Stop Ketergantungan Impor Beras

Oleh :
Dyah Titi Muhardini
Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Muhmammadiyah Malang

Wacana terkait impor beras beberapa waktu lalu sempat ramai dan mencuat ke permukaan publik di tengah panen raya di sejumlah daerah. Berbagai alasan pun telah disampaikan oleh pemerintah. Salah satunya, telah disebutkan bahwa impor beras dilakukan oleh pemerintah adalah guna menjaga stok beras nasional dan menstabilkan harga. Namun, kedati demikian wacana impor beras terus menjadi perhatian dan perbincangan publik dan petani khususnya. Pasalnya, jika kran impor beras dibuka logikannya akan berpotensi membawa dampak pada turunnya harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras.

Melihat potensi yang demikian, tidak salah jika para petani Tanah Air banyak menggelisakan masalah perberasan ini. Realitas masalah perberasan ini, tentu tidak bisa dibiarkan, pemerintah sebagai penentu dan pembuat kebijakan sekiranya bisa arif dan bijak terhadap petani, sehingga petani tidak terugikan. Nah, melalui tulisan ini penulis berusaha memberikan solusi terkait masalah perberasan di Tanah Air.

Indonesia, negara agraris pengimpor beras

Impor beras di Indonesia selalu menjadi polemik yang tidak berkesudahan. Padahal, semestinya fakta itu tidak harus terjadi mengingat Indonesia sebagai negara agraris yang terlintas adalah kata pertanian. Pengertian agraris adalah sektor pertanian atau penduduk yang mayoritas memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian. Indonesia adalah salah satu negara agraris, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)pertanian merupakan sector lapangan pekerjaan yang masih mendominasi sebesar 27,33 persen, dibandingkan sector perdagangan (18,81 persen) dan industri pengolahan (14,96 persen).

Melihat data yang demikian, maka tentu saja sebagai negera agraris, lahan pertanian Indonesia diharapkan dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masayarakat secara menyeluruh. Dengan julukan sebagai negara agraris, Indonesia diharapkan dapat menghasilkan bahan pangan sendiri. Sayangnya harapan tersebut sangat bertentangan dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Ironisnya sebagaian bahan pangan yang semestinya dapat diproduksi sendiri seperti beras, kentang, the, dan jagung masih diimpor oleh Indonesia. Setiap tahun Indonesia mendatangkan beras dari beberapa Negara, termasuk Negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Thailand, untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Sebagai negara agraris seharusnya berkelimpahan beras tapi masih melakukan impor beras. Swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah seolah sangat sulit direalisasikan menjadi sebuah kenyataan. Indonesia sebagai negara agraris mestinya pertanian memiliki peranan penting dalam meningkatkan devisa negara, karena sektor pertanian merupakan basis lapangan pekerjaan mayoritas masyarakat dan menjadi pemasok utama dalam penyediaan pangan di Indonesia. Namun, sayang negeri ini justru malah kerap kali melakukan impor, termasuk impor beras.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia rutin mengimpor beras dari berbagai negara tiap tahunnya. Berdasarkan data BPS Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018). Dilanjutkan, pada pada 2019, Indonesia tercatat mengimpor 444 ribu ton. Sementara di tahun 2020 volume impor beras mencapai 356 ribu ton.

Ketergantungan Indonesia pada impor beras bukanlah sebuah cerita baru, ketergantungan mengimpor beras dirasa telah terjadinya krisis ekonomi 1997/1998. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor beras sudah ada sejak era Orde Baru. Memang sedikit disayangkan, di mana Indonesia sebagai negara agraris beras harus bergantung terhadap impor beras salama bertahun-tahun lamanya.

Solusi berhenti dari impor beras

Persoalan beras di Indonesia terus menerus menjadi sebuah dilema dan persoalan tersendiri dalam pola hubungan antara pemerintah dengan petani. Mulai dari permasalahan pada petani yang memiliki biaya produksi tinggi yang tidak sesuai dengan harga beli yang dipatok oleh pemerintah melalui Bulog. Permasalahan lain yang tak kalah penting adalah persoalan cuaca yang menggangu produksi gabah dari petani, sehingga sangat berpengaruh pada stok beras nasional, sementara permintaan beras di Indonesia tergolong tinggi, sedangkan stok terbatas. Beberapa persoalan tersebut menjadikan sebuah dilema pada kebijakan impor beras dibalik persoalan petani yang dirugikan dari kebijakan impor beras.

Bahkan tak jarang impor beras banyak dikecam oleh para petani karena beras impor akan mengakibatkan anjloknya harga gabah dan merugikan para petani. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah untuk merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Revisi diperlukan mengikuti pergerakan ekonomi yang ada. Mengingat HPP yang sekarang sudah tidak layak lagi sehingga harus dinaikkan seiring dengan naiknya biaya produksi petani saat ini, Selain itu, SPI juga mendorong Perum Bulog memangkas jalur perdagangan beras. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 24/2020 tentang penetapan HPP untuk gabah atau beras, (Republika, 28/3/2021).

Idealnya, Bulog selaku penyerap beras petani harus membeli langsung kepada petani dan koperasi milik petani. Sehingga nantinya rantai pasok dapat lebih pendek dan harga lebih murah. Kebijakan tersebut membantu kenaikan HPP dan dirasakan secara langsung oleh petani. Sehingga, besar harapan pemerintah tidak mengimpor beras. Lebih detailnya, berikut ini penulis ingin menawarkan beberapa solusi agar negeri ini bisa keluar dari kemelut persoalan perberasan.

Pertama, ada baiknya pemerintah segera membentuk Badan Pangan Nasional. Karena terlihat sekali polemik perberasan, tentang impor beras ini menunjukkan tidak adanya suatu koordinasi dan belum baiknya administrasi maupun manajemen dari pangan dan pertanian di Indonesia, khususnya tanaman-tanaman pokok di Indonesia. Badan Pangan Nasional merupakan mandat Undang-Undang (UU) Pangan No.18 tahun 2012. Lembaga tersebut dinilai dapat menengahi perbedaan pendapat yang terjadi di Kementerian dan Lembaga seperti saat ini.

Kedua, menyusun neraca komoditas yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dari sisi neraca komoditas, secara teknis nantinya berbagai informasi terkait pasokan, stok, dan kebutuhan produksi akan ada di satu wadah. Rincian ini juga sudah mempertimbangkan kebutuhan industri dan konsumsi rumah tangga. Neraca ini mencakup tiga aspek, yaitu penetapan rencana kebutuhan dan pasokan, penetapan rencana komoditas itu sendiri, penerbitan persetujuan ekspor dan impor. Jadi nantinya kementerian/lembaga setiap tahun menyusun rencana produksi setahun ke depan.

Ketiga, perlu dihadirkannya koordinasi dan konsolidasi antara Bulog dengan kementerian perdagangan sebagai pelaksana impor beras, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran data yang berpotensi pada kesalahan dalam pengambilan keputusan terkait impor. Termasuk kendala teknis seperti harga yang ditetapkan oleh Bulog sangat rendah dan persoalan subsidi yang tidak merata pada tingkat petani, sehingga menyebabkan tingginya biaya produksi pada petani.

Melalui tiga solusi yang penulis tawarkan tersebut diatas, besar kemungkinan jika diterapkan akan memberikan solusi bagi negeri untuk menghentikan ketergantunag impor beras yang selama ini menyimpan dilemma dan kemirisan tersendiri sebagai negara agraris, dan negeri ini bisa keluar dari perdebatan impor beras yang berkepanjangan.

——— *** ——–

Rate this article!
Tags: