Sistemik Cegah Longsor

foto ilustrasi

Telah ditemukan 12 korban jiwa. Tetapi tim penolong masih mencari 20 warga desa Ngetos, kabupaten Nganjuk (Jawa Timur) yang dinyatakan hilang bersamaan tanah longsor. Kawasan perbukitan setinggi 50 meter longsor menimbun permukiman. Trauma moril, kehilangan harta dan hancurnya sarana nafkah, sudah kerap terjadi. Sampai korban jiwa anggota keluarga juga kerap dialami. Maka diperlukan upaya sistemik mencegah bencana longsor.

Tak boleh lena memahami pertanda datangnya bencana. Termasuk merawat alat deteksi tanah longsor. Kawasan perbukitan Ngetos, Nganjuk, sebenarya telah masuk daftar area rawan bencana longsor. Nahasnya, saat terjadi longsor alarm (early warning system, alat peringatan dini) longsor tidak berbunyi. Hanya gemuruh “alarm” alamiah yang berbunyi. Banyak warga tidak sempat menyelamatkan diri, terperangkap luruhan tanah bukit.

Terasa sudah “kenyang” menghadapi bencana, dengan berbagai kepedihan. Walau sesungguhnya bencana tidak pernah datang tiba-tiba, melainkan dengan pertanda alamiah. Penggundulan perbukitan menyebabkan melemahnya daya dukung alam, niscaya segera melongsorkan tanah. Menimbun dataran yang berada di bawah, tak terkecuali pemukiman penduduk. Serta sarana jalan yang tertimbun menyebabkan ke-terisolasi-an area longsor.

Banyak kawasan genting di Jawa Timur (ujung barat), seharusnya telah menjadi kewaspadaan. Ke-genting-an nampak di kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Pacitan. Kawasan ini pada ranah politik dikenal sebagai Dapil (Daerah Pemilihan) sembilan. Selain rawan bencana longsor, Dapil IX juga dikenal sebagai “kantung” kemiskinan. Indikasinya antaralain, UMR (Upah Minimum Regional) terendah se-Propinsi.

Seluruh pulau Jawa masih wajib siaga, disebabkan perubahan iklim ekstrem. Sudah puluhan korban jiwa dan harta terdampak bencana banjir dan tanah longsor. Dimulai dari Jakarta (dan Jawa Barat), disusul Jawa Timur, lalu semakin parah terasa di Jawa Tengah. Cuaca ekstrem yang tercurah dari langit, bukan sekadar terasa di pegunungan, dengan tanah longsor. Melainkan juga di kawasan pantai, utara maupun selatan pula Jawa.

Diperlukan kewaspadaan ekstra pada periode iklim ekstrem, terutama terhadap prasarana infrastruktur. Jalan, jembatan, plengseng sungai dan plengseng tebing perbukitan seyogianya memperoleh perhatian lebih seksama. Seluruh OPD (Organisasi Perangkat Daerah) mesti bekerja lebih keras pada tupoksinya. Karena cuaca ekstrem dapat menjadi penyulut bencana multy-plier efect. Berujung pada merosotnya perekonomian.

Seyogianya BPBD (Badan Penanggulangan Bencana daerah) Propinsi serta Kabupaten dan Kota, lebih me-masif-kan sosialisasi gerakan tanggap bencana. Antara lain, terutama tidak bertempat tinggal pada area rawan longsor. Serta memperluas informasi cuaca ekstrem dan mitigasi bencana berbasis desa. Berbagai tragedi longsor yang telah terjadi bisa dijadikan “pengalaman pahit.” Misalnya yang terjadi di Jember (2 Januari 2006), dengan korban jiwa 75 orang. Juga tragedi longsor Ponorogo (akhir Maret 2017), dengan korban jiwa 60 orang.

Cuaca ekstrem terjadi selama dua bulan (Januari-Pebruari 2021), mencurahkan hujan dengan intensitas tinggi. Hujan deras mengguyur kawasan perbukitan yang telah gundul. Berdasar mapping nasional, tanah longsor mengancam 274 kabupaten. Sebanyak 40 juta lebih penduduk berisiko terpapar dampak longsor. Terutama di daerah rawan kawasan perbukitan. Di Jawa Timur, tidak ada daerah (38 kabupaten dan kota) yang bebas banjir.

Bencana bisa disebabkan keterlambatan penanganan (perbaikan) kawasan kritis. Berdasar mapping kebencanaan, 20 daerah rawan bencana longsor. Serta 31 kabupaten dan kota juga rawan badai. Maka sepatutnya Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur ancang-ancang me-mitigasi, dan siaga darurat bencana. Kepedihan akibat bencana, tidak akan ter-obati dengan pelaksanaan proposal rehabilitasi. Maka pemerintah bersama masyarakat, mesti makin bijak menjaga lingkungan.

——— 000 ———

Rate this article!
Sistemik Cegah Longsor,5 / 5 ( 1votes )
Tags: