Stop Polemik Data Kemiskinan

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang 

Belakangan ini, angka kemiskinan di Indonesia masih jadi perbincangan. Pasalnya ada sejumlah pihak yang menggunakan data berbeda untuk mengukur jumlah orang miskin yang ada di dalam negeri, sehingga menciptakan polemik dalam pembacaan data.
Semua itu terjadi dari rujukan laporan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan kemiskinan di Indonesia mencapai level terendah sepanjang sejarah, yakni dengan digit 9,82 persen. Merujuk dari angka itu, akhirnya menyulut banyak pihak yang menganalisis hingga pada akhirnya menuai kontroversi. Sebagian masyarakat mempertanyakan asumsi kemiskinan dan metodologi pencatatan yang dipakai lembaga tersebut sehingga menghasilkan angka satu digit.
Merujuk pakar ekonom Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan saat ini masih banyak pihak yang memiliki pandangan berbeda terkait angka kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak indikator untuk menghitung angka garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memiliki perhitungan untuk angka kemiskinan. Ada yang mengeluarkan statement 100 juta orang padahal data BPS 25,95 juta orang. Secara akademis yang disampaikan BPS itu ukurannya 2.100 kalori per hari, (Kompas, 4/8/2018).
Pro-kontra data kemiskinan
Terjadinya multitafsir mengenai garis kemiskinan yang digunakan oleh dunia. Saat ini dunia menggunakan indikator untuk garis kemiskinan yaitu Purchasing Power Parity (PPP) sebesar US$ 2. Perlu kita ketahui bersama bahwa barometer ukuran yang digunakan negara maju, seperti di Amerika Serikat (AS) sudah US$ 15 PPP nya. Itu artinya, barometer pengukuran garis kemiskinan sudah sangat berbeda dengan negeri ini. Memang berbeda jika ingin membandingkan. Setiap negara memiliki angka penghitungan garis kemiskinan yang berbeda.
Jadi dengan demikian kita harus bijaksana dalam membaca data. Jadi kalau membandingkan kemiskinan di tengah ekonomi dunia saat ini angka BPS 2100 kalori itu masih layak. Untuk membandingkan juga harus apple to apple, tak bisa hanya dengan membandingkan tanpa data atau perbandingan dengan negara lain yang lebih maju. Menjelaskan dalam membaca data atau metodologi yang digunakan untuk mengukur kemiskinan juga harus diukur dengan perkembangan dari realitas yang ada di masyarakat.
Sejumlah kalangan menilai kriteria miskin yang digunakan BPS tidak realistis karena terlalu rendah. Ambang batas kemiskinan yang terlalu rendah membuat jumlah warga miskin relatif kecil. Sebab, hanya penduduk yang miskin parah yang masuk dalam kategori tersebut.
Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut jika orang miskin di Indonesia masih sebanyak 100 juta. Kemudian Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menyebut jika kemiskinan di Indonesia naik 50 persen. Padahal data BPS menyebutkan jika angka kemiskinan per Maret 2018 25,95 juta atau terus menurun dibandingkan periode tahun-tahun sebelumnya, (SindoNews.com, 1/8/2018)
Berawal dari pernyataan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto inilah yang akhirnya menyulut polemik sampai saat ini. Menurut saya sebagai penulis sangat mengapresiasi atas keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi, karena kemiskinan single digit itu baru zamannya Presiden Jokowi. Pada dasarnya semua era pemerintahan Indonesia, kemiskinan itu turun. Satu satunya kemiskinan naik tinggi itu ketika krisis 1998 dan itu bukan salahnya pemerintah, tapi memang kondisi ekonominya yang luar biasa sehingga kemiskinan sudah 11 persen loncat lagi ke 24 persen, setelah itu turun lagi.
Fokus Kesejahteraan Masyarakat
Data BPS itu berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dilakukan 2 kali setahun pada Maret dan September. Susenas sudah berlangsung sejak era Presiden Soeharto dan kualitas informasinya diakui internasional karena tidak hanya hitung angka kemiskinan maupun angka ketimpangan, tapi juga bisa melihat apa saja komponen pengeluaran di keluarga miskin di kota maupun di desa, sehingga kita bisa tahu sebenarnya penyebab kemiskinan adalah inflasi.
Dengan kata lain, saya katakan sebagai penulis bahwa informasi valid soal kemiskinan adalah data Badan Pusat Statistik (BPS). BPS bekerja secara independen tanpa membawa kepentingan pemerintah. Seperti kita ketahui bahwa data kemiskinan itu kan sumbernya cuma satu yaitu BPS dan itu dilakukan dengan yang namanya Susenas.
Jadi kalau ada yang ini ngomong begini yang itu ngomong begitu, gampangnya lihat saja data dari orde baru, atau kalau mau nggak susah dari tahun 1999, ada semua dan itu konsisten. Konsisten dalam artian garis kemiskinannya terus berubah mengikuti perkembangan inflasi juga bahkan lebih tinggi dari inflasi.
Sekarang mungkin penurunannya mulai landai, mulai susah kenapa. Karena kemiskinan itu paling susah ketika kemiskinan itu tinggal sedikit, kenapa, susah. Makin susah kita menjangkau orang miskin terutama yang tinggal di daerah terpencil, yang sulit dijangkau dengan bantuan pemerintah.
Jadi tidak ada yang salah jika kita mengakui data BPS menunjukkan angka kemiskinan di Maret turun menjadi 9,82 persen dari 10,12 persen di September 2017, ini karena pemerintah memang bekerja keras memangkas kemiskinan. Apalagi selama ini angka kemiskinan selalu di atas 10 persen. Cuma masih ada PR yang mesti diselesaikan karena angka 9,82 persen masih setara dengan 26 juta jiwa.
Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Salah satunya, pemerintah saat ini memiliki kebijakan seperti bantuan sosial, program padat karya tunai hingga dana desa yang diharapkan bisa menurunkan angka kemiskinan. Tentu saja, hal ini juga harus dibarengi dengan upaya pemerintah mendorong daya beli masyarakat dengan cara yang lebih mudah. Itu artinya, jika daya beli sudah terupgrade dan ekonomi tidak turun pertumbuhannya bisa dipastikan angka kemiskinan akan terus turun. Tentu saja, kenyataan itu patut kita apresiasi bersama.
Jadi, jujur secara pribadi sebagai penulis, daripada kita sibuk membahas polemic soal data kemiskinan, lebih baik mengurusi cara untuk terus mengurangi angka kemiskinan tersebut. Kita harus kembali ke urgensi penurunan kemiskinan, yakni fokus bagaimana cara untuk menurunkan kemiskinan. Sebab, pada prinsipnya jika kemiskinan turun masyarakat akan sejahtera.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: