Subkultur Kekerasan di Perguruan Tinggi

Oleh:
Finka Novitasari
Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Alma Ata, Yogyakarta.

Permasalahan yang terjadi dalam lingkup perguruan tinggi kembali menyedot perhatian publik. Adalah kematian Gilang Endi Saputra, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) ketika mengikuti Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) Resimen Mahasiswa (Menwa).

Ihwal meninggalnya Gilang, lantas dikaitkan dengan bentuk kekerasan yang ‘mungkin’ dialaminya sebelum meregang nyawa. Publik beramai-ramai mengawal kasus tersebut hingga tuntas. Namun sampai saat ini pihak terkait masih mendalami kasus tersebut. Seperti diketahui bersama, Gilang meninggal pada Minggu (24/10) diduga akibat mengalami penyumbatan otak serta ditemukan tanda bekas kekerasan.

Berkaca dari kasus Gilang, permasalahan ini dapat dijadikan acuan pelbagai pihak untuk kembali berbenah. Sembari mengikuti perkembangan kasus yang menimpa mahasiswa semester 3 jurusan D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (KKK) UNS tersebut, patutnya kita merefleksikan diri, apa yang salah dengan pendidikan di negeri ini? Apakah maraknya kekerasan yamg terjadi pada lingkup perguruan tinggi merupakan bentuk gagalnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan?

Menilik kondisi pendidikan saat ini tampaknya masih banyak yang perlu dibenahi. Selain tempat berlangsungnya proses pendidikan, tujuan mulia dari lembaga pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan ke dalam diri peserta didik. Namun, lembaga pendidikan yang semestinya menjadi tempat menginternalisasikan nilai-nilai toleransi, solidaritas, saling menghargai sesama, serta menjadi pusat terbentuknya generasi penerus masa depan, kenyataannya masih jauh dari harapan. Cara-cara yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, sudah banyak tereduksi oleh perilaku yang tidak dibenarkan. Pelbagai kasus kekerasan masih marak terjadi di lingkungan lembaga pendidikan. Lantas, apa yang menyebabkan kekerasan-kekerasan masih terjadi di lembaga pendidikan-utamanya lingkungan kampus-hingga menjadi indikasi konkret program pendidikan karakter yang tidak berhasil?

Stratifikasi

Proses pelapisan masyarakat dalam bentuk strata atau kelas-kelas, bukanlah hal baru dalam kehidupan sosialisasi manusia. Menyitir apa yang dibilang sosiolog berkebangsaan Italia, Gaetano Mosca bahwa pembedaan di dalam masyarakat ini terkait dengan konsep kekuasaan, yakni ada sekelompok orang memang berkuasa atas kelompok orang yang lain. Stratifikasi sosial tidak hanya terjadi dalam kehidupan masyarakat, namun kultur stratifikasi tersebut juga menyebar ke dalam lingkup perguruan tinggi. Hierarki senior-junior berakar pada legitimasi dan pembenaran dominasi senior dan subordinasi kelompok junior.

Stratifikasi senior dan junior dalam lingkup kampus kian subur dari waktu ke waktu. Lazimnya, seseorang yang di-nisbat-kan sebagai senior adalah mahasiswa yang lebih dahulu mengenyam pendidikan di kampus, sedangkan junior adalah mahasiswa yang baru masuk.

Akan tetapi, mencermati realitas yang terjadi saat ini, paradigma senioritas harus direkonstruksi ulang. Penyebutan kata ‘senior’ awalnya hanya dinilai dari aspek usia dan tingkatan semester yang lebih tinggi. Lantas, apakah kedua hal tersebut dapat menjamin tingkat keilmuan yang lebih tinggi pula? Hemat saya, jawabannya relatif, bisa iya maupun tidak. Sebab, usia bukanlah satu-satunya tolok ukur kualitas diri seseorang.

Superioritas senior

Dewasa ini, dogmatis senior terus mengalir. Realitas senioritas kampus sebagian telah ternodai dengan tindakan yang otoriter. Senior seakan-akan ‘maha benar’ sehingga dapat menindas juniornya dengan sejumlah aturan yang ditetapkan. Superioritas senior telah terbentuk sejak lama, senior itu segalanya, sementara junior tidak memiliki arti apa-apa.

Senior yang selalu ingin mengaderisasi juniornya justru menjadi hal yang janggal, mulai dari sikap berkuasa sendiri dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukannya, hendak takhendak harus diterima mentah-mentah oleh junior. Anehnya lagi, senior ingin mencetak dengan bentuk dan kapasitas yang sama semua dalam dunia kampus.

Tradisi

Tidak lain tidak bukan, kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada juniornya, salah satu penyebabnya adalah tradisi turun-temurun yang diwariskan dari waktu ke waktu. Boleh jadi pelaku kekerasan saat ini merupakan seseorang yang dulunya adalah korban. Bila memang benar motifnya demikian, berarti inti dari kaderisasi sudah berbelok arah, bukan lagi proses mempersiapkan calon-calon penerus yang siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi, melainkan menjadi suatu ajang balas dendam.

Selain itu, kepercayaan bahwa kedisiplinan bisa ditumbuhkan dengan cara kekerasan sudah telanjur mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini kemudian menjalar dalam dunia pendidikan. Padahal, yang terjadi justru akan menanamkan jiwa-jiwa keras dan kepribadian diktatoris yang akan terus tumbuh dalam hati mereka. Bila tradisi buruk dan bobrok ini terus berlanjut, maka yang diwariskan oleh senior tidak lain hanyalah bentuk kesombongan, keegoisan, dan dendam masa lalu.

Matinya nalar kritis

Matinya nalar kritis menjadi konsekuensi logis akibat langgengnya subkultur kekerasan yang terjadi dalam lingkup perguruan tinggi. Junior tidak akan berani membuka ruang diskusi dengan senior, sedangkan senior akan menjadi antikritik terhadap juniornya. Mirisnya, hal ini terjadi di dalam lingkup kampus, di mana tempat berkumpulnya kaum terpelajar yang seharusnya selalu membuka ruang untuk saling bertukar pikiran.

Seorang mahasiswa diharapkan menjadi lokomotif kemajuan sebuah bangsa. Pun mahasiswa disebut-sebut sebagai agent of change, yang mana digadang-gadang menjadi penggerak perubahan ke arah yang lebih baik melalui pengetahuan, ide, dan keterampilan yang dimilikinya. Namun, faktanya adalah lahirnya mahasiswa bermental ‘preman’ yang terus menjamur di mana-mana.

Idealnya proses kaderisasi di kalangan mahasiswa harus menempatkan kebijaksanaan sebagai landasan ketika meletakkan nilai-nilai intelektualitas dalam setiap tindakannya. Apabila kebijaksanaan tidak dapat ditunjukkan, maka esensi dan eksistensi mahasiswa sebagai kaum intelektual patut dipertanyakan keberadaannya.

Menyoal subkultur kekerasan di perguruan tinggi dalam kedok kaderisasi, semakin hari kian masuk dalam kondisi kritis. Meminjam istilah dari H.A.R. Tilaar, bahwa hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Satu lagi, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang beradab bukan biadab.

Pola pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi terlalu berfokus pada penguasaan aspek kognitif, sedangkan pembentukan karakter kurang diperhatikan. Akibatnya, nurani menjadi tumpul, kurang memiliki empati dan solidaritas, egois, individualistis, kurang peka terhadap kondisi lingkungan, serta tidak memiliki sikap kritis dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi.

Pertanyaannya, kapan tradisi kekerasan yang terjadi dalam lembaga pendidikan bisa berakhir? Jawabannya, sangat relatif. Selama subkultur kekerasan masih terus dipelihara, hierarki serta relasi kuasa senior-junior masih terus dilanggengkan, mata rantai kekerasan ini niscaya tidak akan pernah putus. Akibatnya, lahirlah korban-korban baru yang akan merasakan getirnya proses kaderisasi.

———- *** ———-

Tags: