Solar (Subsidi) Langka

foto ilustrasi

Solar bersubsidi langka hampir merata di berbagai daerah. Walau Pertamina menjamin pasokan solar sesuai kuota yang ditetapkan pemerintah. Serta tambahan 10% dari kuota normal. Realitanya, antrean truk di SPBU tetap mengular sangat Panjang, sampai menginap. Konon penyebab kelangkaan dipicu kecurangan industr besar kelapa sawit yang sedang meng-genjot produksi besar-besaran. Maka Pertamina bakal bersikap tegas, dengan cara “menghunus pedang hukum.”

Lebih lagi industri pertambangan turut menyerap solar subsidi. Porsi BBM diesel bersubsidi mencapai 93% dari total solar bersubsidi. Maka Pertamina bakal bersikap tegas, dengan cara “menghunus pedang hukum.” Bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Termasuk melibatkan TNI dan Polri. Industri besar, sektor pertambangan, dan sawit akan menjadi target telisik hukum. Aksi nyata (dan hasil) ketegasan Dirut Pertamina ditunggu masyarakat luas.

Terasa tidak sulit menjejaki penyebab kelangkaan solar. Salahsatunya, penjualan solar non-subsidi (terutama Dexlite) malah menyusut. Sedangkan solar bersubsidi melebihi kuota. Tetapi biasanya, tidak mudah “meng-gebuk” perusahaan besar. Lebih lagi pada bidang pertambangan, dan kelapa sawit. Salahsatu buktinya, kelangkaan minyak goreng tetap terjadi. Karena lebih banyak CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit) diekspor.

Pengusaha CPO (kebun sawit) bagai memperoleh “durian runtuh” harga CPO global melejit sampai US$ 1.477,50 per-ton. Bagai mabuk keuntungan besar, sampai menelantarkan kebutuhan konsumsi minyak goreng dalam negeri. Kelangkaan minyak goreng telah terjadi selama 4 bulan. Setidaknya 5 Peraturan Menteri diterabas. Hingga harus tunduk pada mekanisme pasar. Harga minyak goreng kemasan melonjak “sesuka pasar.” Sedangkan minyak goreng curah (yang disubsidi) tidak ditemukan di pasar.

Penggunaan solar bersubsidi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga jual Eceran BBM. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1, angka ke-5, dinyatakan, “Sistem Pendistribusian Tertutup Jenis BBM Tertentu adalah metode pendistribusian Jenis BBM Tertentu untuk pengguna tertentu dan/atau volume tertentu dengan mekanisme penggunaan alat kendali.” Nyata terdapat frasa kata “untuk pengguna tertentu.”

Sehingga penggunaan (menyimpang) solar bersubsidi untuk keperluan industri skala besar, tergolong melanggar hukum. Konsumen solar bersubsidi diatur dalam Lampiran Perpres Nomor 191 Tahun 2014. Yakni: usaha mikro, usaha perikanan (kapal dibawah 30 GT, dan pembudidaya ikan skala usaha kecil yang direkomendasi Pemkab/Pemkot). Selain itu solar subsidi untuk usaha pertanian dengan lahan maksimal 2 hektar, dan peternakan skala kecil.

Juga diperbolehkan untuk usaha transportasi pelat kuning, dan angkutan usaha perkebunan dan pertambangan (dengan maksimum roda 6). Serta untuk angkutan pelayanan umum (ambulans, panti asuhan, yang direkomendasi Pemerintah Daerah). Sedangkan khusus sektor transportasi darat diatur melalui SK Kepala BPH Migas. Setiap SPBU biasanya menolak pembelian solar bersubsidi untuk mobil pribadi mewah (karena diawasi CCTV).

Seluruh pengguna solar bersubsidi bisa membelinya dengan harga Rp 5.150,- per-liter. Harga ini sangat jauh berbeda dengan harga solar non-subsidi. Yang paling murah, Dexlite (CN 51) harganya Rp 12.950,- per-liter. Artinya, harga 1 liter solar non-subsidi cukup untuk membeli solar bersubsidi sebanyak 2,5 liter. Niscaya menggoda naluri keserakahan. Dalam pasar gelap, solar bersubsidi dijual kepada kalangan usaha besar (industri besar, perkebunan besar, dan peternakan skala besar) seharga Rp 10.000,- per-liter.

Penyimpangan konsumsi BBM bersubsidi pada kalangan usaha besar patut dicegah dengan penegakan hukum secara tegas. Bisa dianggap sebagai extra ordinary crime. Setara korupsi. Bisa diancam dengan undang-undang (UU) Tipikor. Karena pasar gelap merugikan pendapatan negara.

——— 000 ———

Rate this article!
Solar (Subsidi) Langka,5 / 5 ( 1votes )
Tags: