Sistemik Jaga Ekosistem

Banjir rob (air laut meluap) di sepanjang pantai utara Jawa, baru saja terlewati. Saat ini menjadi kajian banjir khusus di kawasan pesisir di seluruh dunia, termasuk di Amerika (tahun 2015). Analisa penyebab masih terus dikaji, diduga bukan hanya karena gravitasi bulan pada posisi terdekat bumi. Melainkan juga perpaduan angin kencang, dan siklus “nodal bulan.” Namun dipastikan, daya dukung ekosistem lingkungan telah semakin merosot. Terutama di kawasan pesisir dan pegunungan yang di-eksploitasi.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia akan terus di-gelora-kan, sampai ditemukan cara jitu kampanye kelestarian alam. Karena sebenarnya tiada bencana alam datang tiba-tiba. Pasti selalu terdapat “warning” alamiah. Termasuk bencana hidro-meteorologi, berupa banjir, dan longsor. Jika pemerintah daerah dan masyarakat abai, maka bencana yang datang beriringan bisa benar-benar mengubah “peta” daerah. Karena daratan yang terkikis rob rutin.

Taat terhadap mitigasi bencana wajib menjadi “harga mati” kesiagaan. Sekaligus kebersatuan dalam penanggulangan bencana, sebagai respons spontan. Kawasan yang semula diduga masih “asli,” ternyata bisa dihantam bencana. Seperti yang terjadi di Papua, awal tahun (2022) ini. Merenggut 7 korban jiwa, dan 4 luka berat. Kantor gubernur Papua, juga terendam bersama dua ribu rumah warga, dan 8 sekolah. Keparahan banjir disertai arus air yang deras, bisa membawa hanyut rumah kayu.

Seluruh daerah terancam banjir dan longsor, bersamaan cuaca ekstrem. Hulu sungai luruh membawa material longsoran, menerjang perkampungan, dan ladang. Longsor yang makin meluas menjadi tanda penyusutan daya dukung lingkungan makin masif. Makin terasa pedih karena banyak warga masyarakat menjadi korban jiwa yang tertimbun longsor. Pemerintah perlu menata ulang konsep penguatan ekosistem esensial.

Berdasar catatan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), secara kuantitatif, jumlah bencana menurun. Namun ironisnya, jumlah korban jiwa semakin banyak (naik 76%). Bahkan korban luka naik hampir 23 kali lipat, menjadi sebanyak 14.116 orang. Kenaikan jumlah korban jiwa, dan korban luka, menunjukkan sistem mitigasi bencana, terutama alat early warning systems (EWS) masih perlu perbaikan seksama.

Maka bisa dipastikan, banjir dan longsor di seantero Indonesia, disebabkan daya dukung lingkungan yang makin menyusut. Akibat kerusakan ekosistem esensial. Dulu, nenek moyang Indonesia mengajarkan adanya pohon “angker,” yang wajib dihormati. Bahkan beberapa pohon besar di perkampungan juga terlindungi dengan visi “angker.” Sekaligus menjadi jaminan sumber air yang tersedia sepanjang tahun. Kini tidak ada lagi hutan yang dianggap “angker,” karena desakan investasi.

Bencana terasa semakin kerap datang. Walau mitigasi (dan pengenalan bencana), telah diamanatkan undang-undang (UU). Secara lex specialist, terdapat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi. Pada pasal 38 huruf a, diwajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.”

Terdapat frasa “pengenalan secara pasti,” yang mengatur mitigasi bencana dilakukan secara tepat. Bencana hidro-meteorologi dapat diprediksi dengan tingkat presisi cukup baik. Sehingga masyarakat semakin terlindungi dengan me-minimalisir keparahan dampak bencana. Sesuai amanat konstitusi (pembukaan UUD alenia ke-empat) negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.

Secara spesial perlindungan seluruh tumpah darah (tak terkcuali ekosistem esensial). Tercantum dalam UUD pasal 28H ayat (1), bahwa lingkungan hidup yang baik diakui sebagai hak asasi manusia. Karena sebagai hak asasi, maka pemerintah berkewajiban (mandatory) meng-audit kondisi lingkungan hidup. Mencegah bencana alam yang disebabkan ulah manusia melalui penegakan hukum disiplin tata ruang.

——— 000 ———

Rate this article!
Sistemik Jaga Ekosistem,5 / 5 ( 1votes )
Tags: