Social Climber, Post Truth dan Manipulasi ‘Kemewahan’

Oleh :
Dr. Lia Istifhama, MEI
Ketua Yayasan Universitas Taruna

Dalam penggalan hadits yang ditulis oleh Imam Thabrani, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tiga hal yang dapat merusak diri sendiri. Pertama, sangat kikir. Kedua, mengikuti kehendak nafsu. Ketiga, kagum terhadap diri sendiri.”

Dari tiga nafsu tersebut, nafsu yang marak terjadi pada era digitalisasi saat ini adalah nafsu kagum pada diri sendiri. Sifat bangga atau kagum bukan berarti menghambat seseorang untuk mengapresiasi dirinya sendiri, yaitu dalam konteks membangun kepercayaan diri sebagai bagian dari karakter optimisme. Namun yang ditekankan disini adalah mengagumi diri sehingga memiliki sifat denial (penyangkalan) terhadap kekurangan diri. Sebagai contoh, seseorang tidak ingin kekurangannya tampak di depan orang lain, yang mana kekurangan ini bisa mencakup banyak sisi, seperti fisik dan materi.

Pada realita ‘suguhan’ sosial media, ‘effort’ ingin selalu terlihat sempurna, menjadi potret yang sangat lumrah kita jumpai. Tidak sedikit pengguna sosial media yang menjadikan sosial media sebagai ‘album kesempurnaan diri’, yang mana menjadi ‘wadah’ menampakkan bahwa dirinya memiliki ‘good looking’. Bahkan tidak sedikit yang mengawinkan ‘kesempurnaan fisik’ dengan ‘kesempurnaan materi’ melalui ‘tayangan sosial media’.

Ada sebuah istilah menarik, yaitu ‘Social Climber’ yang dicetuskan oleh Wood (2006), sebuah sebutan untuk orang yang mencari pengakuan sosial yang lebih tinggi dari kondisi atau status yang sebenarnya. Istilah seorang ‘Social Climber’ kembali mencuat seiring dengan ramainya pemberitaan kasus penipuan di media sosial.

Social climber disini bukan sebatas memanfaatkan sosial media sebagai eksistensi diri, namun mendongkrak popularitas demi pengakuan atas status sosial yang lebih tinggi di tengah publik. Tentu, tujuannya adalah membangun kepercayaan bahwa dirinya sangat dibutuhkan orang lain, terutama terkait bisnis. Lebih lanjut, social climber bisa jadi tidak sebatas influencer media promosi bisnis orang lain, namun menahbiskan diri sebagai wadah tepat untuk investasi.

Demi melancarkan visi misinya, social climber pun tak segan melakukan berbagai strategi post truth (Steve Tesich, 1992) melalui manipulasi media sosial. Secara ekstrem, social climber pun menjadi sebuah potret ‘si miskin yang ingin terlihat kaya di medsos’.

Dari beragam fakta atas social climber, yang dalam hal ini, terbukti dengan terkuaknya kasus-kasus penipuan setelah mereka sempat menjadi ‘OKB’ (Orang Kaya Baru), bahwa mereka setidaknya memiliki kesamaan kebiasaan. Diantaranya adalah: menunjukkan potret strata sosial tinggi dengan beragam label terkenal yang digunakannya dan liburan mewah tanpa terlihat aktivitas pekerjaan yang secara logika menghasilkan pendapatan tinggi.

Jika ditelisik lebih detail, para social climber akan membuat beragam kontroversi sehingga menjadi perbincangan hangat dan meraih popularitas dalam waktu cepat, namun tidak diimbangi dengan keterbukaan latar belakang kehidupannya. Bahkan, akan sulit ditemui social climber yang memiliki laman Wikipedia sebagai sarana informatif atas kehidupan pribadi, seperti latar belakang pendidikan, keluarga, maupun karirnya sebelum dikenal sebagai ‘Orang (sangat) Kaya’.

Dalam pertemanan, mereka terlihat tidak membutuhkan waktu lama untuk berteman akrab dengan para seniman yang berada di tengah puncak popularitas. Sekalipun, pertemanan akrab tersebut seringkali terlihat ‘seumur jagung’.

Bagi penikmat film drama, kisah social climber identik dengan film The Joneses (2009). Sebuah film yang menceritakan tentang Kate, Steve, dan dua anak mereka, keluarga pendatang di sebuah lingkungan kelas atas. Rutinitas mereka yang selalu ‘memamerkan kekayaan’ dalam waktu singkat membuat mereka menjadi bahan pembicaraan dan ‘kiblat’ kekayaan. Masyarakat sekitar terbius dan lebih tertarik mengikuti perkembangan ‘kemewahan’ mereka dibandingkan ‘kebenaran’ latar belakang mereka.

Meski termasuk genre drama komedi, namun film ini memberikan pesan yang sangat penting. Diantara pesan tersebut adalah dampak negatif dari ‘kepalsuan’ atau yang saat ini disebut ‘post truth’, yaitu kebohongan yang menyamar menjadi kebenaran. Bahkan, film tersebut menunjukkan ‘matinya nalar’ dimana masyarakat mudah mempercayai ‘kebenaran’ tanpa menelisik kebenaran dari ‘kebenaran yang dibenarkan’ tersebut.

Dampak negatif atau sisi bahaya dari berbagai manipulasi kemewahan, adalah munculnya ‘uswatun sayyiah’, yaitu kebalikan dari konsep uswatun hasanah. Berhasilnya sang ‘manipulator kemewahan’ untuk meraih popularitas dan kepercayaan dengan ‘manipulasi kemewahan’, menjadikan orang lain berharap untuk mengikutinya.

Tak ayal, banyak terjadi di tengah masyarakat, bahwa anak muda berani tampil seolah-olah sebagai ‘crazy rich’. Mereka tidak akan segan melakukan pinjaman untuk kebutuhan non produktif tanpa memikirkan perputaran pendapatan untuk membayar cicilan tersebut, bahkan tidak sedikit yang melakukan penipuan sebagai ‘jalan pintas’ mendapatkan pendapatan tinggi.

Para ‘crazy rich’ yang berada dalam contoh tersebut, akan cenderung membuat pembenaran saat kebenarannya dipertanyakan. Mereka tentu memiliki ‘tim cerdas’ yang mampu menutupi realita sesungguhnya. Mereka akan memilih terus berpikir menjaga ‘potret kemewahan’ daripada mengevaluasi naik turunnya pendapatan, seperti yang dilakukan pebisnis sejati.

Dan akhirnya, segala bentuk manipulasi kemewahan pun akan terhenti jika srategi pembenaran atau post truth ala mereka, berurusan dengan hukum.

Nasib mereka memang terhenti di balik jeruji besi. Namun, yang menjadi perhatian penting untuk kita semua adalah, bahwa perilaku mereka telah menjadi ‘uswatun sayyiah’. Mereka telah ‘mewarisi’ pola pikir para korban atau followernya, yaitu anak-anak muda yang terus berpikir bagaimana terlihat ‘mewah’ meskipun tidak memiliki profesi yang menunjang untuk meraih kemewahan tersebut.

Realita inilah yang kita patut perhatikan bersama, yaitu bagaimana agar para ‘follower’ dari manipulator kemewahan tidak frustasi akibat memiliki life style yang terus memaksa mereka terlihat mewah. Sebaliknya, anak-anak muda seharusnya hidup secara bahagia dan tampil apa adanya diri mereka sendiri.

Akhir kata, mari kita bersama bergandengan tangan mengajak anak-anak muda untuk memiliki keyakinan diri dengan tampilan sederhana dan natural. Menjadi ‘wah’ tidak harus dengan cara ‘mewah’. Melainkan, akan lebih ‘wah’ jika seseorang berani tampil sederhana namun mampu menunjukkan karyanya yang ‘wah’.

———– *** ———–

Tags: