Stop Pernikahan Usia Dini !

Oleh :
Syania Fidya Refisca
Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Kasus pernikahan usia dini akhir-akhir ini banyak terjadi di kalangan masyarakat. Umumnya pernikahan usia dini terjadi karena beberapa faktor yakni faktor orang tua, faktor ekonomi, pendidikan, pergaulan bebas, adat istiadat, dan faktor hamil diluar nikah.
Seperti yang kita ketahui didalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, adapun bagi seseorang yang belum berumur 19 tahun bagi pria dan belum berumur 16 tahun bagi wanita tidak boleh melangsungkan pernikahan sekalipun mendapatkan izin dari orang tuanya, kecuali ada izin dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka persentase pernikahan dini di Tanah Air meningkat menjadi 15,66% pada tahun 2018, dibanding tahun sebelumnya 14,18%. Dari catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak (22,77%) , Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%). Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia dini.
Hamil disaat usia muda dapat meningkatkan risiko kesehatan pada ibu dan mendatangkan konsekuensi kesehatan pada janin yang ada dalam kandungannya. Perempuan di bawah usia 21 tahun yang hamil dan melahirkan berisiko mengalami kelahiran premature yang disebabkan karena kondisi mental sang ibu dan juga kematian pada saat persalinan. Tak hanya itu, perempuan yang telah menikah di usia muda rawan terkena depresi pasca melahirkan karena kurangnya dukungan moril, pengetahuan cara mengasuh bayi, keterbatasan ekonomi, gunjingan dan hujatan orang lain akan mengakibatkan baby blues dan kesehatan psikis atau mental mereka terganggu.
Membahas mengenai kesehatan psikis atau mental pada saat menikah usia dini, salah satu ancamannya adalah wanita muda rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mereka tidak memiliki pengetahuan bagaimana caranya terbebas dari kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam pernikahan usia dini karena ego mereka dan belum siapnya mental mereka untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul. Pernikahan dini dapat mengakibatkan terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardhani menyatakan bahwa tingginya angka perceraian dikarenakan banyaknya dampak pasangan muda yang belum bisa mempersiapkan kehidupan mereka kedalam jenjang pernikahan yang menurut mereka salah satu cara mengatasinya adalah dengan perceraian.
Sebagian besar alasan pernikahan anak di bawah umur dikarenakan pergaulan bebas atau ekonomi keluarga yang pas-pasan, dan memutusnya dengan cara menikah di usia muda. Dengan pemikiran orang tua supaya sang anak dapat mandiri. Namun, hal itu justru menjadi beban baru bagi pasangan ini bagi kehidupan pernikahan anak mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi terlantar dan kurangnya kasih sayang serta perhatian dari orang tua. Sebab, orang tua sibuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Mirisnya juga tak jarang banyaknya bayi yang dibuang oleh orang tuanya karena faktor ekonomi keluarga.
Dengan demikian dilihat dari segi kesehatan atau medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Oleh karena itu, orang tua wajib berpikir matang-matang jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sabagai bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak yang kemudian dapat mengalami trauma. Budaya pernikahan dini sebenarnya dapat dipatahkan dengan informasi dan gagasan yang jelas mengenai dampak negatif yang akan dihadapi. Kita perlu meruntuhkan anggapan bahwa hubungan seks merupakan suatu hal yang tabu untuk diperkenalkan pada anak yang masih dibawah umur. Informasi ini dapat kita berikan kepada lingkungan beberapa terdekat anak.
Lembaga pendidikan adalah salah satu lingkungan yang paling dekat dengan anak. Informasi mengenai kesehatan reproduksi seharusnya dapat di berikan melalui lembaga pendidikan. Pengertian yang diberikan seharusnya perlu diperdalam dan tidak hanya fokus pada fungsi organ saja. Mereka juga perlu mengetahui dampak berhubungan seksual saat usia dini. Di samping itu, peran orang tua sangatlah penting untuk mengajarkan anak agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak di inginkan, terutama keinginan anak untuk menikah di usia muda.
Dengan demikian perihal menikah diusia dini tidak bisa dianggap hal yang sepele. Apalagi diusia seperti ini masih belum stabilnya emosi dan perasaan pada remaja. Apalagi disaat-saat seperti ini remaja masih mencari jati dirinya. Bisa jadi mereka menikah hanya karna ikut-ikutan teman sebayanya. Maka dari itu, perlu pendidikan khusus bagi remaja sebelum menikah. Perlu dipelajari berulang-ulang dampak positif dan negatif menikah usia dini. Dampak positifnya, memang kodratnya sebagai seorang muslimah bagi perempuan untuk menjaga auratnya, oleh sebab itu mereka berpikir menikah bisa menghindari mereka dari fitnah dan melindunginya dari gangguan yang bukan mahromnya. Namun disamping itu banyak pula dampak negatifnya, seperti waktu bermain tersita, bagi dampak pekerjaan untuk mencari perusahaan yang memperbolehkan berumah tangga sangat susah sekali dikarenakan rata-rata perusahaan memilih wanita single daripada wanita yang sudah berumah tangga ini didasari pada absensi yang berpengaruh dalam pekerjaan. Wanita yang single lebih minim absensi daripada yang telah berumah tangga. Wanita yang berumah tangga sering kali lebih memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan. Contoh jika wanita yang sudah berumah tangga akan sering absen jika anak atau pasangannya sakit dibanding wanita single. Peringatan Hari Keluarga Berencana pada 29 Juni ini seharusnya menjadi momentum untuk merencanakan berkeluarga dengan lebih matang. Diantanya dengan tidak menikah di usia dini.
——– *** ——–

Rate this article!
Tags: