SNSD, Elly Risman dan Literasi Media

Oleh:
Muhammad Rasyid Ridho
Pegiat Literasi di Rumah Buku Taman Cahaya, Pengajar Kelas Menulis di Beberapa Sekolah di Bondowoso, Penulis Belasan buku antologi, tinggal di Bondowoso.
Selain menikmati ketika membaca buku, saya juga penikmat audio (musik) dan audio visual (film/serial). Film atau serial yang saya suka biasanya ada nuansa sejarah, aksi-thriller-mister-agen-politik-detektif-super hero. Serial Hollywood dari DC Comic dan Marvell beberapa saya tonton dan ikuti, begitu juga serial Korea juga saya ikuti perkembangannya.
Serial Korea yang sering saya tonton atau saya suka adalah yang bergenre saeguk atau berlatar sejarah Kerajaan Korea, seperti Kerajaan Joseon, Goryeo atau yang lainnya.  Ada alasan mengapa serial bersetting sejarah lebih menarik bagi saya. Pertama, dalam serial ini biasanya lebih banyak nilainya, dari falsafah hidup dan mental (Korea), taktik perang, aksi yang memukau, dan pelajaran sejarah yang tentunya bisa diambil hikmahnya.
Biasanya, saya menulis catatan setelah menonton serial saeguk, bisa dibaca di serialsaeguk.wordpress.com. Kedua, saya kagum sekaligus iri dengan serial kolosal Korea yang sangat menarik, dan pengin sekali serial kolosal Indonesia bisa jaya lagi seperti saat saya menonton serial Tutur Tinular yang menurut saya untuk ukuran saat itu bahkan sekarang belum ada tandingannya. Mulai dari aksi silat yang keren, audio dan visualnya juga mendukung, bahkan sampai bisa bekerjasama dengan studio Cho Cho Beijing dan beberapa artis dari Tiongkok.
Beberapa pekan ini berkembang pemberitaan kepala badan ekonomi kreatif Triawan Munaf akan mengundang Band asal Korea Selatan, SNSD atau Girl’s Generation untuk peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 72. Lalu, muncullah perdebatan pro kontra di media sosial. Ternyata berita yang benar adalah diundang hanya dua orang personil yaitu Yoona dan Taeyeon, dan undangannya untuk memeriahkan Countdown to Asian Games 2018.
Industri Kreatif Korea
Memang industri kreatif Korea Selatan menarik untuk disimak. Bagaimana tidak, mereka yang bukan siapa-siapa, kemudian mampu masuk dalam negara-negara yang banyak dikenal dan diminati oleh banyak warga dunia. Hal itu terjadi berkat Hallyu Wave atau badai budaya Korea yang sukses.
Yang perlu disimak oleh banyak anak muda dan pengembang industri kreatif di Indonesia adalah bagaimana Korea, mencetak industri kreatif yang bisa go internasional. Dalam buku Korean Cool karya Euny Hong, Lee Moon Won seorang kritikus budaya di Korea berkata, “K-Pop adalah rencana lima sampai tujuh tahun, dan AS tak bisa melakukannya.”
Ya, Korea sanggup berinvestasi sebanyak mungkin untuk mengorbitkan artis. Bagi mereka tidak ada superstar, cukup ada star yang nantinya akan melakukan estafet dengan artis yang lebih muda. Jadi, mereka benar-benar mempersiapkan lahirnya seorang artis. Untuk masa pelatihannya, sebelum tampil di depan publik maka calon artis harus berlatih kurang lebih sampai lima tahun bahkan ada yang sampai belasan tahun. Contohnya, adalah personil Big Bang, yang memiliki nama panggung G-Dragon.
Itulah mengapa Lee mengatakan bahwa negara lain tidak akan mampu mencetak artis seperti Korea Selatan. Karena investor dari perusahaan besar dalam negeri seperti Samsung mau mengeluarkan dana yang besar, dan orang Korea memang memiliki mental diri yang kuat, dan mental kerjasama yang juga kuat.
Menurut saya, soal mental ini yang mungkin harus anak muda Indonesia dan para pekerja kreatif di Indonesia tiru. Tentu juga masih tetap meproteksi diri, tidak meniru yang tidak sesuai dengan adab dan moral agama di Indonesia, seperti gaya hidup bebas, mabuk dan bunuh diri.
Bahkan, menjadi artis di Korea itu beda dengan di barat. Masih dikatakan oleh Lee dalam buku Korean Cool bahwa tidak ada artis atau idol yang juga disebut panutan itu adalah anak nakal. Semua adalah anak chak han. Chak han adalah istilah  Korea untuk anak yang baik dan polos. Jadi, artis di Korea harus seperti itu, meski memang mungkin ada yang tidak baik. Baik di sini bukan sekadar menyumbang sekian dolar, tetapi baik yang dimaksud adalah seperti seorang anak yang membantu neneknya mencuci. Lebih tepatnya lagi, baik di sini adalah para artis menerapkan budaya tradisionalnya.
Maka, ketika tersiar kabar seorang idol atau panutan  menggunakan narkoba, atau bahkan terlibat skandal seks, maka masyarakat akan kecewa. Hal ini akan membuat karier mereka hancur. Bahkan, ketika ada konser Lady Gaga yang hanya diperbolehkan untuk orang berumur mulai 19 tahun ke atas, maka anak 18 tahun meski ditemani orang dewasa dikeluarkan dari tempat acara. Hal ini menunjukkan, pada dasarnya budaya Korea masih melekat, meski memang ketika berkaitan dengan seni atau industri kreatif mereka bisa bebas juga, bisa dilihat bagaimana pakaian band perempuan mereka tampil di atas panggung atau video musik dengan pakaian seksi.
Elly Risman dan Literasi Media
Kembali pada SNSD yang dua personilnya rencananya akan diundang oleh Bekraf. Ada respon dari psikolog yang sering menjadi rujukan para orangtua dalam mendidik anak, Bu Elly Risman. Dia merespon mengapa Bekraf malah mengundang SNSD yang menurutnya adalah simbol seks. Pernyataan Bu Elly Risman ini kemudian menjadi polemik, fans SNSD menolak dan akan memperkarakan cuitan Bu Elly ke ranah hukum.
Kita mafhum, bahwa memang band perempuan dari Korea Selatan dengan atas nama seni mereka semua memakai pakai seksi. Sejatinya ini yang menjadi kekhawatiran Bu Elly, tidak ingin anak-anak kecil, anak-anak muda generasi Indonesia kemudian kebablasan mengidolai mereka dan mengikuti segala tingkah lakunya seperti memakai pakaian seksi yang hal tersebut tidak mencerminkan orang yang berpancasila.
Namun, ada yang salah dari Bu Elly ketika mengatakan bahwa SNSD adalah simbol sex. Mungkin Bu Elly pernah baca bahwa ada personil salah satu band perempuan yang terlibat skandal seks. Kemudian beliau pun meminta maaf, karena telah megeneralisir semua band perempuan Korea adalah juga melacur. Jika ditilik, ternyata Bu Elly berpikiran seperti itu setelah membaca sebuah portal berita yang bernama Post Metro.
Di era digital seperti saat ini memang mudah mendapatkan berita, termasuk mudah mendapatkan berita hoax alias palsu. Bukan hanya itu, akan sangat mudah ditemukan portal berita yang memakai judul bombastis untuk setiap postingannya. Adanya portal berita tidak bisa dielak, ketika terkadang media mainstream lebih mementingkan profit dan isu-isu yang menguntungkan pemilik saham, maka portal berita bisa menjadi alternatif informasi. Namun begitu, portal berita juga bisa menjadi perusak karena malah menjadi corong berita-berita hoax.
Untuk itulah khalayak diperlukan tahu dengan yang namanya pendidikan literasi media. Dalam buku Literasi Media karya Apriadi Tamburaka, disebutkan bahwa pendidikan literasi media bertujuan untuk memberikan wawasan, pengetahuan sekaligus skill (keterampilan) kepada pengguna media untuk mampu dan menilai isi media massa yang dapat dipakai sekaligus juga berpikir secara kritis.
Maka, dengan semakin merebaknya media, media sosial dan portal berita, maka kita harus semakin berhati-hati dalam membaca dan memilah juga memilih berita. Kesalahan Bu Elly akan menjadi pelajaran, bagi kita semua. Ya, kita semua, karena zaman ini tidak sedikit orang yang termakan portal berita hoax. Pun sepatutnya permintaan maaf Bu Elly yang tulus itu, tidak dipermasalahkan lagi. Bu Elly tentu tidak punya maksud apapun kecuali ingin menjaga generasi Indonesia.
Jika ada yang masih mempermasalahkan Bu Elly, ada beberapa kemungkinan. Pertama, dia masih anak-anak atau orangtua yang belum paham bagaimana Bu Elly memberikan edukasi parenting kepada orangtua. Kedua, mereka adalah anak-anak atau orangtua yang tidak mempermasalahkan bagaimana anaknya nanti jika tidak dijaga dengan pengajaran adab dan moral. Jadi, sudahi. Mari kembali menguatkan mental kita, kembali belajar psikologi dan parenting anak dan termasuk juga kembali belajar literasi media.

                                                                                                  ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: