Sistem Zonasi, Paradigma Masyarakat Harus Berubah

Surabaya, Bhirawa
Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) berdasar Permendikbud no 51 tahun 2018, menuai pro dan kontra. Namun sejumlah pakar pendidikan menilai sistem ini dianggap bagus untuk meningkatkan kerjasama dan kolaborasi antar siswa.
Namun, pemerintah diingatkan agar peningkatan sarana prasarana dan pembangunan kualitas guru juga harus benar-benar diperhatikan.
Salah satu yang setuju akan penerapan sistem zonasi adalah Prof Zainudin Maliki. Pemerhati Pendidikan di Jatim ini berpendapat jika sudah saatnya paradigma masyarakat berubah. Aturan zonasi, harusnya membuat masyarakat “melek” akan hakikat pendidikan yang sebenarnya. Tidak lagi terpacu dengan nilai UN dan kompetisi.
Lebih dari itu, masyarakat harus sadar, bahwa hakikat pendidikan dan sekolah adalah menanamkan dan mendidik anak untuk berpikir kritis, bekerja keras, dan jujur.
Ia menilai, dengan adanya aturan zonasi, dimana akan ada kelas heterogen, yang pintar akan menjadi kelompok yang bisa menciptakan iklim akademis bagus.
“Sayangnya masyarakat kita masih terfokus pada kompetisi dan daya saing. Ini pola pikir masyarakat abad-20. Sekarang kita akan hidup di abad 21,” ungkap dia.
Sehingga, lanjut dia, yang dibutuhkan untuk survive pada abad 21 adalah mindset sinergitas. Di mana membangun jaringan, dan kolaborasi. Orang yang sukses adalah mereka yang mempunyai jaringan banyak di abad 21.
Oleh karena itu, pendidikan mengajarkan anak didiknya untuk pandai berkomunikasi, bisa dipercaya, akses kemampuan informasi. Yang dibutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual.
“Nah, masyarakat kita ini masih dibelenggu paradigma berpikir abad 20. Padahal kita hidup di abad 21. Apalagi sekarang kita hidup di era revolusi industri,” jelas Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Menurut Mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim ini, mencari sekolah bukan lagi untuk bersaing. Sebab, pendidikan di Indonesia ini yang terpenting membangun mentalitas kejujuran, bisa dipercaya, dan bekerjasama dengan orang.
Akan tetapi, kondisi pendidikan di Indonesia ini justru menciptakan suatu pemahaman sekolah2-sekolah yang sukses dengan tolak ukur UN. Jika nilai UN bagus, baru dia bisa dibilang sukses. Pola pikiran ini tidak hanya dibangun dikalangan masyarakat, melainkan guru, Kasek juga siswa. Karena “mitos” yang dibangun tentang ujian nasional adalah segala-galanya. “Maka pendapat saya, UN ini hanya untuk SMA saja. Untuk jenjang SD, SMP ini dihapus saja. Karena siswa hanya mau belajar, mau sungkem orang tua dan guru, mau istigosah kalau mau UN saja,”terang dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Surabaya, Martadi menuturkan, penerapan sistem zonasi akan memberikan pekerjaan baru bagi pemerintah. Ia mengingatkan jika setelah sistem zonasi diterapkan, hal utama yang perlu dibenahi dan di tata oleh pemerintah adalah persoalan sarana prasarana.
Sebab di Surabaya sendiri contohnya, tidak semua sekolah negeri memiliki kualitas yang sama. Pemerintah menurut dia, harus berkomitmen untuk penataan dan peningkatan manajemen sekolah, standart sarana prasarana dan guru yang terdistribusi secara merata. [ina]

Tags: