Stop Mekanisme Pasar Kapitalistik

Novi Puji Lestari.jpg [1]Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Selama ini bisa dibilang reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi serta peran swasta, warga sipil, dan dunia internasional di sisi lain. Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai dengan peran negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur. Hasilnya, kehadiran negara lewat berbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh. Ketidakberdayaan pemerintah dalam memenejemen ketidakstabilam harga pangan di pasar yang saat ini terjadi sungguh banyak menyesakkan dada masyarakat kita.
Negara vs Mekanisme pasar
Hari-hari ini kita menjadi saksi negara yang lumpuh terhadap mekanisme pasar, tecermin dari ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga berbagai bahan pangan di tanah air. Pasar memang sulit dilawan. Meski pemerintah sudah mematok harga berbagai bahan pangan, seperti daging sapi Rp 80.000/kg, daging ayam Rp 25.000-Rp 30.000/kg, gula pasir Rp 12.000/kg, beras Rp 9.000-Rp 11.000/kg, dan bawang Rp 20.000-Rp 25.000/kg – toh harga komoditas itu tetap melambung tinggi. Konon pula selama bulan Ramadhan hingga lebaran Idul Fitri nanti, harga semua bahan pangan bergerak semakin liar. Sekarang saja harga daging sapi sekira Rp 115.000-Rp 120.000/kg, daging ayam Rp 28.000-Rp 35.000/kg, gula Rp 16.000-Rp 19.000/kg, beras Rp 10.000-Rp 12.500/kg, dan bawang merah Rp 30.000-Rp 40.000/kg.
Kondisi tersebut menunjukkan harga patokan pemerintah belum menjadi trigger bagi para pedagang di pasar untuk menurunkan harga komoditas pangan. Bahkan sekalipun pemerintah sudah melakukan operasi pasar dengan menjual komoditas pangan dengan harga murah tetap saja tak memengaruhi mereka.
Sebaliknya pedagang justru semakin terangsang menaikkan harga jual komoditasnya mendekati lebaran, karena meningkatnya permintaan dari masyarakat. Apalagi, kabarnya Toko Tani yang seyogianya menjadi satabilisator harga bahan pangan justru menaikkan harga beras Rp400 menjadi Rp 7.900 per kilogram.
Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok Ramadhan dan jelang Idul Fitri saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meredamnya. Mengapa dari tahun ke tahun masalah ini tak pernah berubah? Di manakah kehadiran negara? Konstitusi mengamanatkan agar negara selalu hadir dalam setiap permasalahan warga. Dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7/ 2014 tentang Perdagangan diatur kewajiban negara untuk menjadi stabilisator harga pangan.
Bahkan, komitmen “negara hadir” juga dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam butir 1 Nawacita ditegaskan: “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara…. ” Adapun dalam butir 2: “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya…. ”
Selama ini biasanya langkah pemerintah meredam kenaikan harga dengan hanya meningkatkan pasokan dan memperbaiki distribusi diperkirakan kurang efektif. Apalagi, langkah peningkatan pasokan dilakukan dengan impor pangan. Membuka lebar-lebar pintu impor akan membuat sistem pertanian dan pangan kita semakin terpuruk. Poin terpenting di sini adalah mengubah orientasi pembangunan pertanian dan pangan dari ketahanan pangan yang sangat kuat di sisi akses dan jaminan pangan ke konsumen beralih orientasinya ke petani. Dengan menyelamatkan petani, masa depan pangan kita akan selamat sehingga tidak ada lagi kepanikan pemerintah menghadapi ritual fluktuasi harga pangan menjelang hari raya.
Efektifitas operasi pasar
Tingginya harga kebutuhan saat ini merupakan persoalan klasik yang terjadi setiap tahun. Kendati klasik, sampai saat ini belum ada solusi konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Merujuk dari berbagai kajian empirik di lapangan, banyak faktor yang menyebabkan harga kebutuhan pokok tidak stabil saat Ramadan.
Pertama, distribusi bahan pokok buruk. Buruknya distribusi bahan pokok ini tidak mesti karena terkendala oleh buruknya infrastruktur. Sebab infrastruktur yang baik ternyata masih belum memberikan pengaruh dan jaminan distribusi bahan pokok berjalan cepat. Kondisi ini akhirnya membuat stok menipis dan membuat harga merangkak naik.
Kedua, banyaknya pedagang “nakal”, yang kerap memainkan harga untuk mendapatkan keuntungan besar. Biasanya pedagang nakal ini yang memiliki modal besar dan membeli barang dalam jumlah besar, kemudian menimbun di dalam gudang. Pedagang nakal ini akan mengambil sikap nakal, ketika barang sudah langka, mereka lantas memainkan harga semaunya sendiri. Mereka mengeluarkan sedikit demi sedikit sehingga masyarakat terpaksa membeli.
Ketiga, lemahnya pengawasan yang dilakukan Pemprov maupun pemerintah kabupaten/kota di lapangan atau pasar. Pemerintah masih belum memiliki power untuk menentukan harga pasar. Pemerintah terkesan pasrah dan hanya melakukan operasi pasar tanpa menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.
Pengawasan yang dilakukan terkesan tidak ketat, sehingga pedagang nakal dengan bebas memainkan harga kebutuhan pokok. Faktanya, seusai operasi pasar, harga kembali melambung tinggi. Agaknya operasi pasar yang dilakukan pemerintah baru sekadar memberi pilihan kepada masyarakat untuk membeli bahan pangan dengan harga lebih murah.
Operasi pasar itu tak mampu melawan pasar sesungguhnya. Pasalnya, pemerintah memang sudah melepaskan perekonomian kepada mekanisme pasar sejak beberapa tahun lalu. Makanya patokan harga yang dibuat pemerintah tak menggetarkan pasar, karena tidak ada hukuman buat pengusaha dan pedagang menjual barang dengan harga mahal, kecuali mereka terbukti bersekongkol atau melakukan kartel harga.
Keempat, hukum ekonomi supply and demand memang sudah sangat mewarnai perekonomian nasional, yang membuat sesama pengusaha dan pedagang terbiasa bersaing menjual barang sejenis dengan harga bervariasi. Artinya, pedagang yang menjual barang dengan harga tinggi tak gentar bersaing dengan pedagang yang menjual barang sejenis dengan harga lebih murah, karena yang membuat harganya berbeda adalah kualitas barang tersebut. Makanya, para pedagang bahan pangan, seperti daging sapi maupun gula pasir, di pasar pun tak gentar dengan segala operasi pasar yang dilakukan pemerintah. Toh, masyarakat tetap memilih barang berkualitas meski harganya lebih mahal, karena mereka memang harus menyajikan makanan yang terbaik saat Ramadhan dan lebaran Idul Fitri .
Kalau memang pemerintah ngotot ingin menurunkan harga berbagai komoditas yang sudah bergerak liar di pasar, sebaiknya pemerintah mampu mengelola sembilan bahan pokok dengan mengembalikan fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog) yang ada saat ini. Prakteknya bisa merujuk seperti yang sudah pernah dilakukan di zaman orde baru. Langkah ini, pasti bisa mengendalikan harga bahan pangan karena dibawa pengendalian atau menejemen Bulog. Namun, dengan langkah ini pemerintah harus siap mendapat konsekwensi penilaian negative dari publik.
Pemerintah dalam hal ini tentu akan dituduh tidak konsisten dengan kebijakannya terhadap mekanisme pasar. Tapi jika pemerintah tidak ingin mendapat tuduhan itu sebaiknya pemerintah dalam operasi pasarnya mampu menyediakan atau memasok bahan pangan berkualitas yang berharga murah. Bisa jadi, dengan langkah ini pasar akan gentar. Saat itu operasi pasar tidak akan diidentikkan dengan “gertak sambal” oleh padagang.
Masalah ketidakstabilah harga ini sebenarnya persoalan klasik dan selalu terjadi saat menjelang Lebaran dan momen- momen tertentu. Untuk menyelesaikannya masalah ini dibutuhkan sinergisitas sejumlah elemen agar masalah ini tidak menjadi momok setiap Ramadan dan jelang Idul Fitri. Pihak itu adalah legislatif, penegak hukum dan masyarakat, termasuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebab bagaimanapun juga pemerintah mempunyai peran otoritas mutlak dalam menstabilkan harga di pasar. Besar harapan sebagai warga, hentikan kapitalistik di negeri ini, jangan sampai komoditas yang menyangkut hidup-matinya warga negara justru diserahkan kepada mekanisme pasar. Sekarang ini, saatnya kita bersatu melawan mekanisme pasar kapitalistik.

                                                                                                             ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: