Spekulan versus “Toko Tani “

Yunus Supanto(“Setengah hati” Kendalikan Harga Pangan)
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Pemerintah ternyata masih kalah bersaing dengan spekulan (dan pedagang besar), dalam hal mengontrol harga. Program TTI (toko tani Indonesia) yang digelar selama bulan puasa Ramadhan, belum berhasil menurunkan harga pangan. Harga-harga selama sebulan tetap tinggi, menggerus perekonomian rumahtangga. Harga sembako, bawang merah serta daging sapi, seolah tak bergeming. Walau pemerintah telah melakukan operasi pasar (OP) dalam program TTI.
Berdasar data SP2KP (Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok) selama sebulan (7 Juni sampai 8 Juli 2016), harga pangan tetap berada pada puncak harga. Misalnya, harga terendah beras medium (rata-rata) seharga Rp 10.500,- per-kilogram. Harga gula pasir juga tinggi (Rp 15.600,- per-kilogram), serta harga bawang merah sekitar Rp 37 ribu. Begitu pula harga daging sapi rata-rata masih diatas Rp 113 ribu per-kilogram. Kecuali NTB (Nusa Tenggara Barat) dan sebagian NTT.
Jelang bulan Ramadhan, presiden Jokowi memerintahkan pengendalian harga. Terutama daging sapi, dan beras. Untuk merealisasi perintah presiden itu, lima kementerian menggagas operasi pasar (OP) khusus lebih sistemik. Untuk pertama kali pemerintah meng-inisiasi program TTI (toko tani Indonesia). Program TTI diharapkan “manjur” untuk men-stabilkan gejolak (kenaikan) harga bahan pangan.
Program ini digagas terkait dengan sistem distribusi bahan pangan. Selain Kementerian juga disertakan usaha swasta. TTI, mulai dilaksanakan pada saat harga kebutuhan pangan melonjak  jelang bulan Ramadhan 1437 Hijriyah (2016). Bermula dari ke-gemas-an terhadap harga daging sapi yang terus naik me-liar. Masyarakat menghadapi indeks harga konsumen (IHK) tinggi yang rutin terjadi pada bulan Ramadhan. Begitu pula jelang pergantian tahun (setiap bulan Desember).
Lima kementerian (Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM, dan BUMN) bersinergi melaksanakan OP-TTI. Serta melibatkan usaha swasta sektor distribusi dan produsen. Awalnya, di beberapa daerah, OP-TTI sukses menurunkan harga daging sapi, beras, gula dan minyak goreng. OP dengan “banting” harga sampai dibawah harga pasar menjadi musuh endemik spekulan (yang bisa terancam kerugian besar) setiap.
TTI diharapkan dapat membangun struktur “pasar baru” yang menjadi rencana jangka panjang pemerintah dalam menjaga harga pangan. Yakni, setiap saat terjadi kenaikan harga-harga me-liar, TTI bisa ber-operasi. Misalnya pada saat paceklik (karena hama), atau pada dampak bencana alam, dan pasca konflik. Begitu pula pada bulan Ramadhan, serta menjelang pergantian tahun.
Pasar Dadakan TTI
Bazaar murah sembako pada bulan Ramadhan, selalu diburu masyarakat. Program pemerintah yang bersifat karitatif ini telah dilakukan oleh beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota. Di daerah, bupati dan walikota mengerahkan seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Juga menyertakan BUMN, BUMD serta dunia usaha dan kalangan industri.
Prinsipnya, bazaar maupun OP-TTI, hanya memangkas pos-pos distribusi, agar tidak terlalu panjang. Membatasi rente yang tidak perlu. Sehingga produsen bisa langsung dipertemukan dengan konsumen. Keuntungan produsen pun tidak berkurang. Barang kebutuhan yang dipasarkan tidak diberikan secara gratis, melainkan dijual dengan harga murah. Sehingga produsen tidak dirugikan. Begitu pula distributor, hanya perlu mengurangi sedikit keuntungan.
Bahkan untuk produsen non-pabrikan (kelompok tani dan UMKM) partisipasinya dapat menjadi sarana promosi memperluas pasar dan pelanggan. Dalam lima tahun terakhir, metode yang sama (memotong jalur distribusi) juga sudah dilakukan Pemerintah Propinsi dan beberapa Pemkab dan Pemkot.   Namun diperlukan solusi yang lebih sistemik. Antaralain daerah terparah mengalami kenaikan IHK (indeks harga konsumen).
Selain karena faktor distribusi, biasanya IHK yang melambung disebabkan oleh gagal panen. Paceklik, hingga kini masih menjadi pemicu utama inflasi. Paceklik disebabkan serangan hama, anomali cuaca, serta dampak bencana alam. Antaralain, musim kemarau yang berkepanjangan. Musim hujan periode tahun 2015 – 2016, seharusnya telah datang pada pertengahan bulan Oktober 2015. Tetapi terlambat datang sampai awal Desember. Niscaya mempengaruhi awal musim tanam (padi). Berujung pada menyusutnya suplai, tidak bisa mencukupi demand.
Begitu pula musim hujan yang bersambung (lebih lama) seperti sekarang. Nelayan tidak melaut karena gelombang pasang cukup tinggi. Serta kawasan pantai dilanda banjir rob, meluap sampai ke perkampungan. Menyebabkan usaha perikanan budidaya tersapu banjir. Hasil perikanan surut. Harga ikan laut maupun ikan air tawar (pertambakan dan kolam) melonjak. Tetapi pemerintah tidak mungkin menggelar operasi pasar khusus ikan.
OP-TTI sejatinya sangat diperlukan sebagai perlindungan konsumen. Jika Pemerintah tidak menggelar OP-TTI, maka masyarakat akan menuding pemerintah abai terhadap me-liar-nya harga bahan pangan. Bahkan beberapa daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) telah memiliki Perda tentang perlindungan kosumen. Jawa Timur, misalnya, memiliki Perda Nomor 2 tahun 2010, sebagai upaya perlindungan konsumen. Juga melindungi produksi, khususnya untuk hasil pertanian dan perikanan.
Perda tersebut pada pasal 5 ayat (2) di-amanatkan: “Kegiatan yang bersifat menunjang peningkatan tata kelola, peningkatan mutu produktifitas dan pemeliharaan kondisi sosial yang tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi atau Lembaga yang ditunjuk Gubernur.” Terdapat frasa “pemeliharaan kondisi sosial,” yang me-wajib-kan pemprop untuk melindungi masyarakat. Pedagang tetap boleh untung secara wajar.
Penguasaan Stok
OP-TTI terbukti “manjur” mengendalikan harga. Tetapi tak lama. Harga akan  kembali membubung seiring selesainya OP-TTI. Agaknya, spekulan terus mengintip, sembari menimbun bahan dagangan. Jika stok OP telah habis, spekulan muncul sebagai pengendali harga. Itulah problemnya, bagai kucing-kucingan. Pemerintah dihadapkan pada persediaan stok, khususnya sembako. Sedangkan spekulan bertahan dengan menimbun stok.
Tetapi aksi nakal spekulan itu berkonsekuensi mempengaruhi perekonomian rumahtangga. Terutama meresahkan golongan berpenghasilan menengah dan bawah. Jika harga-harga kebutuhan konsumsi primer (sembako) naik, maka akan memicu kenaikan laju inflasi. Pastilah lebih “menjepit” perekonomian. Berujung pada pengurangan tabungan masyarakat besar-besaran, seluruh pasar akan lesu. Banyak pedagang kecil di pasar tradisional memilih tutup lapak, beralih profesi.
Padahal, pengeluaran rumahtangga selama ini dijadikan sebagai ukuran utama PDRB berdasarkan harga berlaku. Konsumsi rumahtangga menjadi bagian terbesar dari belanja. Tahun lalu, PDRB Jawa Timur pada semester I (Januari hingga Juni 2015) mencapai Rp 436 trilyunan. Maka visi menyelamatkan perekonomian rumahtangga merupakan benteng untuk menghadapi krisis ekonomi.
Problem utama pemerintah dan pemerintah daerah (melalui program OP-TTI), adalah penguasaan stok. Sebesar-besarnya stok pangan pemerintah, hanya sekitar 8%. Jika ditambah impor tak lebih dari 12%. Tambahan kuota impor juga menjadi problem serius. TTI, eks kuota impor bisa menyurutkan perekonomian petani. Maka TTI wajib segera disertai perbaikan metodologi pertanian yang lebih bernilai ke-ekonomi-an.
Ketersediaan stok pangan memang tanggungjawab pemerintah. Tetapi penguasaan stok pangan merupakan domain masyarakat. Hingga kini masyarakat masih menguasai stok pangan melalui usaha ke-pertani-an. Seperempat diantaranya sudah diborong oleh pedagang. Namun pemerintah masih memiliki kewenangan mengatur ketersediaan pangan, termasuk melalui kendali tataniaga. Asalkan tidak disusupi KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), tataniaga pangan tidak mencekik perekonomian masyarakat.

                                                                                                                         ———- 000 ———–

Rate this article!
Tags: