Spirit Pohon untuk Gerakan Lingkungan

Memperingati Hari Gerakan Sejuta Pohon Se-Dunia, 10 Januari 2022

Oleh :
Rachmad K Dwi Susilo, Ph.D
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan, Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni Public Policy and Social Governance di Hosei University, Tokyo

Setiap tanggal 10 Januari komunitas dunia memperingati Hari Sejuta Pohon. Peringatan semacam ini perlu untuk menyegarkan kembali arti penting pohon dan eksistensi pohon bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Kemudian, kata sejuta yang disematkan dalam peringatan ini sendiri bukan menunjuk angka pasti atau angka sama persis bahwa penanaman harus berjumlah seratus, tetapi secara substansi menunjukan jumlah besar. Terlebih, di tengah bumi yang sudah krisis dan rusak, forestasi jangan tanggung-tanggung, dibuatlah jumlah yang besar. Bencana ini terjadi merata sejak sejak Oktober 2021. Warga Aceh Utara dan Papua masih menghadapi banjir dan tanah longsor.

Kemungkinan ke depan bencana tidak akan berhenti mengingat pembangunan dan investasi memiliki konsekuensi alih fungsi lahan. Etos modernisasi, komodifikasi dan kapitalisasi ruang melahirkan pemukiman dan pusat-pusat bisnis baru. Konsekuensinya, ruang terbuka hijau menyempit, pohon di hutan dibabat dan bunuh diri ekologis di depan mata.

Makna Simbolis Pohon

Secara denotatif, pohon dibutuhkan untuk konservasi dan mitigasi bencana. Banyak bukti yang menjelaskan hal tersebut. Kota Surabaya yang sebelumnya panas berubah menjadi sejuk karena penanaman pohon secara masif baik di pinggir jalan-jalan besar maupun memperbanyak taman. Disinilah, banyak pohon telah mampu mengubah wajah kota metropolitan.

Penanaman pohon juga diperlukan untuk mencegah banjir. Di wilayah-wilayah dekat perbukitan, pohon-pohon penyangga menahan air banjir. Air bah tidak melibas pemukiman karena air ditahan pohon-pohon di hutan tersebut berkahnya korban bisa dikurangi.

Sementara itu di masyarakat pesisir, pohon mangrove menahan laju dan amukan gelombang tsunami. Tidak heran, pelestarian Mangrove menjadi agenda penting pemerintah. Selain pohon mangrove mendatangkan banyak keuntungan yang bisa diambil manusia, fungsi Manrove sebagai penahan tsunami. Dengan demikian pohon memperkuat ketangguhan lingkungan (environmental resilient) yang dibutuhkan oleh ketangguhan komunitas. Peran ekologis dimainkan pohon, sedangkan ketahanan sosial diperkuat dengan pengelolaan (manajemen) dan kebijakan kebencanaan.

Masih ada lagi manfaat pohon yaitu sumber-sumber nabati dari pohon untuk program energi baru terbaharukan (EBT). Tindakan ini akan memperkuat ketahanan energi nasional sebab mengganti ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil. Secara fisik, begitu banyak manfaat pohon yang menopang kehidupan kita. Namun ternyata pohon juga memiliki simbolik. Manusia membutuhkan representasi kehidupan sosial melalui pohon. Sebagai simbol, pohon menunjukkan sebaik-baik manusia. Dalam Surat Ibrahim 24:25 Tuhan menggambarkan kebermanfaatan manusia sebagaimana karakter pohon yakni akarnya teguh, cabangnya (menjulang) ke langit dan buah yang dipanen setiap musim. Di sini manusia dituntut banyak belajar pada pohon. Dalam semua aspek kehidupan, manusia seharusnya memberi banyak manfaat secara kolektif untuk bersama-sama menyelamatkan bumi.

Gerakan Lingkungan

Pohon terbukti menjadi stimuli gerakan lingkungan. Kemunculan NGO lingkungan, LSM Brantas di Kota Batu, Jawa Timur dipicu penebangan pohon untuk pembangunan kantor walikotatif di tahun 1999. Penebangan pohon yang semena-mena mengakibatkan kerugian kota seperti kota menjadi panas. Berawal dari keprihatinan ini muncu NGO (Non Governmental Organization) konservasi dan advokasi yang akhirnya menjadi salah satu motor berdirinya perubahan status Kota Batu sebagai kota otonom (2001). Dari sini sejatinya, pohon bisa memicu perubahan besar dan sekaligus bisa menjadi simbol perubahan.

Makna simbolis pohon lebih luas dari pada sekedar realitas fisik karena memiliki beragam makna sesuai konstruksi sosial para pegiat secara terus menerus. Untuk itu ia menjadi basis gerakan lingkungan berbasis komunitas. Christopher Rootes (2004) menyatakan bahwa gerakan lingkungan merupakan jejaring cair dan tidak terlembaga dari interaksi informal yang terdiri dari individual dan kelompok yang tidak memiliki afiliasi organisasi dengan tingkatan bervariasi dari formalitas dan terlibat dalam aksi kolektif yang dimotivasi oleh identitas bersama (shared identity) terkait persoalan lingkungan. Pengertian ini merupakan pengembangan definisi gerakan sosial Mario Diani yaitu, jaringan informal yang dibentuk oleh beragam individu, kelompok dan organisasi dalam konflik kultur dan politik pada basis identitas kolektif bersama.

Pohon simbolik menjadi dasar perjuangan perbaikan lingkungan yang kemudian menjadi spirit yang memperkuat identitas kolektif (collective identity). Karakter kultural pohon menguatkan identitas kolektif gerakan. Pohon sebagai spirit mengingatkan tentang kebermanfaatan pohon. sebagai kolektivitas, ia mengikat ke dalam (bonding) dan keluar (bridging).Ke dalam untuk menggerakan warga untuk penanaman secara masif. Sedangkan keluar yaitu mengingatkan pihak-pihak yang abai pada konservasi atau bahkan merusak pohon. utamanya pada para pengambil kebijakan yang memiliki otoritas.

Di era desentralisasi ini, fokus gerakan seharusnya bukan lagi penanaman tetapi sudah perawatan melalui pendekatan kebijakan ideologis. Menurut penulis, langkah-langkah kebijakan bisa dilakukan sebagai berikut. Pertama, memastikan tidak ada pohon yang mati. Penanaman pohon sudah dilakukan, tetapi kadang pencitraan dan berhenti pada kepuasan, tanpa memikirkan keberlangsungan pohon-pohon ke depan. Untuk itu perlu diidentifikasi dan selalu dipastikan tidak ada penebangan pohon semena-mena.

Kedua, pohon tidak mencelakakan manusia. Identifikasi tidak hanya menjelaskan usia pohon atau karakter pohon, tetapi juga melihat pohon-pohon yang layak ditebang. Jika tidak memerhatikan ini, adanya hujan lebat dan angin puting beliung menyebabkan pohon tumbang dan sebagai malapetaka manusia.

Ketiga, penghormatan hak asasi pohon. Hak asasi pohon menjelaskan bahwa pohin harus dihormati keberadaannya. Ia tidak hanya diambil keuntungan oleh manusia tetapi juga diakui sebagai organisme ekosistem. Etika lingkungan biosentrisme mengajarkan tumbuh-tumbuhan sebagai sentral kehidupan.

Keempat, sosialisasi pohon pada generasi milenial. Generasi milenial lebih dekat kepada gadget dan IT (informasi teknologi). Jika mereka selalu mengunjungi obyek wisata pun jarang pada wisata ekologis berkelanjutan. Akhirnya, generasi ini jauh dengan lingkungan alamian, maka narasi dan diskursus tentang pohon sebagai kehidupan sosial perlu diangkat kembali.

Untuk itu dalam Peringatan Hari Sejuta pohon tahun 2022 ini, saatnya pohon sebagai simbol dan spirit gerakan tertata dan sebagai manifesto penggerak komunitas dan aktor-aktor negara. Semoga.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: