Subsidi Anggaran PTN-PTS Masih Timpang

Surabaya, Bhirawa
Meski jumlah Perguruan Tinggi Swasta(PTS) yang beroperasi sangat besar, namun alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih sedikit.
Anggaran yang ditujukan untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih jauh lebih besar dibandingkan yang disalurkan pada PTS. Padahal jika dilihat dari penerimaan mahasiswa ,PTS justru menampung lebih banyak.
Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta(APTISI), Budi Djatmiko mengatakan, jumlah PTS di Indonesia mencapai 3.217 institusi. Sementara jumlah PTN hanya sekitar 93. Namun, anggaran yang diberikan untuk PTS hanya sekitar 5 persen dari total pengeluaran seluruh PTN.
“Ketimpangannya jauh sekali, mungkin tiap PTS hanya dapat Rp 300 juta per tahun. Itu pun tidak semua PTS dapat. Kalau PTN besar sekali, bisa sampai triliunan,” katanya saat ditemui di Universitas Narotama Surabaya, Jum’at(14/2).
Budi juga menyatakan, peran PTS dalam menaikkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi cukup besar. Sebab, lebih dua per tiga jumlah mahasiswa di seluruh Indonesia ternyata berkuliah di PTS. “Jadi, peran PTS ini tinggi, namun belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah,” tegas Budi.
Dia pun menuding banyaknya orang PTN yang menduduki jabatan di Kemendikbud, menjadi salah satu faktor mengapa PTS belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. “Karena mereka belum paham dan tidak mengerti bagaimana repotnya mengelola PTS, akhirnya menjadi seperti itu. Tetapi saya sebagai pimpinan APTISI, meyakini juga ada PTS-PTS yang kurang bagus. Sehingga membuat citra PTS menjadi kurang baik,” ungkapnya.
Ketua DPR RI Marzuki Alie yang hadir dalam kesempatan tersebut menjelaskan, dalam masalah ketimpangan anggaran ini pihaknya tidak bisa menyalahkan pihak Kemendikbud.  Menurutnya kualitas PTS harus terus ditingkatkan ,apalagi, tidak sedikit PTS yang bersifat abal-abal.
Keberadaan PTS abal-abal itu, lanjut dia, menyebabkan PTS yang mempunyai kontribusi besar dalam bidang pendidikan ikut menjadi korban. Oleh sebab itu, pihak kementerian dan APTISI harus mengupayakan agar PTS abal-abal ini tutup.
“Itu yang perlu dilihat saat ini. Dan juga peraturan itu jangan bersifat administratif saja, melainkan melihat langsung di lapangan,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, aturan administratif belum tentu mencermikan kondisi riil yang ada di lapangan. Melihat kondisi nyata menjadi penting untuk mengetahui tingkat keseriusan yayasan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi.
“Dengan demikian bisa tahu apakah yayasan itu hanya menganggap ini sebagai bisnis atau memang untuk memajukan pendidikan,” katanya.
Marzuki pun menyarankan, PTS abal-abal ini harus didata kemudian diambil keputusan untuk ditutup atau dimerger dengan PTS yang serius menyelenggarakan pendidikan tinggi. “Supaya semuanya jelas saja mana yang serius dan mana yang tidak,” pungkasnya. [tam.hel]