Soal Cadar, Menristek Siap Berdialog dengan Kemenag

Menristek Dikti Prof M Nasir memberi keterangan pers usai mengikuti pengukuhan Dr (HC) Dato’ Sri Tahir, Kamis (8/3).

Beda Prinsip, Kampus Muhammadiyah Tetap Menghargai

Surabaya, Bhirawa
Kontroversi seputar larangan cadar di perguruan tinggi Islam mengemuka akhir-akhir ini. Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Prof Mohammad Nasir berulang kali juga meluruskan bahwa hal tersebut bertentangan dengan semangat menghargai perbedaan.
Diungkapkan Nasir, pihaknya berharap bisa bertemu dengan Menteri Agama (Menag) untuk berdialog seputar aturan tersebut. Nasir menginginkan agar kampus dapat memberikan kebebasan kepada anak bangsa yang sedang berkuliah. Tidak ada diskriminasi antara sesama umat manusia, antar suku, antar gender, semua tidak ada perbedaan. “Kalau ada radikalisme, itu yang harus kita lawan dulu,” tutur Nasir saat ditemui usai pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa Datu’ Sri Prof Dr (HC) Tahir di Universitas Airlangga (Unair), Kamis (8/3/2018).
Menurut Nasir, urusan pakaian merupakan urusan kampus secara penuh dan bukan merupakan urusan kementerian. Karena itu dialog dengan Menag terkait permasalahan tersebut perlu dilakukan. Sampai saat ini, ungkap Nasir, pihaknya belum bertemu dengan Menag. “Karena peristiwanya kan di UIN (Universitas Islam Negeri). Itu (kampus) di bawah Kemenag,” tutur Nasir.
Di Kemenristek, tegas Nasir, aturannya jelas, tidak boleh ada diskriminasi. Karena itu, Nasir akan menyampaikan ke Kemenag bahwa itu menyangkut hak asasi orang diluar radikalisme. “Bukan menolak, kami tidak membolehkan adanya diskriminasi di semua kampus di Indonesia. Khususnya di kampus yang ada di bawah Kemenristek Dikti,” tandasnya.
Hal senada ditegaskan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Aziz Alimul Hidayat. Menurutnya, kampus merupakan tempat universal yang seharusnya bisa mewadahi berbagai macam pemikiran. Kampus juga menjadi ruang untuk bertukar pemikiran untuk diperoleh temuan-temuan baru. Selain sifat yang universal, kampus juga harus memahami keberagaman yang tidak bisa di dikotomi.
“Secara prinsip ideologis, kami di Muhammadiyah memang tidak sepakat dengan menutup aurat dengan cadar. Karena di dalam Islam, menutup aurat adalah dengan tetap memperlihatkan wajah,” tutur Aziz.
Kendati demikian, lanjut dia, Muhammadiyah dan kampus yang ada di bawahnya sangat menghargai perbedaan dalam sopan santun berpakain. Ketentuan berjilbab untuk mahasiswa juga tidak di atur secara khusus. Bahkan di kampusnya, lanjut Aziz, juga menerima mahasiswa non muslim yang otomatis di dalam berpakaian tidak menggunakan jilbab.
“Dengan kita semakin membelenggu perbedaan pemikiran mahasiswa, mereka akan semakin kuat memegang prinsipnya. Dengan berbagai pemikiran itu dibekukan, kampus tidak akan menjadi tempat yang universal,” tutur Azis. [tam]

Tags: