Sisi Lain Sejarah Bung Karno

Bung KarnoJudul Buku  : Sisi Lain Bung Karno
Penulis        : Andi Setiadi
Penerbit       : Palapa
Cetakan      : I, 2016
Tebal           : 188 halaman
ISBN            : 978-602-296-193-2
Peresensi  : Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Mungkin tidak ada tokoh Indonesia yang akan selalu dirindukan sepanjang zaman selain Soekarno. Riwayat hidup presiden pertama Republik Indonesia itu tak ada habisnya untuk dieksplorasi. Ada saja sisi menarik dari tokoh kelahiran Surabaya pada tahun 1901 itu untuk diungkap dan diceritakan.
Tak sekadar memotret kembali sejarah hidup Bung Karno, buku ini mengetengahkan sisi lain dari perjalanan hidup beliau yang barangkali kurang diketahui banyak orang. Ketika masih kanak-kanak, misalnya, Bung Karno memiliki pasukan teman-teman sepermainan yang begitu akrab dan mau mengikuti ke mana pun beliau pergi. Kalau Bung Karno bermain jangkrik di tengah lapangan, pasukannya segera mengikuti. Bung Karno mengumpulkan perangko, mereka pun ikut mengumpulkan.
Sejak kecil, Bung Karno sepertinya telah memiliki bakat kepemimpinan. Saat bermain kereta luncur dengan daun yang terjatuh dari pohon, Bung Karno memilih menjadi “sais” ketimbang “penumpang”. Beliau juga terkenal berani dan disebut jagoan oleh teman-temannya. Saat bermain panjat pohon, beliau tidak takut merangsek ke dahan paling atas. Bung Karno juga sering berantem dengan anak-anak Belanda yang dinilainya cengeng, manja, dan merasa lebih tinggi. Kisah masa kecil Bung Karno yang menonton bioskop menarik pula disimak.
Ketika itu, beliau bersama Sukarmini mencari hiburan dengan menonton bioskop. Karena uang pas-pasan, mereka melihat bioskop kelas IV atau populer disebut “kelas kambing”. Kelas ini paling murah, tempat duduknya terletak di belakang layar. Tidak seperti zaman sekarang, saat itu bioskop hanya menayangkan film bisu alias gambar dan teks tanpa suara. Kondisi itu membuat Bung Karno dan penonton “kelas kambing” lainnya terbiasa membaca teks terbalik dari kiri ke kanan yang tentu tidak gampang (hlm. 33-35).
Selain itu, buku ini juga mengungkap hubungan Bung Karno dengan istri-istrinya. Terkait dengan Inggit Ganarsih, beliau pernah berkata, “Inggit memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh buku.” Sejarah tidak memungkiri peran Inggit bagi Bung Karno memang sangatlah besar. Di masa awal perjuangan, Inggit laksana sosok ibu, kekasih, sekaligus kawan yang setia mendampingi beliau tanpa mengenal pamrih.
Ada cerita menarik ketika Bung Karno di penjara Banceuy lantas dipindahkan di Sukamiskin dari tahun 1929 sampai tahun 1931. Agar Bung Karno dapat mengetahui informasi di luar penjara, ada bahasa atau “kode rahasia” yang disepakati. Apabila Inggit mengirim telur ditusuk jarum halus dengan satu tusukan berarti kabar baik, dua tusukan artinya seorang teman di tangkap, dan tiga tusukan berarti ada penyergapan besar-besaran terhadap para aktivis pergerakan kemerdekaan (hlm. 51-52).
Disadari atau tidak, akibat kebiasaan di penjara, Bung Karno kalau makan super cepat. Bagi para tahanan, Belanda menjatah waktu 2 menit untuk makan dan 1 menit untuk minum. Aturan ini tentu membuat Bung Karno tak bisa mengunyah dengan pelan. Mungkin karena sehari-harinya seperti itu hampir dua tahun, kebiasaan makan cepat tetap dimiliki Bung Karno ketika menjadi presiden. Seorang dokter pribadi Bung Karno, R. Soeharto, pernah berkomentar, “Beliau kalau makan cepat sekali selesai.”
Sebagaimana kita tahu, sehari seusai proklamasi kemerdekaan, Bung Karno ditetapkan sebagai presiden. Setelah pelantikan, beliau pulang ke rumah berjalan kaki. Tak ada deretan mobil yang mengantar dan tak ada pengawalan dilakukan. Dalam perjalanan, Bung Karno menjumpai tukang sate, lalu membeli 50 tusuk. Bung Karno menghabiskan sate itu dengan lahap sambil berjongkok di pinggir got dekat tempat sampah.
Saat menjadi presiden, ada keharusan Bung Karno menunjuk seorang ajudan. Beliau menunjuk mantan pejuang dan memberinya pangkat letnan. Melihat fakta itu, seorang penasehatnya nyeletuk, “Ini tak mungkin. Ratu Belanda yang memerintah 10 juta manusia mempunyai ajudan seorang kolonel.” Bung Karno pun memanggil ajudannya, “Sudah berapa engkau jadi letnan?” Si ajudan menjawab, “Satu setengah jam.” Bung Karno lantas berkata, “Nah, negara kita ini negara yang baru lahir dan tumbuhnya cepat. Mulai sore ini, engkau menjadi mayor.”(hlm. 131-132).
Pada akhir 1950-an, beliau pernah ditantang renang oleh anaknya, Guntur. Agar tak kelihatan bodoh, Bung Karno menyanggupi. Guntur dan adiknya, Megawati, sudah mencebur di kolam renang. Beliau yang sebenarnya tidak bisa renang menceburkan diri ke dalam kolam dengan teriakan, “Pengawal, pengawal, tolong, tolong!” Para pengawal akhirnya mendekat dan memberikan pertolongan kepada sang presiden (hlm. 124-125).
Membaca sisi lain dari jejak hidup Bung Karno dalam buku ini bisa membuat kita tersenyum dan terhibur. Masih banyak kisah lainnya diutarakan yang dimaksudkan mengakrabkan kita dengan beliau. Setiap kisah diberi pemaknaan agar kita mampu mengambil pesan atau hikmah di balik itu semua. Selamat membaca.

                                                                                                        ——————— *** ———————-

Rate this article!
Tags: