Status Akreditasi PTS Berimbas ke Status Dosen

Ketua Umum APTISI Edy Suandi Hamid (dua dari kiri) memberikan keterangan pers usai mengikuti forum diskusi PTS se-Jatim di Universitas Ciputra, Kamis (29/10).

Ketua Umum APTISI Edy Suandi Hamid (dua dari kiri) memberikan keterangan pers usai mengikuti forum diskusi PTS se-Jatim di Universitas Ciputra, Kamis (29/10).

Surabaya, Bhirawa
Kewajiban akreditasi tidak hanya berlaku di sekolah. Pada perguruan tinggi, akreditasi juga diwajibkan mulai tingkat Prodi  hingga akreditasi institusi. Berbagai implikasi dari aturan ini pun mulai terasa memberatkan bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Hal itu terungkap dalam forum diskusi PTS se-Jatim di Universitas Ciputra, Kamis (29/10). Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (STTS), misalnya. Ketua Prodi S2 Teknologi Informasi STTS Endang Setyati menjelaskan secara institusi, STTS mendapatkan akreditasi B. Sedangkan, Prodi S2 Teknologi Informasi mendapatkan akreditasi C. “Status akreditasi C itu yang sering dikeluhkan alumni,” ujar perempuan yang juga Direktur Pengembangan Kelembagaan STTS tersebut.
Dia mengaku, akreditasi C pada Prodi mengakibatkan alumni kesulitan mendapatkan jabatan fungsional akademik (Jafa) saat diterima mengajar di perguruan tinggi. “Alumni dari pasca sarjana yang terakreditasi C hanya diberi status sebagai tenaga pendidik. Bukan dosen,” kata Endang. Mereka, lanjutnya, juga tidak bisa mengurus Jafa meski sudah memiliki NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional).
Pihak kampus sudah memberikan laporan terkait peraturan tersebut ke Kopertis VII Jatim. Endang mengharapkan peraturan tersebut dapat dikaji ulang. “Sebelumnya akreditasi Prodi tidak mempengaruhi. Kenapa sekarang harus ada peraturan, malah minimal akreditasi Prodi B,” paparnya.
Padahal, menurut Endang, Indonesia masih mengalami kekurangan dosen. Namun, nyatanya untuk mencetak dosen juga mengalami banyak kendala. Karena itu, STTS terus berupaya melakukan reakreditasi untuk mencapai nilai B. “Secepatnya terus kami proses. Targetnya tahun ini selesai,” tambahnya.
Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko mengungkapkan, Indonesia masih mengalami kekurangan 47 ribu dosen. Jumlah itu disesuaikan dengan perbandingan mahasiswa dan PTS yang ada saat ini. Krisis dosen ini diperparah dengan aturan Kemenristek-Dikti yang justru memperumit lahirnya dosen-dosen baru. Terutama terkait akreditasi Prodi maupun institusi. “Kalau dihitung-hitung dalam dua tahun, bisa meluluskan 20 mahasiswa S2 untuk jadi dosen. Nggak bakal mungkin kekurangan 47 ribu itu dapat diselesaikan,” kata Budi.
Karena itu, Aptisi berharap Kemeristek-Dikti mampu memberikan solusi terkait permasalahan tersebut. Ditambah lagi, lanjutnya, kuota akreditasi adalah rata-rata 120 perguruan tinggi per tahun. Kuota yang ditentukan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) itu sangat minim. Mengingat jumlah perguruan tinggi yang belum terakreditasi sebanyak 4.110 institusi dan 18.401 Prodi. “Proses akreditasinya lambat. Aturan menjadi dosen juga dipersulit,” paparnya.
Ketua Umum APTISI Edy Suandi Hamid menambahkan, pihaknya terus mendesak Kopertis dan Kemenristek-Dikti untuk memberikan solusi secepatnya terkait permasalahan yang dihadapi oleh PTS di lapangan. Misalnya, dengan cara memberikan beasiswa S2 lebih banyak dan membuka Prodi baru di PTS. “Salah satu kendala tidak bisa meloloskan dosen juga dikarenakan jurusan tidak linier. Padahal, di lapangan, banyak prodi S2 yang tidak bisa menampung mereka yang ingin melanjutkan  pendidikan liner. Terutama di bidang kesehatan,” katanya.
Dia melanjutkan kalau memang ada PTS ‘nakal’, APTISI setuju Kemenristek-Dikti membawa ke ranah hukum. Namun, apabila PTS tersebut melakukan kesalahan kecil, Kemenristek-Dikti wajib memberikan pembinaan secara cepat dan solutif. “Jangan asal non aktifkan saja. Tapi berikan solusi yang tepat untuk perguruan tinggi itu,” tegasnya.
Koordinator Kopertis VII Jatim Suprapto menjelaskan, kopertis berperan penting dalam pendampingan PTS saat berstatus non aktif maupun aktif. “Kalau ada masalah, segara dikonsultasikan. Kami bisa berperan sebagai penyalur aspirasi ke pusat,” katanya.
Suprapto tidak memungkiri bahwa keputusan yang diberikan Kemeristek-Dikti terkadang turun secara cepat, namun tidak jarang pula sangat lambat. “Kami juga terus memberikan laporan ke Dikti,” pungkasnya. [tam]

Tags: