Suap Hakim dan Gurita Mafia Peradilan

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FISIP UWK Surabaya, Penulis buku (2011) : Hukum dan Keadilan Masyarakat 

Tertangkapnya sejumlah hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh sangat memprihatinkan semua pihak. Para hakim seeprtinya tidak merasa jera untuk melakukan pelanggaran hukum. semakin banyak para penegak hukum, tak kecuali para hakim, semakin memperburuk wajah buruk dunia peradilan hukum kita.
Berbagai upaya represif melalui penegakan hukum OTT terhadap para hakim korup, ternyata tidak semakin menyurutkan para hakim yang lain untuk berhenti melakukan tindakan koruptif. Begitu juga tindakan preventif telah dilakukan Mahmakah Agung (MA). Tahun lalu, pasca ada seorang hakim terkena OTT KPK, MA mengeluarkan Peraturan MA (Perma) dan maklumat tentang pengawasan dan pemninaan hakim dan badan peradilan di bawahnya. Maklumat yang diteken ketua MA Hatta Ali saat itu sebenarnya merupakan ikhtar dan sikap tegas untuk mengatasi berbagai kasus yang mencoreng muka dan wibawa MA.
Tindakan preventif inipun belum mampu menekan syahwat koruptif para hakim. Apalagi jika dikaitkan dengan jumlah salari dan remunerasi yang sudah lumayan tinggi diterima hakim. Salari yang tinggipun ternyata juga tak mampu menekan syahwat koruptif para hakim. Kasus korupsi para hakim di bawah lingkungan MA belum selesai, kini wajah MA ditampar kembali dengan kasus serupa, yakni kasus korupsi yang melibatkan majelis hakim dan panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tipikal korupsi ini termasuk kategori corruption by greet (serakah). Mentalitas dan moralitas orang-orangnya sangat begitu buruk dan mudah tergiur tumpukan uang.
Guritas Mafia Peradilan
Seperti ramai diberitakan media masa nasional, masyarakat hukum Indonesia kembali dikejutkan oleh praktik kotor (baca: mafia peradilan) yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketua mejelis hakim, hakim anggota, dan seorang panitera pengganti terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dan telah dinyatakan sebagai tersangka kasus suap. Ketiganya diduga meneirma “uang haram” dari pihak swasta dalam perkara perdata No. 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel yang telah diproses di PN Jakarta Selatan. Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan barang bukti uang sebesar Rp 150 juta dan 47 ribu $Singapore. Uang yang diterima para tersangka merupkaan sebagian commitment fee dari total commitment fee yang jumlah milyaran rupiah. kasus suap hakim ini semakin menambah deretan panjang aparat penegak hukum yang terkena OTT KPK. Dan pada saat yang sama, semakin meruntuhkan citra lembaga peradilan kita.
Kasus korupsi di PN Jakarta selatan tersebut adalah salah bentuk mafia peradilan. Lembaga peradilan dan putusan lembaga peradilan sangat mudah diatur oleh pihak-pihak tertentu, yang memiliki akses kekuasaan dan tumpukan uang. Dengan terbongkarnya kasus dugaan suap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini semakin menegaskan bahwa mafia peradilan memang benar-benar ada dan belum lenyap di lembaga peradilan kita, bukan sekedar penampakan semata. Jika kondisinya seperti ini, apa yang bisa diharapkan dari dunia peradilan hukum kita ini?
Terbongkarnya praktik mafia peradilan di lembaga peradilan hukum kita ini semakin menambah daftar panjang kasus-kasus mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga peradilan kita mulai dari pusat sampai daerah. Dan praktik mafia peradilan ini bagaikan tumpukan gunung es, yang terlihat atau terbongkar baru permukaanya saja, faktanya bisa jauh lebih dari itu. Praktik ini sudah sangat menggurita dan berjalan sangat sistematik.
Perkuat Lembaga Pengawasan
Kita semua harus tetap optimis bahwa mafia peradilan bisa diberantas di lingkungan MA. Solusi yang tak pernah berhenti adalah solusi represif dan preventif. Solusi represif, dengan terus melakukan tindakan represif melalui penegakan hukum beserta sanksinya yang lebih berat. Salah satu sanksi yang mungkin bisa menjadi shock teraphy adalah dengan hukuman mati. Jika kita sepakat korupsi adalah extra ordinary crime, laiknya pidana narkoba dan terorisme, maka sudah saatnya hukuman mati direaliasikan, khusus kepada para penegak hukum.
Sedangkan solusi preventif, MA agung untuk terus menerus melakukan pengawasan yang lebih ketat, termasuk di dalamnya dengan memperkuat dan mengefektifkan lembaga pengawasan internal MA. Kasus di PN Jakarta Selatan, bisa saja cermin bahwa lembaga pengawasan internal MA kurang berfungsi optimal. Ikhtiar represif dan preventif tentu saja harus berjalan sinergis. Dengan demikian, harapan publik terhadap munculnya kembali praktik-praktik koruptif dan mafia peradilan di lingkungan MA dapat diminalisir secara signifikan.
Selain pengawasan internal, pengawasan ekstenal, baik yang dilakukan lembaga seperti Komisi Yudisial, media, dan masyarakat luas agar terus disemarakkan. Sebut saja misalnya, KY yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim. akan tetapi harus diakui kewenangan terbatas berdasarkan undang-undang, menjadikan fungsi pengawasan eksternal menjadi tidak optimal. Namun demikian, bukan berarti KY tidak melakukan fungsi pengawasan. Peran dan fungsi pengawasan tentu harus lebih dioptimalkan, termasuk peran dan fungsi media dan partisipasi masyarakat untuk ikut aktif memberantas mafia peradilan. Wallahu a’lam bis showab.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: