SPT Tahunan dan Omnibus Law Perpajakan

Oleh :
Joko Susanto
Penulis Buku ‘Pajak Punya Cerita’
Pemenuhan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan terus digaungkan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui berbagai media telah mengerahkan sosialisasi perpajakan secara kreatif dan inovatif. Pengoptimalan eksistensi media sosial pun tidak luput dari bidikan tim kehumasan DJP. Pengiriman imbauan agar segera lapor telah pula disebar melalui surat elektronik (surel) kepada jutaan wajib pajak. Tidak ketinggalan, sasaran pembaca kaum millenial pun telah dilayani dan ditangani dengan optimal. Hal itu menunjukkan strategi dan kebijakan publikasi yang terstandarisasi.
Batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan 2019 sudah makin dekat. Akhir tenggat waktu pembayaran dan pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi pada 31 Maret 2020, sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah 30 April 2020. Bagi masyarakat yang sudah ber-NPWP, inilah saatnya untuk segera melaporkan SPT-nya tanpa harus menunggu hari-hari terakhir batas pelaporan. Selain agar lebih nyaman, hal ini juga untuk menghindari keterlambatan yang dapat mengakibatkan sanksi berupa surat tagihan pajak.
Jumlah wajib pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan terus meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan informasi yang disampaikan pemerintah dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2020, jumlah WP pada 2019 tercatat sebanyak 42 juta. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya sebanyak 38,7 juta WP. Pada 2015, 2016, dan 2017, jumlah WP tercatat sebanyak 30 juta, 32,8 juta, dan 36,0 juta. (https://news.ddtc.co.id).
Ketika mendaftar untuk memperoleh NPWP sesuai standar operating procedure telah diberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban wajib pajak. Salahsatu kewajiban wajib pajak adalah meleporkan SPT sebelum batas akhir yang telah ditetapkan. Sejak beberapa tahun lalu, pelaporan SPT Tahunan tidak harus secara manual dan datang langsung ke kantor pajak. Pelaporan SPT dapat dilakukan secara online. SPT merupakan surat yang digunakan wajib pajak untuk melaporkan penghitungan pajak, penghasilan, harta, objek pajak, atau kewajiban pajak lainnya yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Membangun Kesadaran
Undang-undang perpajakan telah melewati proses perjalanan yang panjang oleh wakil rakyat dan pemerintah. Kadangkala masih ada sebagian warga yang berlindung di balik alasan tidak tahu padahal telah diumumkan pada lembaran negara. Warga dianggap tahu dan sosialisasi juga sering dilaksanakan.
Patut diapresiasi bahwa pajak bukanlah istilah asing di telinga mayoritas masyarakat Indonesia. Dikenalnya pajak dapat menjadi modal awal untuk makin meningkatkan peran dan kontribusi masyarakat di dalamnya. Ironis kiranya bila kita ikut menikmati manfaat berbagai proyek pembangunan yang mayoritas berasal dari dana pajak, namun masih belum menyetor dan melaporkan pajak. Apalagi bila secara faktual telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif sebagaimana yang ditetapkan.
Menghadapi berbagai perubahan, tantangan, dan dampak situasi global, DJP-pun telah dan sedang membuat berbagai kebijakan. Pembenahan terus dilakukan baik terkait sektor pelayanan maupun teknis perpajakan.Ikhtiar ini tentu disadari dan perlu dukungan bersama karena penerimaan pajak menjadi andalan sisi penerimaan pada APBN. Posisi penerimaan pajak yang strategis ini selayaknya makin menyadarkan elemen bangsa bahwa sadar dan patuh kewajiban pajak berarti turut berkontribusi pula dalam membangun bangsa.
Rendahnya kesadaran pajak adalah satu di antara sekian banyaknya pekerjaan rumah dunia pajak hingga kini. Mengenalkan pajak saja memang belumlah cukup. Apaalgi, secara umum, pajak masih menjadi isu yang cenderung ‘dihindari’. Ironis bila salah persepsi terjadi hanya karena prasangka, miskomunikasi atau masalah sumber informasi yang diterima.
Hasil penelitian Widi Widodo dkk dalam buku Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia memperlihatkan bahwa variabel budaya pajak memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan moralitas pajak dalam mempengaruhi kepatuhan pajak. Nilai pengaruh budaya pajak terhadap kepatuhan pajak adalah sebesar 30,49% sedangkan pengaruh moralitas terhadap kepatuhan pajak sebesar 9,61%.
Temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Georgi Boss (1999) bahwa tidak ada satu pun negara di mana warga masyarakatnya merasa senang untuk membayar pajak tetapi mereka mau membayar pajak tidak lain karena pajak merupakan budaya. Namun ini bukan berarti moralitas dapat disepelekan.
Kesadaran membayar pajak relatif bukanlah hitung-hitungan ekonomis-matematis, yang jika mengeluarkan sejumlah uang akan mendapatkan manfaat langsung tetapi lebih kepada aspek sosial yaitu peduli terhadap kepentingan bangsa. Pajak yang dibayarkan seseorang di suatu tempat bukan hanya akan dinikmati sendiri dari pengadaan public goods and services tetapi akan jauh lebih besar dinikmati oleh orang lain yang mungkin berada jauh di pelosok pedesaan dan tidak mengenal pembayarnya.
Para pembayar pajak, para pahlawan bangsa masa kini itu, perlu diajak bersinergi membangun negeri dengan memenuhi kewajiban pajaknya. Kesadaran membayar pajak turut menentukan kelancaran roda pembangunan. Sebagai negara hukum, warga negara Indonesia wajib mematuhinya. Membayar pajak adalah salahsatu sumbangan positif bagi kemanusiaan.
Bila penerimaan pajak cukup aman maka alokasi anggaran dana ke daerah relatif ikut terjaga. Semoga kesadaran dan kepatuhan pajak masyarakat terus meningkat sehingga dunia pendidikan khususnya dapat terselenggara dengan optimal. Penggunaan alokasi dana pajak memang bukan domain kantor pajak, sudah disebar di berbagai kementerian.
Omnibus Law Perpajakan
Beberapa waktu belakangan ini, publik banyak yang menyoroti omnibus law Rancangan Undang-Undang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Pada intinya, langkah itu adalah sebuah teknik atau metode penyatuan beberapa materi dari UU agar terjadi harmonisasi. Jika materi UU diatur secara sendiri-sendiri maka akan terjadi potensi benturan antara UU yang satu dengan UU yang lain. Dengan memahami latar belakangnya maka respon akan lebih relevan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 yang terkait dengan Kementerian Keuangan dan Perkembangan Makro Fiskal serta Keuangan Negara di DPR. Khusus untuk Kementerian Keuangan, Presiden meminta untuk menjalankan omnibus law di bidang perpajakan yang terdiri dari 6 cluster. Omnibus law di bidang perpajakan ini terdiri dari 28 pasal namun mengamandemen 7 Undang-Undang (UU) yaitu UU PPh, UU PPn, UU KUP, UU Kepabeanan, UU cukai, UU pajak daerah dan retribusi daerah serta UU pemerintahan daerah. (www.kemenkeu.go.id)
Omnibus law atau undang-undang sapu jagat saat ini diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Salah satunya adalah melalui program penyederhanaan regulasi di berbagai sektor. Omnibus law perpajakan diharapkan bakal mampu meniingkatkan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat serta nilai dan minat investasi di Indonesia. Sebagai gambarannya, cluster pertama tentang meningkatkan pendanaan investasi melalui penurunan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan PPh bunga. Kehadirannya diharapkan mampu menjamin kepastian sistem pajak Indonesia secara efisien dan efektif. Perjalanan omnibus law mungkin makin cukup panjang namun batas waktu pelaporan SPT Tahunan makin dekat. Mari segera lapor SPT Tahunan.
———— *** ———–

Tags: