Stop Liberalisasi Pendidikan dalam RUU Ciptaker

Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Potret buruk masa depan pelaksanaan pendidikan kian terciup melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Semua itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, RUU Ciptaker berpotensi menumbuhkan semangat komersialisasi. Bahkan, berprospek mematikan pembentukan karakter bangsa. Wajar adanya, jika realitas tersebut berprospek menuai pro dan kontra di tengah-tengah publik dan sangat urgent untuk dikaji secara seksama.

Prospek liberalisasi pendidikan

Semangat yang dibawa oleh RUU Ciptaker mengarah kepada liberalisasi pendidikan. Tepatnya, bisa diperhatikan dalam RUU Ciptaker Bidang Pendidikan, diantaranya melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Konkretya, perubahan tersebut akan mengarah untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai barang dagangan.

Sejumlah perubahan regulasi pendidikan dalam RUU Ciptaker, salah satunya di antaranya, yakni penghapusan persyaratan pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia, penghapusan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Selajutnya, penghapusan kewajiban bagi perguruan tinggi asing untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi nasional. Selain itu, klaster pendidikan di RUU Ciptaker juga menghapus sanksi pidana dan denda bagi satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran administratif, tidak adanya kewajiban bagi program studi untuk melakukan akreditasi, hingga dosen lulusan luar negeri tidak perlu lagi melakukan sertifikasi dosen.

Berangkat dari kian longgarnya aturan sertifikasi, akreditasi, hingga penghapusan ancaman sanksi denda dan pidana akan berdampak pada pengabaian asas kesetaraan mutu dari perguruan tinggi. Bisa dibayangkan jika kondisi itu terjadi saat banyak Perguruan Tinggi Asing banyak berdiri di negeri ini, maka mereka bisa leluasa melakukan pelanggaran administratif tanpa dibayangi sanksi pidana atau denda.

Bisa dipastikan jika aturan baru tersebut disyahkan, otomatis nantinya akan memberikan karpet merah terhadap masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia. Hal itu turut berdampak pada kebebasan Perguruan Tinggi untuk memainkan besaran biaya kuliah. Selain itu kian longgarnya aturan sertifikasi, akreditasi, hingga penghapusan ancaman sanksi denda dan pidana akan berdampak pada pengabaian asas kesetaraan mutu dari perguruan tinggi.

Padahal, pendidikan di Indonesia dari dulu diarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya yang seimbang antara skill dan akhlak. Artinya, jangan sampai hanya karena ingin anak-anak Indonesia bisa bersaing di dunia kerja, aspek pembentukan mental dan karakter diabaikan. Jelas adanya, jika agenda RUU Ciptaker itu syahkan cepat atau lambat sebagai wujud pengingkaran dari tujuan awal pembukaan UUD 1945, yakni yang lebih berorientasi mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut, semakin diperjelas dalam pasal 31 ayat 1-5, bahwa terkait pendidikan dalam UUD 1945 tersebut memberikan jaminan hukum yang kongkrit untuk terpenuhinya hak rakyat atas pendidikan tanpa adanya diskriminasi. Bukan sebaliknya, malah meliberalisasikan pendidikan.

Menanti peran pemerintah

RUU Ciptaker bagi dunia pendidikan kian santer mendapat sorotan. Realitas tersebut, bisa terbuktikan dari adanya indikasi hilangnya frase murni pendidikan nasional yang kian terlihat dari RUU Ciptaker. Perubahan frase prinsip pendidikan yang awalnya nirlaba menjadi dapat laba. Selajutnya, frase izin pendirian sekolah atau perguruan tinggi menjadi izin pendirian badan usaha dan sentralisasi pendidikan. Melalui frase tersebut, jelas adanya pendidikan berpotensi pada orientasi mencari keuntungan. Bisa dipastikan, jika RUU Ciptaker bagi dunia pendidikan disyahkan maka sangat berpotensi menumbuhkan semangat komersialisasi.

Ada beberapa pasal terkait pendidikan di RUU Ciptaker yang kontraproduktif dengan filosofi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pasal-pasal RUU Ciptaker kluster pendidikan yang mengundang polemik dapat dilihat di Pasal 33 ayat 6 dan 7, Pasal 45 ayat 2, pasal 53, pasal 63, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 78, dan Pasal 90. Detailnya, indikasi adanya pendidikan masa depan berprospek liberalisasi bisa di kroscek dalam RUU Ciptaker. Tepatnya, di Paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan pada Pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada Pasal 62 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang bunyinya diubah menjadi “(1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.”

Selanjutnya, masih dalam paragraf yang sama, yakni Pasal 68 ayat (10) terkait ketentuan pada Pasal 71 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas juga turut diubah sehingga berbunyi: “Penyelenggaraan satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/ atau pidana denda paling banyak satu miliar rupiah.”

Merujuk dari beberapan pasal yang ada dalam batang tubuh RUU Ciptaker tersebut jelas ada indikasi nyata bahwa semangat komersialisasi, privatisasi serta liberalisasi cukup menonjol bagi roadmap pendidikan masa depan di negeri ini. Peran negara akan dibuat seminimal mungkin sehingga imbasnya penyelenggaraan pendidikan kepada kekuatan pasar. Otomatis, jika RUU Ciptaker terkait pendidikan itu disyahkan maka akan berdampak pada tersingkirnya Lembaga-lembaga Pendidikan berbasis tradisi seperti pesantren yang selajutnya akan diikuti dengan semakin mahalnya biaya pendidikan di tanah air. Singkat kata, jika benar-benar diterapkan, maka RUU Ciptaker kluster pendidikan akan membawa Indonesia sebagai pasar bebas pendidikan.

ini, saatnya sebelum semua terlanjut pihak pemerintah bisa lebih bijak mengembalikan marwah pendidikan sesuai yang diamanahkan dalam UUD 1945. Besar harapan, pemerintah sebagai pihak yang telah dipercayakan oleh rakyat untuk mengelola negara, maka negara atau pemerintah wajib memperhatikan dunia pendidikan. Pendidikan selain bentuk pelayanan negara terhadap rakyatnya. Pendidikanpun sebagai media mencerdaskan yang dapat mendorong maju peradaban masyarakat ke arah yang lebih baik. Oleh karenanya pendidikan wajib diperhatikan oleh pemerintah baik dalam segi pendanaan maupun kurikulum agar tercipta pendidikan yang maju dan mampu menjawab polemik-polemik sosial yang terjadi dewasa ini.

———– *** ———-

Tags: