Stop Paradoksal Pendidikan Karakter

Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Pendidikan karakter kini menjadi salah satu agenda bersama pemerintah, sekolah, dan masyarakat, sebagai wujud kesadaran akan pentingnya melakukan upaya-upaya sistemis. Semua itu dimulai dari institusi pendidikan formal. Itu artinya, sebagai institusi pendidikan formal, sekolah dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi berkewajiban untuk membentuk karakter setiap peserta didik.
Kewajiban institusi pendidikan membentuk karakter anak didik juga menjadi harapan Presiden Joko Widodo saat mengucapkan selamat Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei. Merujuk dari harapan Presiden Joko Widodo tersebut maka sudah sepatutnya pendidikan tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan. Pendidikan seharusnya juga mampu membentuk karakter kuat kepada peserta didik berupa nilai-nilai luhur, seperti jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, dan demokratis. Pengetahuan terus berkembang sejalan dengan perkembangan zaman, tetapi nilai-nilai luhur itu tetap relevan di segala zaman.
Pendidikan karakter butuh keteladanan
Pendidikan karakter menemui fenomena paradoksal. Menurut KBBI, paradoksal terartikan sebagai suatu bentuk berlawanan dengan pendapat umum atau kebenaran yang terpungkiri. Menurut saya sebagai penulis, demikianlah keadaan pendidikan karakter kita saat ini mengalami fenomena paradoksal. Realitas itu, jujur harus kita akui bersama dan menjadi pekerjaan kita bersama untuk kita luruskan.
Pendidikan karakter yang selama ini umum kita lakukan adalah mengajarkan kejujuran. Hampir kita lakukan sebagai pendidik sikap jujur kita gelorakan. Bahkan, mengajak bersikap jujur itupun menjadi tanggungjawab kita bersama demi penguatan pendidikan karakter di institusi pendidikan. Namun, sayang segala paradoksal pendidikan karakter bisa saja terjadi dibalik niatan baik kita. Berikut beberapa paradoksal yang bisa saja terjadi.
Bisa kita katakan bahwa di satu sisi digelorakan program penguatan pendidikan karakter di institusi pendidikan, tapi pada sisi lain pelanggaran etika dan norma terus-menerus dipertontonkan secara ugal-ugalan di ruang publik. Pendidikan karakter membutuhkan keteladanan. Butuh contoh riil dari elite politik, aparatur negara, pemuka agama, guru, hingga orangtua siswa.
Paradoksa pertama, di sekolah, anak didik diajari hidup sederhana dan jujur, tapi di ruang publik, misalnya, mereka menemukan sejumlah kepala daerah berpola hidup berwewah-mewah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi.
Paradoksa kedua, terkait dengan demokrasi. Di sekolah, anak didik diajarkan bahwa pemilu merupakan jalan damai suksesi dengan menjunjung tinggi hukum dan persatuan bangsa. Namun, apa yang justru terjadi. Seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini justru setelah pemungutan suara pada 17 April sama sekali tidak memberikan pendidikan politik. Ada kontestan yang sibuk mengklaim dan merayakan kemenangan tanpa perlu menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sekolah diajarkan bahwa pemilu tetap menyatukan perbedaan pilihan, tapi di ruang publik ditemui fakta bahwa pemilu justru membelah.
Paradoksal ketiga, selama ini kita mengajarkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Bahkan, seperti kita akui secara de facto dan de yure pernyataan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Ayat ketiga itu merupakan salah satu isi konstitusi yang disepakati Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam amendemen atau perubahan ketiga UUD 1945.
Melalui kenyataan tersebut dipertegas bahwa melalui pasal 1 meneguhkan bahwa seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia harus tunduk pada ketentuan hukum. Semua ada aturan mainnya. Tujuannya agar kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berjalan tertib. Tidak terkecuali, dalam pelaksanaan pemilu. Kepatuhan terhadap hukum turut menentukan kualitas pemilu dan demokrasi secara umum.
Premis ini tampaknya terabaikan, atau lebih tepatnya sengaja diabaikan, oleh segelintir orang yang ingin memaksakan kehendak. Hanya karena perkembangan hasil pemilu tidak menguntungkan bagi mereka, provokasi terus disemburkan demi memancing kemarahan rakyat. Harapan mereka, massa akan bergerak meski dengan cara-cara inkonstitusional atau di luar ketentuan hukum. Dalih telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilu digaungkan. Kesalahan begitu mudah disebut sebagai kecurangan. Satu kesalahan dipandang sebagai 10, 10 sebagai 100, dan seterusnya.
Jujur sebagai pendidik dalam mengajarkan pendidikan karakter melalui realitas-realitas yang saya paparkan melalui ke tiga paradoksal itu ada dilemma tersendiri dalam mengajarkan pendidikan katakter. Di satu sisi kita secara teoritis bahkan secara hukum sangat bagus pengaturannya, namun sayang dilapangan sering kali berbenturan dengan aturan main. Jujur harus kita akui bersama bahwa tugas kita semakin berat, untuk menjaga konsistensi dalam mengaplikasikan pendidikan karakter. Sebab, kenyataan yang ada lebih banyak memberikan contoh yang sebaliknya. Sedangkan pendidikan karakter butuh keteladanan. Melalui keteladanan inilah tugas terberat kita.
Pendidikan karakter tanggungjawab bersama
Pendidikan karakter di negeri, setidaknya menjadi tanggungjawab kita bersama. Melalui pendidikan nasional, pengedepanan pendidikan karakter berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi tersebut sangat ideal dalam upaya mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa besar dan memperoleh pengakuan dunia sebagai bangsa maju dengan dukungan kekuatan sumber daya manusia yang cerdas secara spiritual, emosional, intelektual, dan kinestesis.
Kecerdasan intelektual dan kinestesis tidak akan mampu berkontribusi secara optimal jika tidak diimbangi dengan kecerdasan emosional yang menekankan pentingnya sikap inklusif dan pluralistis dalam kebinekaan serta kecerdasan spiritual yang menekankan kekukuhan moral dalam pengembangan bangsa ke depan.
Eskalasi pemajuan bangsa masih menghadapi berbagai permasalahan, antara lain. Pertama, sikap inklusif dan multikultural yang masih belum merata di antara anak bangsa. Kedua ialah sikap menghargai dan menghormati perbedaan. Keragaman agama, baik dalam konteks hubungan antarumat beragama maupun hubungan intern umat beragama, tidak terlalu mudah dieliminasi karena menyangkut sebuah keyakinan.
Pengembangan sikap inklusif, pluralistis, dan toleran kini diprogram secara sistematis, dilaksanakan secara konsisten, dan dievaluasi terus-menerus dalam proses pendidikan panjang melalui program pendidikan karakter di semua jenis dan jenjang pendidikan. Di antara 18 nilai yang diprogramkan untuk dibina dalam pendidikan karakter ialah keberagamaan, toleransi, cinta damai, semangat kebangsaan, dan cinta persahabatan.
Pendidikan karakter kedepan sungguh amatlah berat. Karakter amoral yang melekat pada bangsa ini yakni ketidakjujuran harus dikikis habis. Karakter buruk lain yang harus kita singkirkan ialah manipulatif, arogan, defensif, dan agresif. Melalui bahasa pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966), bangsa harus menciptakan pendidikan karakter. Dalam pandangan Foester, pendidikan karakter mengandung ciri-ciri keteraturan interior. Setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, dan teguh pada prinsip. Kemudian, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut mengambil risiko, memberi otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar agar menjadi nilai bagi pribadi. Ciri lain, membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran keadilan (Doni Kusuma, A: 2006).
Merujuk dari pandangan Foester itulah, setidaknya semakin kita sadari bahwa pendidikan karakter bagaimanapun menjadi tanggungjawab kita bersama. Sehingga, tidak ada yang salah jika selama ini pendidikan karakter teraplikasikan tidak hanya pada satu mata pelajaran, tapi dilaksanakan dalam semua mata pelajaran, dilaksanakan di sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam interaksi kehidupan sosial para siswa. Semua yang kita lakukan itu, tidak lain dan tidak bukan adalah demi menstop paradoksal pendidikan karakter yang banyak kita saksikan selama ini.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: