Status Pekerjaan di KTP Wajib Tertulis Dosen

Rektor Ubaya Prof Joniarto Parung menunjukkan KTP barunya yang sudah tertera status pekerjaan sebagai dosen.

Rektor Ubaya Prof Joniarto Parung menunjukkan KTP barunya yang sudah tertera status pekerjaan sebagai dosen.

Surabaya, Bhirawa
Meski Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi tak mau main-main dalam menetapkan aturan terkait rasio dosen dan mahasiswa di Perguruan Tinggi (PT), sayang tidak diimbangi dengan kemudahan untuk mengurus Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).
Rumitnya proses pengurusan NIDN ini pun membuat PT semakin kerepotan dalam memenuhi rasio dosen 1 : 30 untuk prodi sains dan 1 : 40 untuk prodi sosial.  Kondisi ini diungkapkan n Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Prof Achmad Jazidie, kepada pers kemarin.
Menurutnya  mengurus NIDN bisa memakan waktu hingga tahunan. Dan yang paling unik, pengurusan NIDN bisa ditolak hanya gara-gara status pekerjaan di KTP tidak tertera sebagai dosen.
“Kalau keterangan pekerjaan itu tertera guru atau swasta yang paling sering. Kita harus mengurus KTP baru,” tutur Jazidie saat ditemui, Selasa (24/11). Bahkan , lanjut Jazidie, surat keterangan dari kelurahan yang menyatakan sedang mengurus KTP baru juga tidak bisa digunakan sebagai pengganti syarat tersebut.
Prosedur yang rumit ini, lanjut mantan Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud itu, dipastikan akan semakin merepotkan PT. Khususnya PT di daerah-daerah yang bukan kota besar seperti Surabaya.
“Kalau di kampus kami dosen masih memenuhi rasio. Tapi bayangkan di daerah-daerah lain, mencari dosen tidak semudah seperti di Surabaya,” tutur dia. Apalagi tanpa NIDN, dosen tersebut tidak bisa dihitung dalam nisbah (rasio) dosen dan mahasiswa. Kendati demikian, pria kelahiran Gresik ini menegaskan, kampusnya akan tetap mengikuti aturan.
“Malu kalau Unusa tidak mengikuti aturan. Di situ ada Pak Nuh mantan Mendikbu, ada saya (mantan Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud), ada Prof Muchlas (Mantan Rektor Unesa). Semuanya tokoh pendidikan,” paparnya.
Mengurus NIDN semakin rumit bagi dokter di fakultas kedokteran. Sebab, tidak hanya ijazah profesi dokter dan ijazah spesialis yang ditanya, melainkan juga ijazah sarjana kedokteran. “Padahal logikanya, tidak mungkin pendidikan profesi dokter itu diikuti sarjana ekonomi,” tutur dia.
Jazidie mengaku, pihaknya terus mendorong dosen di kampusnya untuk mendapatkan NIDN. Bahkan dirinya sendiri ikut mengawal proses NIDN. “Kalau tidak ditanyakan terus sejauh mana proses pengurusannya, NIDN tidak akan jadi-jadi,” kata dia. Hingga saat ini, Jazidie mengaku masih ada puluhan dosen Unusa yang NIDN-nya masih nyantol.
“Kalau tidak memenuhi rasio dosen cepat sekali ada ancaman dibekukan. Tapi kementerian sendiri tidak memberi kemudahan mengurus NIDN,” ujar Jazidie.
Hal senada juga diungkapkan Rektor Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Joniarto Parung . Pihaknya mengakui telah berganti KTP baru untuk menguru NIDN. “KTP saya sekarang bukan e-KTP. Karena harus ganti keterangan pekerjaannya menjadi dosen,” tutur dia.
Menurutnya, kerumitan mendapatkan NIDN bukan saja soal KTP. Melainkan juga dosen harus sudah memiliki penelitian dan pernah melakukan pengabdian masyarakat. Syarat ini tidak mungkin dipenuhi bagi dosen yang baru masuk ke PT. Sementara kebutuhan PT dalam rekruitmen dosen bar uterus ada.
“Karena itu, aturan yang baru ini ada NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus). Itu diberikan bagi dosen yang sudah pensiun tapi masih bisa mengajar dan dihitung dalam rasio dosen,” pungkas Joniarto.
Kendati rumit, Joniarto mengaku kampus yang dia pimpin 90 persen sudah NIDN. “Kita rugi kalau dosen tidak NIDN karena tidak dihitung rasio. Karena itu (bagi yang belum) terus kami desak untuk mengurus NIDN,” pungkas rektor yang dulu pernah berkarir di militer ini. [tam]

Tags: