk di belakang Tarsawi. Tarsawi menyiapkan diri dan tetap waspada. Ia ingat pesan paman dan beberapa pamong desanya, yang mengatakan bahwa Budiman orangnya nekat.
Melihat gelagat tak menyenangkan, Tarsawi mengatakan bahwa ia mengurungkan niatnya untuk menjual tanahnya, dan berpamitan pulang. Mendengar hal itu, Budiman marah, sejurus kemudian dua tangan besar memegan Pundak Tarsawi, namun ia bisa lepas dari genggaman itu, ia menerjang dua anak buahnya, seketika terperosok ke bawah meja, Budiman yang mengambil senjata bedil ke dalam, disusul oleh Tarsawi, tidak sampai mengambil bedilnya, ia sudah tersungkur, karena dipukul dengan potongan meja yang diraihnya di depan. Ia raih Pisau yang disengkelitnya, lalu menghunuskannya ke Budiman, ia pegang lehernya, lalu dibawa keluar, anak buahnya tak bisa berbuat apa-apa, karena semakin maju, Budiman akan tertusuk pisau tajam di tangan Tarsawi.
Entah apa yang membuatnya kalap, Sekonyong-konyong Tarsawi menebaskan pisaunya ke jari-jari Budiman, akhirnya beberapa jarinya terlempar ke tanah. Jerit Budiman memenuhi pekarangan rumahnya. Anak buahnya lari mendekap Budiman yang dilemparkan ke tanah oleh Tarsawi. ia sudah menjadi manusia yang nekat, emosinya tak bisa dikendalikan, kepalanya panas, ia merasa tertindas selama ini, ia diam saja, namun akumulasi kemarahannya membuat Tarsawi dikuasai oleh rasa dendam.
Anak Budiman tak berkutik, ia tiba-tiba mengkerut Ketika Tarsawi menggertaknya, dan menghunuskan pisaunya ke arah mereka berdua. Budiman pingsan, darah yang mengalir dari tangannya sangat banyak. Beberapa waktu semua lelaki itu terdiam, nafasnya tersengal-sengal. “Bawa Budiman ke rumah sakit, tiga jari itu jangan dibawa, mau aku tanam di kebun singkongku, itu adalah tanda bahwa ia berani mengusik keluargaku.” Ucap Tarsawi lirih,
Budiman dibopong, dan segera pergi dari hadapan Tarsawai. Ia segera pulang dan membersihkan diri, keesokannya ia menemui Pak Liknya di Grangsil, dan mengembalikan bungkusan yang pernah diberikannya itu. ia juga sudah menanam tiga jari milik Budiman di kebun singkongnya.

Tiba waktu panen singkong, orang-orang berduyun-duyun mengambil daun singkong untuk ternak mereka, melewati deretan rumah mewah yang berjajar di perumahan itu. Salah satu dari pencari rumput, menemukan belulang yang masih tersisa daginya, menempel bersama gumulan semut. “Iki kok koyok driji yo…, Kang Tar, kok enek drijine wong nek kebunmu iki.” Sambil menunjukkanya ke Tarsawi. ia terdiam beberapa detik, lalu tersenyum, “Iku Jimate kebunku, jadi tanduren maneh yo…” ucap Tarsawi. lelaki pencari rumput itu terdiam, bingung, kemudian mengubur kembali tulang yang berbalut sisa-sisa daging itu. []

Rumah Jogo Kali, 2021

Tentang Penulis :
A Dahri, Lahir pada 1993, Belajar menulis sejak di MA. Kesibukannya membesarkan anak dan melayani istri.

Rate this article!
Tags: