SKTS Dihapus, Beban Urbanisasi Semakin Berat

Camat Tambaksari, Achmad Zaini

Camat Tambaksari, Achmad Zaini

Surabaya, Bhirawa
Dihapusnya Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) dikhawatirkan akan timbul permasalahan sosial yang tidak akan terkontrol. Hal ini dikarenakan, setiap kali petugas Pemkot Surabaya melakukan yustisi kependudukan selalu menemukan hal-hal negatif antara lain pasangan tanpa surat nikah, atau bahkan menjadi sarang teroris yang berada di rumah sewa indekos.
Camat Tambaksari, Achamd Zaini saat ditemui Bhirawa, Senin (5/9) kemarin di ruang kerjanya, menegaskan bahwa dihapusnya SKTS dan yustisi kependudukan akan menyebabkan tidak terkontrolnya kaum urban yang ada di Kota Surabaya.
Pasalnya, Pemerintah setempat yang bertugas mendata penduduk urban saat ini seperti ‘Macan Ompong’ yang tidak bisa memberikan sanksi berupa Tindak Pidana Ringan (Tipiring) bagi warga yang tidak mengantongi identitas.
“Kita ini seperti macan ompong. Karena yustisi diganti dengan pendataan kependudukan saja tanpa adanya sanksi tegas terhadap warga pendatang yang tidak memiliki SKTS,” katanya.
Menurutnya, pihaknya selaku Camat merasa khawatir terhadap masyarakat pendatang yang tidak jelas kartu identitasnya. Sebab, bisa jadi mereka yang tidak beridentitas adalah residivis atau bahkan teroris. “Kita bisa berikan sanksi berupa tipiring kalau memang tidak punya kartu identitas sama sekali,” ujarnya.
Namun, dihapusnya SKTS dan tidak diberlakukannya yustisi kependudukan, Zaini hanya bisa melakukan pendataan yang dilakukan hanya seminggu sekali khususnya kepada penghuni kos. Sebab, yang biasanya dilakukan seminggu dua kali untuk yustisi.
“Kami tetap melakukan pendataan yang dulu seminggu dua kali. Sekarang hanya sekali dalam seminggu,” jelasnya.
Ia memang mengfokuskan kepada setiap penghuni kos-kosan yang diwilayahnya sangat menjamur rumah sewaan. Sebab, wilayah Tambaksari terkenal dengan penduduk paling padat yang ada di Surabaya. Mulai pekerja, mahasiswa, hingga UMKM.
“Fokus selama ini di kos-kosan. Karena kos-kosan ini sangat rawan sekali. mereka (penghuni kos, red) jarang sosialiasi sama tetangga. Kalau kontrak kan pasti ada penanggung jawabnya,” ulasnya.
Sementara, Wakil Ketua Dewan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Masduki Toha mengatakan, penghapusan surat keterangan tinggal sementara (SKTS) akan menambah berat beban kota seperti Surabaya.
“Nanti yang akan merasakan dampaknya kota metropolitan seperti Surabaya ini. Beban kota akan semakin berat, baik secara ekonomi, sosial, psikologis, dan dampak lingkungan seperti polusi. Ini harus ada solusi,” ujarnya.
Masduki mengatakan, seharusnya ada regulasi yang mendampingi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 14/2015 tentang Pendataan Penduduk Non Permanen.
Sebab, peraturan menteri yang memuat penghapusan SKTS juga mencabut wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan operasi Yustisi.
“Memang, e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik,red) berlaku nasional. Tapi sebelumnya kan ada syarat pekerjaan yang jelas dan jaminan lingkungan setempat bagi warga musiman, sekarang tidak perlu ada,” katanya.
Menurutnya, hal ini menjadikan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki wewenang untuk mengontrol lonjakan pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi. Padahal, setiap tahunnya, data Dispendukcapil Surabaya menujukkan rata-rata pertumbuhan penduduk di Surabaya mencapai 80 ribu jiwa per tahun.
“Ini malah akan memicu urbanisasi besar-besaran, dan Pemerintah Kota Surabaya tidak bisa berbuat apa-apa. Harusnya ada regulasi dari pusat,” ujarnya.
Dampak sosial yang akan timbul, kata Masduki, salah satunya tingkat kriminalitas yang bisa meningkat, juga masalah-masalah permukiman kumuh yang akan bermunculan. (geh)

Tags: