Sugeng Wibowo : Promosikan TSS Selat Sunda dan Lombok

Sosialisasi TSS Selat Sunda dan Lombok. [m ali/bhirawa]

Surabaya. Bhirawa
Direktur Kenavigasian, Sugeng Wibowo menegaskan, perlu promosi untuk memperkenalkan proposal penetapan skema pemisahan alur pelayaran atau Traffic Separation Scheme (TSS) dan Ship Reporting System (SRS) di Selat Lombok dan Selat Sunda.
Karenanaya menurut dia, Direktorat Kenavigasian telah menggelar acara International Workshop on the Designation of Ship Routeing Systems & Ship Reporting System in Lombok and Sunda Straits and Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) in Lombok Strait di Kantor Distrik Navigasi Kelas II Benoa, Denpasar Bali selama seminggu, “yang dimulai sejak Senin sampai selama seminggu, “ungkapnya Selasa (10/4) kemarin.
Pada workshop ini lanjutnya, Indonesia mensosialisasikan proposal yang telah dibahas pada minggu sebelumnya kepada perwakilan dari negara-negara International Maritime Organization
(IMO), stakeholders, serta instansi terkait guna mendapatkan saran dan masukan untuk menyempurnakan proposal dimaksud sebelum nantinya diajukan pada Sidang IMO NCSR ke-6 pada tahun 2019 mendatang.
Untuk itu, kehadiran peserta workshop antara lain perwakilan dari kedutaan besar Filipina, Belanda, Italia dan India, Maritime and Port Authority of Singapore (MPA), Marine Departement of Malaysia, Australian Maritime Safety Authority (AMSA), INTERTANKO Singapore, serta Perwakilan dari instansi terkait seperti PUSHIDROS AL, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Luar Negeri bisa memberi sumbangsih menunjang penyempurnaan hal tersebut.
“Sedangkan sebagai narasumber, kami menghadirkan ahli dari IMO, yang pada kesempatan ini juga bertindak sebagai wakil dari Sekretaris Jenderal IMO, Mr. Osamu Marumoto, dan konsultan nasional kita yang juga berasal dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Dr. I Made Ariana,” kata Sugeng.
Selain itu, lanjut Sugeng, selain membahas mengenai Ship Routeing dan Ship Reporting Sytem yang diadopsi IMO, workshop ini juga akan membahas aspek-aspek teknis dalam penetapan TSS dan SRS di Selat Lombok dan Selat Sunda, serta penetapan PSSA di Selat Lombok.
“Penetapan TSS/SRS di Selat Lombok dan Selat Sunda selain penting untuk menjamin terciptanya keselamatan pelayaran, juga tak kalah pentingnya untuk perlindungan lingkungan maritim karena pada beberapa area di kedua wilayah tersebut terdapat kawasan konservasi laut, kawasan laut yang dilindungi, serta taman akuatik dan taman laut,” ungkap Sugeng.
Mantan kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Perak itu, juga mengingatkan, sebagai dua di antara selat-selat tersibuk di dunia, yang dilalui baik pelayaran nasional maupun internasional, padatnya lalu lintas di kedua Selat tersebut berbanding lurus dengan besarnya risiko kecelakaan kapal yang mungkin terjadi.
“Ada juga risiko kecelakaan kapal yang disebabkan karena batimetri atau kedalaman laut di Selat Sunda yang bervariasi. Selain itu, di sebelah timur Laut Selat Sunda juga terdapat dua gugusan karang yang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang melintas, yaitu Karang Koliot dan Karang Gosal,” terang Sugeng.
Sugeng juga berharap bahwa, mengingat kedua Selat dimaksud merupakan jalur transportasi yang sangat vital dan strategis bagi pelayaran internasional, maka pada workshop ini, Indonesia bisa mendapatkan masukan serta dukungan dari para perwakilan negara Anggota IMO, stakeholders, serta instansi terkait sehingga Draft Penetapan TSS di kedua Selat tersebut dapat diadopsi pada Sidang IMO NCSR ke-6 tahun depan.
“Khusus pada Selat Lombok, TSS akan berfungsi sebagai salah satu Associated Protective Measures (APMs) pada Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) di wilayah Selat Lombok, yang draft submisinya akan diajukan ke IMO pada Sidang Marine Environment Protection Committee (MEPC) ke-74 tahun depan,” imbuhnya.
Sedang kriteria kapal yang wajib berpartisipasi dalam SRS yang diajukan oleh Indonesia di Selat Lombok adalah semua kapal dengan ukuran 300 GT ke atas, kapal dengan panjang 30 m ke atas, kapal yang melakukan kegiatan towing atau pushing dengan ukuran gabungan 300 GT ke atas, atau panjang gabungan 30 m ke atas. Selain itu, terlepas dari ukuran GT dan panjangnya, kapal yang membawa barang berbahaya yang dapat menjadi polutan dan memiliki perlengkapan VHF sesuai resolusi MSC 43 tentang Pedoman dan Kriteria SRS, serta semua kapal dengan ukuran kurang dari 300 GT dan panjang kurang dari 30 m yang dilengkapi dengan VHF yang menggunakan jalur TSS dalam keadaan gawat darurat atau untuk menghindari bahaya.
“Kriteria kapal yang wajib berpartisipasi dalam SRS yang diajukan di Selat Sunda sama seperti di Selat Lombok,” tandas Sugeng.
Sugeng juga memberi gambaran, sebagai salah satu usaha perlindungan lingkungan maritim di bawah International Maritime Organization (IMO), hingga saat ini telah ada 17 (tujuh belas) PSSA yang telah disetujui oleh IMO tersebar di seluruh dunia.
“Indonesia sendiri telah berhasil menetapkan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melintasi perairan nusantara dan laut territorial, serta menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) dan Mandatory Straits Reporting System di Selat Malaka dan Selat Singapura bersama dengan Malaysia dan Singapura, melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan IMO,” pungkasnya. [ma]

Tags: