Sistem Mitigasi Bencana

foto ilustrasi

Bencana banjir dan longsor telah mengubah jalan di Flores Timur bagai sungai arung jeram. Jika pemerintah (dan daerah) tetap abai, maka bencana hidro-meteorologi yang beriringan bisa benar-benar mengubah “peta” pulau Flores. Pemerintah wajib segera melakukan audit sistemik lingkungan hidup (alamiah) secara peridodik. Serta membangun sistem informasi mitigasi bencana yang di-sosialisasi-kan hingga tingkat kampung. Masyarakat juga wajib ber-prakarsa menghindari kawasan rawan bencana.

Tiada bencana hidro-meteorologi yang datang tiba-tiba. Selalu terdapat “warning” berupa kerusakan lingkungan. Terutama keadaan kawasan hulu (perbukitan) yang gundul. Seperti banjir dan longsor yang terjadi di desa Ngetos, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (14 Pebruari 2021). Korban jiwa mencapai 26 warga desa. Potensi longsor perbukitan di Ngetos, sebenarnya telah diketahui. Bahkan telah dipasang alarm. Namun saat bencana alarm tidak berbunyi, karena rusak (tidak dirawat).

Banjir disertai longsor yang terjadi di Flores Timur, bagai “mengulang” bencana serupa yang terjadi kecamatan Panti, Jember, Jawa Timur (1 Januari 2006). Material longsor berupa pohon, dan batu besar sampai seberat 1 ton luruh dari perbukitan, menimpa permukiman, dan ladang. Seluruh sungai irigasi terisi penuh terisi lumpur, meluap. Korban jiwa mencapai 73 masyarakat warga tiga kecamatan (Panti, Rambipuji, dan Balung). Menimbulkan kerusakan besar puluhan rumah, pesantren dan tempat ibadah.

Longsor ringan merupakan “alarm” alamiyah. Termasuk tanah ambles di area jalan tol. Secara lex specialist, terdapat UU Nomor UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi. Pada pasal 38 huruf a, diwajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.”

Terdapat frasa “pengenalan secara pasti,” yang mengatur mitigasi bencana dilakukan secara tepat. Bencana hidro-meteorologi dapat diprediksi dengan tingkat presisi cukup baik. Termasuk bakal datangnya badai, dan potensi hujan lebat disertai petir. Begitu juga potensi bencana vulkanik gunung berapi. Kinerja BPPTGK (Badan Penyelidik dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi), seharusnya bisa diakses pemerintah daerah.

Bahkan UU Penanggulangan Bencana, juga meng-amanat-kan ke-siaga-an lebih ekstra. Pada pasal 38 huruf b, dinyatakan, “kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.” Terdapat frasa kata secara tiba-tiba dan/atau berangsur, meng-isyarat-kan sistem audit dan mitigasi periodik. Pemerintah daerah lebih memiliki tanggungjawab terhadap potensi bencana dalam lingkup teritorialnya.

Bulan Januari hingga Maret (2021), bagai menjadi periode ke-prihatin-an di sepanjang khatulistiwa. Semakin banyak daerah diterjang bencana hidro-meteorologi dengan ke-parah-an korban jiwa sangat banyak. Korban jiwa banjir bandang, dan longsor lahar dingin di Flores Timur, dan kabupaten Lembata, mencapai lebih 200 orang. Sebanyak 30 orang masih dicari. Berbagai bantuan terlambat datang, karena terhadang cuaca buruk di pantai utara Flores.

Bencana semakin komplet ditambah fenomena siklon Seroja, menerjang ibukota Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang. Berdasar penjejakan BMKG, siklon ini tergolong paling kuat. Saat ini ditambah menunjukkan gejala baru, memasuki daratan. Biasanya, siklon berkembang di samudera hingga batas pantai. Seluruh daerah (22 kabupaten dan kota) di NTT terdampak, karena badai berkekuatan rata-rata 65 kilometer per-jam. Banyak rumah hancur, pohon tumbang, dan perahu nelayan terhempas.

Satu kuartal awal tahun selalu terjadi bencana hidro-meteorologi. Sentra pangan bisa gagal panen. Nelayan juga jeda melaut nelayan. Seyogianya telah “dihafal” pemerintah daerah hingga desa. Informasi cuaca wajib digencarkan sistemik, hingga tingkat kampung, dan dipatuhi.

——— 000 ———

Rate this article!
Sistem Mitigasi Bencana,5 / 5 ( 1votes )
Tags: