Stop Kriminalisasi Jurnalistik

Karikatur Kriminalisasi JurnalistikTiada yang kebal hukum, termasuk penegak hukum, jajaran legislatif (DPR dan DPRD), maupun wartawan. Kesetaraan di hadapan hukum merupakan komitmen bangsa Indonesia, tertuang dalam konstitusi (UUD). Serta merupakan HAM (Hak Asasi Manusia) yang berlaku universal di seluruh dunia. Begitu pula tata-kelola informasi telah menjadi bagian hak asasi yang digaransi konstitusi. Kinerja jurnalistik (dan wartawan-nya) niscaya tunduk pada seluruh peraturan, termasuk hukum adat.
Tetapi masih sering terjadi penyalahgunaan kinerja jurnalistik. Masih sangat banyak wartawan “bodrek” yang nyata-nyata bekerja untuk memeras sumber berita. Personel “bodrek,” bisa muncul pada media cetak (koran dan majalah), maupun media elektronik (diantaranya media online). Media cetak “bodrek” biasanya dicetak tanpa mengenal periode. Penerbitan bergantung pada perolehan wartawan hasil memeras sumber berita.
Begitu pula media online ecek-ecek, yang didanai bersama oleh kelompok perorangan. Hanya memerlukan biaya awal sekitar Rp 2 juta (berlaku se-tahun), sudah cukup untuk “meng-hantam” siapapun, terutama dengan tujuan memeras. Inilah problem pers Indonesia, berpacu lawan wartawan “bodrek.” Namun kinerja pers ecek-ecek (bodrek) bukanlah buruk total. Melainkan masih terdapat “hikmah” yang bisa dimanfaatkan.
Biasannya, wartawan “bodrek” mengincar mangsa yang dikategori busuk. Bisa kalangan legislatif (DPR dan DPRD), pejabat, penegak hukum, sampai pengusaha swasta. Kasus yang diincar, terutama penyimpangan terhadap peraturan (terutama korupsi) dan perselingkuhan. Jika gagal memeras, wartawan “bodrek,” akan ber-sinergi dengan LSM yang busuk pula. Pers jenis ini  (bodrek) sejatinya bukan wartawan, melainkan sekelompok pengangguran yang coba mengutil uang.
Tetapi untuk pejabat (pemerintah maupun swasta) yang baik, tidak akan risau dengan wartawan “bodrek.” Karena masyarakat luas juga tidak akan membaca kinerja pers ecek-ecek. Seluruh rakyat hanya mencari dan menunggu peliputan pers yang cerdas serta jurnalisme dedikatif. Produk pers seringkali merupakan pertanda budaya bangsa, yang tercermin dari ragam liputan. Intensitas pemberitaan, secara faktual menunjukkan permasalahan paling urgen yang berkembang di tengah masyarakat.
Tetapi kinerja jurnalisme yang dedikatif, ironisnya, seringkali dimusuhi pejabat. Bahkan tak jarang di-kriminalisasi. Sudah banyak wartawan dedikatif harus bertaruh jiwa raga, menghadapi pejabat busuk. Puluhan wartawan menjadi “tersangka” karena laporan pejabat. Seperti terjadi pada wartawan media online Berita ATJEH, di Lhokseumawe. Tuduhannya, melanggar Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Padahal tulisan dalam beritanya berupa “dugaan” pelanggaran qanun hukum syariah Islam yang berlaku di Aceh. Seorang anggota DPR Aceh dari parpol (lokal) tidak menunaikan shalat Jumat, malah booking hotel dengan beberapa perempuan. Maka pelaporan wartawan kepada Polres Lhokseumawe, nyata-nyata merupakan kriminalisasi. Bahkan coba mengadu, antara hukum syariat Islam yang berlaku di Aceh dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penetapan tersangka terhadap kinerja jurnalisme, seharusnya juga ditimbang dengan UU Nomor 40 tahun 199 tentang Pers. Pada pasal 5 ayat (1) dinyatakan,   “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Frasa kata “berkewajiban” secara langsung berurutan dengan kewajiban lain, pada pasal 5 ayat (2), tentang hak jawab.
Hak jawab, diberikan kepada masyarakat, yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. maka masyarakat memiliki hak jawab. Pers wajib memuat jawaban oleh masyarakat yang dirugikan, pada halaman yang sama dan ukuran (luas halaman) yang sama. Bahkan pada kode etik pers, harus ditambah kata “maaf” manakala terjadi kesalahan.
Maka terhadap pemberitaan yang merugikan, tidak perlu dilakukan adu otot maupun adu kuasa. Seluruh rakyat berkedudukan sama, equal before the law.

                                                                                                                    ———   000   ———

Rate this article!
Tags: