Oleh:
Edi Sutomo
Staf Pengajar MAN 2 Kota Malang
Dunia pendidikan dalam satu dekade kebelakang disibukkan dengan era disrupsi pendidikan sebagai konsekuensi dari perkembangan industry 4.0 sampai pada era society 5.0.
Hal ini didukung pula pada awal tahun 2020 dunia mengalami pandemi Covid-19 yang turut mengubah peta jalan pendidikan sampai saat ini. Pada perkembangannya Kemendikbud RI memunculkan sebuah kebijakan untuk bisa dikatakan merespon kondisi tersebut dengan Kurikulum Merdeka.
Kurikulum yang dianggap identik dengan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik, begitu juga dengan pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran berdiferensiasi sendiri merupakan pembelajaran yang memberikan keleluasaan dan mengakomodir kebutuhan peserta didik untuk dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan masing- masing peserta didik. Hal ini diilhami oleh Pendidikan yang berorientasi kreatif-inovatif yang motifnya menghilangkan diskriminasi manusia berdasarkan jenis intelegensia tertentu sehingga setiap peserta didik memiliki perbedaan dalam kemampuan, pengalaman, bakat, minat, dan gaya belajar. Pada pembelajaran berdiferensiasi guru harus memperhatikan perbedaan karakter peserta didik dan memberikan pelayanan yang memenuhi kebutuhan peserta didik, sehingga penting adanya pembelajaran berdiferensiasi. Terlihat seolah mudah dan sangat ideal, akan tetapi pada tataran teknis diperlukan sebuah usaha yang tidak mudah.
Pembelajaran berdiferensiasi memandang peserta didik sebagai individu yang unik dan berbeda-beda. Guru harus memutuskan strategi pembelajaran yang sesuai dengan hasil identifikasi terhadap profil dan kebutuhan murid yang berbeda- beda sehingga murid dapat terlibat penuh selama pembelajaran berlangsung dengan tanpa paksaan.
Di sini guru harus memahami dan menyadari bahwa ada lebih dari satu cara, metoda dan strategi untuk mempelajari suatu bahan pelajaran ketika menggunakan pembelajaran berdiferensiasi. Guru harus mampu mengatur bahan pelajaran, kegiatan dan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh setiap peserta didik.
Selama ini proses pembelajaran berdiferensiasi ini ada tiga strategi yang dapat dipilh, yaitu diferensiasi konten, proses dan produk. Ada juga yang mengklasifikasikan pendekatan pembalajaran melalui gaya belajar peserta didik.
Bagi penulis, prinsip utama pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian pendekatan yang dibuat oleh guru dengan orientasi kepada kebutuhan murid. Disini perlu ada pergeseran orientasi dari “class oriented school” menuju “individual-centered school”.
Adapun tujuan pembelajaran berdiferensiasi adalah bagaimana menjalin hubungan yang harmonis antara guru dan peserta didik karena pembelajaran berdiferensiasi dibutuhkan relasi yang kuat antar guru dan peserta didik. Peserta didik mampu mengungkapkan apa yang ingin dipelajari, kekurangan dia dan tidak takut untuk berargumen. Pendidik disini mampu menjembatani daya kreatif peserta didik.
Hal ini perlu menjadi pemahaman kita bersama, bahwa lembaga pendidikan masa depan dituntut untuk lebih menghargai keunikan dan otonomi individu serta mengembangkan iklim yang kondusif bagi pembentukan konsep diri yang positif. Manusia yang memiliki keunggulan yang khas, pembelajar yang kreatif dapat diandalkan dan memiliki daya tahan dalam kesulitan merupakan modal untuk melangkah di masa depan.
Pada prinsipnya, diferensiasi bukanlah hal baru dalam khasanah pendidikan di Indonesia. Kita sering mendengar pengajaran di pesantren tradisional menggunakan pendekatan sorogan. Sorogan sendiri merupakan sebuah metode pembelajaran dimana santri membacakan kitab dihadapan kyai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa. Secara teknis pelaksanaan dari metode ini adalah santri datang secara bersama-sama menghadap kyai, kemudian mereka antri menunggu gilirannya masing-masing untuk membaca kitab yang dikaji. Dalam metode sorogan ini antara kyai dan santri terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya.
Pada proses ini kyai bertindak sebagai intellectual father dari santri sehingga timbul kewajiban moral untuk hubungan bilateral antara keduanya, dimana kyai dan santri dapat terjadi proses dialog dan bisa berlanjut pada bimbingan dan konseling. Sehingga kyai mampu melihat perkembangan belajar santri, sementara santri belajar aktif dan selalu memepersiapkan diri sebelum ngesahi kitab.
Pada perkembangannya kyai akan mengetahui metode yang sesuai untuk masing – masing santrinya. Pada proses sorogan ini tidak ada unsur paksaaan, semua dikembalikan kepada santri, jika santri ingin segera memahami kajian yang diberikan ia harus secara mandiri atau sering mengikuti berbagai diskusi yang dilaksanakan di luar kelas begitupun sebaliknya.
Menurut Armai Arief dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam” disebutkan bahwa terdapat kelebihan metode sorogan, yaitu: 1) terjadi hubungan yang erat dan harmonis antara pendidik dan peserta didik; 2) memungkinkan untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan peserta didik dalam menguasai topik yang ditempuh; 3) peserta didik mendapatkan penjelasan yang pasti tanpa harus mereka-reka tentanginterpretasi suatu kitab karena berhadapan dengan pendidik secara langsung yang memungkinkan terjadi tanya jawab; 4) Pendidik dapat mengetahui secara pasti kualitas yang telah dicapai muridnya; 5) peserta didik yang memiliki kemampuan baik serta memiliki daya belajar yang tinggi akan cepat menyelesaikan pelajaran, begitu juga sebaliknya.
Adapun kekurang metode sorogan ini, yaitu: 1) kurang efisien karena hanya menghadapi beberapa peserta didik, sehingga jika harus menghadapi peserta didik yang banyak perlu waktu yang lebih banyak; 2) Membuat peserta didik cepat bosan karena metode ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaantan dan disiplin pribadi; 3) peserta didik kadang hanya menangkap kesan verbalisme semata terutama mereka yang tidak mengerti terjemahan dari bahasa tertentu.
Apa yang ingin penulis sampaikan adalah, bagaimana prinsip – prinsip sorogan yang ada menjadi landasan bagi pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi. Tentu dengan berbagai penyesuaian di beberapa sisi dengan memperhatikan kondisi sosio kultural setiap lembaga pendidikan.
———- *** ————