Soal Pelabelan Kemasan Pangan

foto ilustrasi

Belakangan ini, hingar bingar isu keamanan pangan dalam produk kemasan akhirnya mengerucut kepada wacana dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan melakukan pelabelan pada semua kemasan makanan dan minuman yang beredar di pasaran dengan mencantumkan keterangan lolos batas uji aman zat aditif tertentu. Sontak, wacana itupun kini menuai kontroversi, pasalnya pelabelan yang akan dilakukan oleh BPOM tersebut dinilai bisa mematikan industri pangan yang ada di Indonesia.

Terlebih, Indonesia memiliki kontribusi yang bagus di sektor industri makanan dan minuman (mamin) yang posisinya sebagai penyumbang terbesar terhadap sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan II tahun 2021 yang mencapai 38,42% serta memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 6,66%. Industri mamin selama ini telah membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, penerimaan devisa dari investasi dan ekspor hingga penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak, (Kompas, 20/9/2021).

Itu artinya, BPOM selaku regulator dalam memberikan izin edar produk Obat dan Makanan, sudah seharusnya bisa melihat situasi infrastruktur untuk mendukung kebijakan tersebut nantinya. Termasuk kesiapan upaya BPOM dalam menyediakan akreditasi di laboratorium terbilang belum cukup di Indonesia. Seperti halnya, dalam segi pengemasan di negeri ini terbilang masihlah rendah. Padahal, idealnya dihampir seluruh kemasan pangan menggunakan pelapis plastik dari berbagai jenis.

Penelitian di Amerika Serikat tahun 2016 menunjukkan 70 persen kemasan makanan minuman kaleng menggunakan pelapis berbahan Polikarbonat (PC). Sedangkan, di Indonesia, belum banyak ada pengujian serupa karena diperlukan kesiapan dalam uji laboratorium, Nah, oleh sebab itulah idealnya BPOM menyelesaikan dulu masalah infrastruktur laboratoriumnya, yakni dengan menyediakan perlengkapannya. Baru setelah itu, regulasi pelabelan bisa diimplementasikan. Jadi dengan demikian, semakin menegaskan bahwa peraturan yang baik adalah peraturan yang bisa diimplementasi dan dikomunikasikan. Sehingga, dengan begitu idealnya BPOM mampu memberikan kepastian hukum dan keamanan untuk pelaku usaha dan konsumen.

Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Rate this article!
Tags: