Strategi Masyarakat Adat Atasi Ancaman Krisis Pangan

Oleh :
Dewi Ayu Larasati
Alumni Pascasarjana Universitas Sumatra Utara
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Ada pepatah Jawa mengatakan, “Weteng ngelih pikiran ngalih, weteng wareg pikiran jejeg” yang artinya dalam keadaan lapar (kekurangan gizi) menjadikan manusia labil (goyah) dalam pertimbangan rasionya.
Masalah pangan adalah masalah umat manusia yang paling penting dalam sejarah peradaban manusia. Masalah pangan bukan hanya urusan perut semata, tapi juga dapat berpengaruh pada sektor lainnya, bahkan dapat mengancam stabilitas sosial politik. Sejarah perekonomian dunia mengajarkan bahwa lonjakan harga pangan bisa meruntuhkan suatu rezim politik.
Krisis pangan tengah menjadi isu utama global akhir-akhir ini. Bencana kelaparan dalam skala besar bahkan diperkirakan akan melanda seluruh dunia. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Jumat (24/6/2022) dikutip dari voaindonesia.com memperingatkan tentang adanya ‘risiko nyata” berbagai kelaparan akut tahun ini, dan bahwa tahun 2023 bisa lebih buruk lagi.
Hal ini juga ditekankan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam High Level Seminar G20: Strengthening Global Collaboration for Tackling Food Insecurity di Bali, Jumat (15/7/2022) dikutip dari katadata.co.id bahwa berdasarkan data World Food Programme (WFP) jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan akut mencapai 276 juta saat ini.
Data tersebut tentunya mengindikasikan bahwa dunia sekarang ini sedang terancam bahaya kemiskinan global baru. Akselerasi inovasi teknologi tidak serta merta dapat mengatasi kelaparan yang melanda banyak penduduk dunia.
Ada beberapa hal krusial yang menyebabkan meningkatnya risiko krisis pangan atau kelaparan di seluruh dunia saat ini. Pertama, efek disraptif dari pandemi Covid-19. Pandemi corona tak hanya menyebabkan krisis kesehatan, tapi juga telah melumpuhkan berbagai sektor perekonomian. Resesi ekonomi tersebut telah berkontribusi pada salah satu peningkatan kelaparan dunia terbesar dalam beberapa dekade.
Kedua, perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan secara global. Dalam laporan Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan Agustus 2019 lalu (dikutip dari mongabay.co.id) menyatakan bahwa perubahan ikim telah mengancam pasokan pangan dunia. Lebih dari 10% populasi dunia saat ini mengalami kekurangan gizi dan perubahan iklim akan memperburuk situasi tersebut.
Ketiga, konflik antara Rusia dan Ukraina. Rusia dan Ukraina adalah pemain besar dalam produksi pangan dunia. Sebagai negara yang terkenal dengan sebutan “keranjang roti dunia”, perang Rusia-Ukraina menghambat ekspor pangan secara signifikan. Akibatnya biaya pangan global dapat melonjak dan memangkas panen di masa depan.
Keempat, tren proteksionisme komoditas dari negara produsen pangan. Saat ini 22 negara pengekspor pangan sudah mulai menyetop ekspornya untuk cadangan pangan mereka (dikutip dari antaranews.com, 14/6/2022). Akibatnya, harga pangan kian melonjak hingga mendorong inflasi global lebih tinggi lagi. Ujung-ujungnya, risiko krisis pangan akan kembali meningkat.

Masyarakat Adat dan Ketahanan Pangan
Bangsa Indonesia memiliki beraneka ragam kekayaan alam dan masyarakat adat yang mengembangkan sistem ketahanan pangan. Namun sayangnya, potensi tersebut belum sepenuhnya tergali dan termanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat kita yang hidup di zaman modern saat ini. Akibatnya, Indonesia masih menghadapi tingkat kerawanan pangan, yang pada akhirnya bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat harus diimpor dari negara lain.
Tradisi lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak ribuan tahun lalu telah terbukti mampu menyediakan sumber pangan lokal secara mandiri, serta mampu memanfaatkan kekayaan alam secara bijak untuk memenuhi kebutuhan pangan. Berikut beberapa strategi tradisi lokal dalam menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun.

1.Tradisi Lumbung Pangan
Masyarakat adat atau hukum adat di berbagai wilayah sudah membuat lumbung pangan untuk menjaga ketersediaan pangan mereka. Mereka juga mempunyai pengetahuan luar biasa agar pangan yang disimpan bisa tahan lama tanpa pengawet kimia. Kearifan masyarakat hukum adat ini merupakan upaya mereka menjaga stok pangan termasuk jika terjadi wabah atau bencana, mereka masih bisa bertahan sangat lama.
Seperti halnya suku Baduy di Banten memiliki ‘leuit’ sebagai tempat penyimpanan hasil bumi padi atau hasil panen . Bagi masyarakat Baduy, ketahanan pangan sangat penting untuk dijaga karena hubungan mereka dengan dunia luar sangat terbatas. Untuk itu, orang Baduy berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Bagi masyarakat adat Minangkabau, lumbung tempat menyimpan padi dikenal dengan istilah ‘rangkiang’. Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang, yang diletakkan di halaman depan. Menurut AA Navis (1984:187), ‘rangkiang’ berasal dari kata ruang hyang Dewi Sri (Dewi Padi). Ada empat macam lumbung/rangkiang di Minang, yang fungsinya satu sama lain berbeda-beda. Pertama, ‘rangkiang sitinjau laut’ sebagai tempat menyimpan gabah (padi) yang akan digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang tak dapat dibuat sendiri. Kedua, ‘rangkiang si bayau-bayau’, yaitu tempat menyimpan padi usai panen dan dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Ketiga, ‘rangkiang si tangguang lapar’, yaitu tempat menyimpan padi cadangan yang dapat digunakan pada musim paceklik. Keempat, ‘rangkiang kaciak’, yaitu tempat khusus untuk menyimpan benih masa tanam berikutnya.
Masyarakat adat Bima di Nusa Tenggara Barat memiliki rumah tradisional yang disebut ‘Uma Lengge’ yang biasa dipergunakan sebagai lumbung untuk menyimpan hasil panen. Tradisi menyimpan hasil panen ke dalam ‘uma lengge’ menjadi tradisi penyelamat dari bencana kelaparan yang diyakini berlangsung sejak abad ke-8.
Masyarakat adat Batak Toba juga memiliki lumbung padi yang dibuat di dalam rumah masing-masing yang disebut rumah ‘sopo’. Padi atau biasa orang Batak menyebutnya ’eme’ adalah harta yang sangat berharga, sehingga semakin banyak stok lumbung padi di lumbung, semakin aman untuk menjalani hidup selanjutnya.

2.Tradisi dalam Pemanfaatan Lahan dan Hasil Bumi
Aturan penggunaan lahan di Minangkabau adalah berdasarkan pepatah “nan rato kaparumahan, tabu tumbuah dinan lereng, kok manggu kapakuburan, nan bancah ditanami sawah” yang mengandung arti bahwa lahan datar digunakan untuk perumahan, lahan miring ditumbuhi tanaman, lahan kering digunakan sebagai kuburan dan lahan basah digunakan untuk persawahan. Dari pepatah ini dapat diketahui bahwa masyarakat adat Minang sangat selektif dalam pemanfaatan lahan. Pola penggunaan lahan dilakukan dengan membagi kelompok fungsi berdasarkan kondisi lahannya.
Masyarakat adat Minang juga bertani sesuai musim tanam sehingga tanah akan cocok dan siap ditanami dan dapat tumbuh dengan optimal. Hal ini sesuai pepatah:” Ka ladang di hulu tahun, ka sawah di pangka musim, hasia banyak nkarano jariah, hasia buliah karano pandai”.
Warga Desa Adat Ngadas di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, juga menjaga tradisi leluhur dengan mempertahankan keberadaan pertanian dan menjaga keseimbangan alam. Larangan menjual tanah kepada warga luar desa pun disepakati melibatkan ketua adat Tengger dan para dukun. Mereka sepakat mempertahankan tradisi bertani di lereng Gunung Bromo dan Tengger Purba.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat pulau Haruku di Maluku Tengah mengenal peraturan hukum adat sasi, yakni larangan mengambil hasil alam tertentu sebagai upaya memelihara daya tahan hasil alam dan menjaga rusaknya populasi. Sasi dapat berlaku kepada sistem konservasi lainnya seperti sasi laut, sasi hutan, sasi sungai, atau sasi dalam negara.

3.Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan merupakan upaya untuk mendorong ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman berbasis sumber daya lokal. Nenek moyang kita telah menerapkan diversifikasi pangan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak tergantung pada satu jenis tanaman, tetapi beragam jenis.
Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi menjadikan rasi sebagai makanan utama sehari-hari. Rasi merupakan beras dari singkong dan diolah menjadi nasi. Beralihnya kebiasaan mengkonsumsi rasi diperkirakan sejak tahun 1918, berawal dari sulitnya memperoleh beras saat zaman penjajahan.
Masyarakat Sulawesi Tenggara yang mendiami pulau-pulau kecil seperti Wakatobi, Buton, dan Muna mulai dari nenek moyang juga telah menerapkan diversifikasi pangan seperti ‘kasuami’, ‘kapusu nosu’, dan ‘kambalu’. ‘Kasuami’ merupakan jenis makanan berbahan baku ubi kayu yang diparut, lalu dikukus., sedangkan ‘kapusu nosu’ adalah jenis makanan terbuat dari jagung yang dibuang kulit arinya, lalu dimasak dengan santan kelapa. Sementara ‘kambalu’ merupakan jenis makanan berbahan uwi yang diparut, kemudian dibungkus daun kelapa lalu dimasak.
Permasalahan ancaman krisis pangan sejatinya tidak dapat diselesaikan sendiri. Untuk itu diperlukan kolaborasi dan edukasi. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat gencar menggali lebih jauh konsep-konsep ketahanan pangan yang dimiliki oleh kebudayaan lokal. Tradisi lokal dianggap bisa menjadi solusi atau sumber inspirasi untuk menghadapi ancaman krisis pangan di tingkat global.

———- *** ———–

Tags: