Spirit Transformatif di Era Kompetitif

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Kegaduhan yang sempat terjadi akibat pro-kontra beroperasinya sarana transportasi berbasis online seperti ojek online (go-jek),  taksi online (uber, grab dst) menandakan memang masyarakat dan pelaku layanan transportasi kita tidak terbiasa menghadapi perubahan. Imbasnya, selalu akan ada pertentangan antara kelompok yang bisa mengikuti  perubahan dengan kelompok yang cenderung status quo alias merasa nyaman dengan kondisi yang ada.
Perkembangan teknologi informasi yang melahirkan berbagai aplikasi untuk memudahkan layanan kepada masyarakat sesungguhnya mengisyaratkan semua pelaku usaha transportasi harus memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut sebagai bagian dari meningkatkan value layanan untuk masyarakat. Hanya sayangnya, kalangan pengusaha transportasi  khususnya ojek dan taksi konvensional nampaknya terlalu nyaman dengan kondisi yang ada tanpa melihat bahwa ada perubahan kebutuhan masyarakat yang mendambakan kemudahan dan kenyamanan dalam bertransportasi. Bisa jadi perusahaan-perusahaan taksi besar tersebut terjebak dalam zona nyaman, sehingga mereka lengah. Sehingga seolah tak memedulikan ketika belakangan para pengguna taksi konvensional  mulai mengeluh, pesan lewat telepon hampir selalu lama menunggu. Kalau di jalan, jika diberhentikan dari seberang jalan, taksi-taksi tersebut cenderung malas berputar walaupun tidak ada larangan memutar. Bukan itu saja, akibat merasa dibutuhkan masyarakat, para pengemudi taksi konvensional kadang berperilaku yang mau menang sendiri. Sebagai ilustrasi, beberapa kali penulis saat mengggunakan jasa taksi –yang punya nama besar dan dianggap paling baik–, beberapa kali mendapati pengemudi yang berdalih sebagai pengemudi baru sehingga penumpang diharap maklum kalau harus muter-muter mencari alamat yang dituju.
Terlepas bahwa itu fakta atau sekedar modus untuk memperbanyak tarif argo taksi, itu adalah fakta yang dialami para pengguna taksi konvensional. Pertanyaannya, apakah para pengelola taksi-taksi tersebut tidak sempat memberikan pelatihan-pelatihan berkesinambungan bagi front liners (para pengemudi) mereka untuk memberikan pelayanan konsumen yang lebih baik?
Dalam kondisi yang seperti itu, maka begitu antusiasnya publik menyambut hadirnya berbasis online sungguh dapat dipahami.  Bukan saja karena masyarakat yang merindukan akan pelayanan yang mudah dan murah, tetapi juga karena kecewa dengan pelayanan yang ada yang cenderung seenaknya dan mahal. Sehingga ketika, ada penolakan para pelaku usaha transportasi terhadap kehadiran ojek dan taksi online, publik pun dengan serta merta membelanya. Ironisnya, ketika masyarakat berikut para pelaku layanan transportasi  riuh dan gaduh berpolemik menyikapi kehadiran tranportasi berbasis online, pemerintah juga terlihat gagap dan gugup menyikapi perubahan tersebut.
Akibatnya publik pun ikut -ikutan bingung mengikuti arah dari polemik terkait layanan transportasi berbasis online. Ketidaksiapan pemerintah terbaca, bahwa hingga hari ini  belum mampu merumuskan regulasi yang bisa mengatur dan menjembati perubahan tersebut. Bahkan terkesan malah saling lempar tanggung jawab antara pusat dengan daerah ketika mendapat tekanan baik dari masyarakat maupun pelaku layanan jasa transportasi terkait regulasi yang harus diikutinya.
Kebutuhan Inovasi
Dinamika perkembangan ekonomi dan bisnis di abad ke-21 ini telah memaksa banyak pihak, khususnya para pelaku bisnis dan regulator, ditantang melakukan inovasi, mengerahkan pikiran untuk terus menjadi lebih baik. Sudah bukan zamnnya lagi kalau hanya mengandalkan pada kekuatan fisik seperti modal dan kedekatan dengan penguasa. Dalam konteks bisnis transportasi, maka kekuatan bersifat fisik seperti modal besar, lindungan regulasi, dan tekanan politik dari organisasi transportasi (baca :  Organda), tidak bisa lagi sepenuhnya dapat diandalkan di masa knowledge base economy.
Jaring laba-laba birokrasi dan regulasi serta feodalisme terselubung dari para regulator dan pengurus asosiasi telah memampatkan gairah inovasi di bidang layanan transportasi publik. Tanpa inovasi berkelanjutan, yang memerlukan banyak kerja otak, bisnis bisa layu. Para pelaku usaha yang selama ini merasa nyaman dan aman berada dibawah perlindungan birokrasi, sering merasa bahwa birokrasi bisa menjadi pengayom yang kuat bagi keselamatan dan masa depan bisnis yang dikelolanya. Seolah kalau sudah mampu dekat dengan kekuasaan bisnis yang dikelolanya akan selalu aman dan nyaman.
Di masa Orde Baru, pengusaha angkutan biasanya  berkolaborasi dengan regulator dan organisasi/asosiasi untuk mengatur pasar. Memasuki zaman reformasi seharusnya mereka melakukan transformasi, terutama ketika perkembangan pasar jasa transportasi sudah berubah dan tuntutan/kebutuhan konsumen makin bervariasi.
Budaya perusahaan yang dapat diandalkan mampu mengatasi persaingan dan tantangan perubahan bisnis memerlukan disciplined people, disciplined thought, dan disciplined action, sebagaimana kata Jim Collins dalam buku Good to Great (2001). Ketiganya saling melengkapi. Para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan jasa angkutan publik (taksi) tersebut mestinya yakin, jika layanan mereka prima, jauh diatas rata-rata, konsumen akan tetap menggunakan jasa mereka. Kalau mereka gamang menghadapi persaingan, jangan-jangan ada masalah di internal mereka yang harus diselesaikan.
Kita sesungguhnya tidak kekurangan contoh yang menggambarkan betapa perlunya transformasi yang bertujuan untuk mengoptimasi biaya dan meningkatkan efisiensi. Pada tahun 2015, sebuah perusahaan minyak besar di Indonesia terpaksa memberhentikan 25% tenaga kerjanya karena penurunan harga minyak. Meskipun beberapa ahli yakin bahwa 2017 akan kembali terjadi kenaikan harga minyak, banyak pula yang beranggapan bahwa kenaikan harga itu tidak akan kembali ke masa kejayaan sebelumnya, terlebih karena pengembangan energi terbarukan. Selain itu, sebuah perusahaan manufaktur elektronik terpaksa menjual divisi televisinya -industri yang dikenal memiliki marjin tipis- untuk mengurangi ratusan tenaga kerja.
Transformasi Sejak Awal
Ada tiga tantangan utama bagi perusahaan Indonesia, yaitu ketidakpastian prospek ekonomi; peningkatan tantangan bisnis seperti biaya kompensasi dan tekanan harga; dan kemungkinan gangguan model bisnis oleh perkembangan pesat teknologi. Oleh karena itu, perusahaan harus mengembangkan bisnis inti yang kuat dengan bertransformasi untuk menghadapi iklim kemerosotan atau gangguan yang tiba-tiba.
Dalam sebuah perjalanan perusahaan, setelah sekian lama dalam hitungan tahun dan puluhan tahun terjadi perkembangan yang membutuhkan respon yang berbeda. Seiring perjalanan waktu, akan tiba pada situasi yang stagnan, mandek bahkan mengalami kemunduran yang begitu cepat; terlalu cepat sampai tidak lagi dapat ditanggulangi dengan fire fighting dan karena itu memerlukan perubahan total yang disebut transformasi. Perusahaan selalu siap melakukan program transformasi lebih awal, karena tahapan analisis, benchmarking dan desain transformasi akan memakan waktu untuk dipelajari dan dibuat. Program transformasi dapat memakan waktu mulai dari beberapa bulan sampai satu tahun, atau bahkan lebih, terutama jika ada beberapa tahapan. Tapi sebelum transformasi itu dimulai, analisis harus dilakukan tentang bagaimana untuk merestrukturisasi perusahaan, bukan hanya dari segi finansial, tapi secara operasional sehingga akan lebih berkelanjutan.

                                                                                                         ————- *** —————

Tags: