Solusi Sistemik Banjir

Banjir dan longsor seolah tak surut dengan berbagai program dan proposal. Ribuan area banjir dan longsor nampak tersebar dari Lhokseumawe (di Aceh) sampai Larantuka (di Flores). Bahkan setiap musim selalu menambah area baru tergenang, dan luruhan longsor baru. Sudah banyak pemerintah daerah (Pemda) meng-antisipasi cepat dampak bencana. Namun tak jarang Pemda terlambat menetapkan kondisi darurat. Juga abai terhadap penyusutan daya dukung lingkungan.
Dampak bencana banjir (dan longsor) selalu terasa pedih. Kerugian materi pada tingkat rakyat (rumahtangga) sangat besar, berupa kerusakan sawah dan kebun. Serta terputusnya akses infrastruktur perekonomian lain (pasar, jembatan dan jalan). Kerugian materi lebih besar dibanding akibat kebakaran lahan dan hutan. Bertambah pedih, karena selalu terdapat korban jiwa. Misalnya, dua musim lalu tercatat korban jiwa sebanyak 60 orang, akibat longsor di Ponorogo.
Penetapan status darurat bencana sebenarnya tidak perlu menunggu sampai dampak bencana terasa lebih besar. Penanganan dampak bencana akan lebih rumit. Secara lex specialist, tanggap bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Diberikan kewenangan kepada pemerintah (nasional), dan pemerintah daerah (propinsi maupun kabupaten, dan kota) menetapkan status ke-tanggap darurat-an.
Pada pasal 51 ayat (1) dinyatakan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah (pusat). Klasifikasi bencana nasional, disebabkan pemerintahan propinsi dipastikan tidak dapat menanggung dampak bencana. Dalam ayat ke-2 dinyatakan, bahwa untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden. Skala propinsi dilakukan oleh Gubernur, sedangkan untuk skala kabupaten dan kota dilakukan oleh Kepala Daerah masing-masing.
Maka seyogianya, Pemerintah daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) menyusun mapping kebencanaan berdasar kondisi terbaru. Beberapa kawasan kronis banjir, telah memperoleh perbaikan lingkungan. Juga dibangun kanal banjir. Hasilnya cukup baik, mengurangi tingkat keparahan dan sebaran banjir. Antaralain kabupaten Ngawi, Madiun, dan Bojonegoro (yang dialiri sungai Bengawan Solo). Tetapi daerah lain tidak bisa diabaikan.
Pulau Madura, dalam lima musim terakhir, juga selalu terancam banjir. Antara lain, kabupaten Sampang, dan Pamekasan. Bahkan dua musim lalu (tahun 2016) Sampang terendam banjir sampai lima kali. Akibat kali Kemuning meluap, sebanyak 11 ribu rumahtangga terdampak banjir. Rumah tergenang banjir sampai ketinggian 1,5 meter. Beberapa anggota DPRD kabupaten Sampang, DPRD Jawa Timur Dapil Madura, sampai DPR-RI, mengusul penanganan dampak banjnir sistemik di Madura.
Penanganan banjir di Sampang secara sistemik disepakati pemerintah pusat dengan anggaran senilai Rp 1,050 trilyun. Dilaksanakan secara multy years, termasuk program sudetan penampung air, dan perbaikan bantaran sungai Kali Kemuning. Sedangkan pemerintah telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 55 milyar. Pada penyusunan APBD propinsi tahun 2017, telah dicanangkan penanganan jangka pendek. Diantaranya pemompaan banjir.
Penanganan banjir dan longsor, butuh penanganan sistemik. Kawasan lama “langganan” telah memperoleh perbaikan sistemik, sampai pembuatan tanggul. Namun dalam dua musim terakhir menunjukkan gejala kambuh. Seperti terjadi saat ini, banjir Bengawan Solo merendam persawahan, dan permukiman di kabupaten Klaten (Jawa Tengah), serta Ngawi, Trenggalek, Madiun, dan Bojonegoro (di Jawa Timur). Bahkan merendam jalan tol Surabaya-Solo.
Daerah lain, Lamongan, Gresik, dan Surabaya, juga mesti siaga menerima luapan. Terutama melalui anak sungai Bengawan, dan Kali Lamong. Tak cukup hanya dengan penetapan darurat banjir (dan longsor). Beberapa daerah telah menjadi pengawasan seksama BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dan segenap BPBD.
Tetapi masih diperlukan ke-seksama-an menegakkan peraturan tata-ruang. Serta pendidikan masyarakat menjaga lingkungan, dan mengantisipasi bencana.

——— 000 ———

Rate this article!
Solusi Sistemik Banjir,5 / 5 ( 1votes )
Tags: