Stigma Negatif Pengaruhi Kejujuran Pasien Covid-19

Dr Andik Matulessy MSi

Surabaya, Bhirawa
Stigma negatif menjadi fenomena sosial yang saat ini muncul di tengah pandemi Covid-19. Seperti halnya, beberapa kejadian penolakan jenazah perawat yang meninggal akibat Covid-19 di daerah seperti Semarang, dan beberapa daerah lainnya. Meski kerap disebut sebagai garda terdepan, para dokter, perawat dan tenaga kesehatan juga tak luput dari deskriminasi dan stigma negatif yang berkembang di tengah masyarakat.
Terkait hal ini, pakar Psikologi Sosial, Dr. Andik Matulessy, M.Si., Psikolog menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, kemunculan stigma sosial dikarenakan seseorang atau kelompok masyarakat memiliki pengetahuan yang kurang memadai terkait virus Corona.
“Info penularan, cara penularan, hal-hal seperti itu kurang mendapat informasi dan inilah yang menyebabkan munculnya stigma,” paparnya dalam diskusi Webinar bertema “Stigma dan Prasangka Terkait COVID-19” yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Untag Surabaya, Senin (4/5).
Lebih lanjut Andik menjelaskan, stigma merupakan bagian dari prasangka dan orang yang berprasangka akan merujuk pada perlakuan diskriminasi pada orang lain.
Dosen Fakultas Psikologi Untag Surabaya itu juga menyebutkan bahwa sikap dan perilaku masyarakat saat ini tergantung pada informasi yang didapat. Olehnya, sangat penting memilih dan memilah informasi yang diterima. Penerimaan informasi ini juga erat kaitannya dengan imunitas. Andik menjelaskan apabila seseorang mendapat informasi negatif, hal tersebut semakin meningkatkan kecemasan dan kekhawatirannya sehingga memudahkan seseorang memiliki stigma pada orang lain yang terkait dengan Covid-19.
“Kalau terlalu takut dan cemas, serta berpikir negatif terus menerus malah menurunkan imunitas. Padahal untuk Covid-19 ini yang dibutuhkan adalah imunitas,” tutur Andik.
Sementara Dr. Dyan Evita Santi, M.Si., Psikolog menuturkan jika dilihat dari sisi lain, adanya stigma sosial ini menyebabkan masyarakat yang dinyatakan positif Covid-19, memilih untuk menyembunyikan hal tersebut. Hal ini dikarenakan melihat adanya diskriminasi yang diterima. Padahal hal ini justru berbahaya karena mampu mempercepat penularan.
“Kita berupaya bahwa apabila ada stigma yang seperti ini adalah salah dan kita cegah mulai dari diri sendiri dan menularkan pada lingkungan sekitar kita,” terang dia.
Karenanya, dalam menghilangkan stigma tersebut dimulai dari pencarian informasi yang aktual dan kredibel. Selain itu, empati yang tinggi juga dibutuhkan dalam masa pandemi ini.
“Rasa empati ini saya rasa harus kita miliki dalam situasi apapun. Tidak harus saat pandemi seperti ini, setiap hari empati merupakan softskill yang harus kita miliki. Apalagi saat seperti ini,” jelasnya.
Selain itu, media massa memiliki peran penting dalam mengurangi stigma sosial yang ada. Menurut Dyan, apabila media mampu memberikan pemberitaan yang baik akan merubah cara pandang masyarakat jauh lebih baik terhadap hal-hal terkait virus corona.
“Media harus betul-betul memiliki etika yang baik, mengedukasi yang baik. Seperti penggunaan bahasa yang digunakan hingga membentuk opini masyarakat agar memandang penyakit ini dengan lebih positif,” terang Dyan. [ina]

Tags: