Sukoyo, Perajin Cobek Bertahan Hidup Bikin Cobek Berbahan Pasir dan Semen

Pekerja sedang menghaluskan cobek dan ulek dengan alat tradisional di Kelurahan Jetak Kabupaten Bojonegoro kemarin. [achmad basir]

Kabupaten Bojonegoro, Bhirawa
Sukoyo (50), Warga Kelurahan Jetak Kabupaten Bojonegoro ini menggantungkan hidup pada pembuatan ciri  (cobek) dan munthu  (ulekan). Usahanya itu, sudah ia geluti selama 26 tahun. Bahan dasar pembuatan cobek adalah campuran pasir dan semen.
Kemarin pagi, Harian Bhirawa coba bertandang ke rumah Sukoyo, satu-satunya perajin cobek di kampung itu. Dia memulai aktivitasnya di pagi hari. Awalnya dia membuat adonan pasir bercampur semen, sebagai bahan dasar membuat cobek. Seorang pekerja menambahkan semen lebih banyak daripada pasir agar menghasilkan adonan yang sangat kuat dan kokoh.
Sambil proses membuat adonan, Sukoyo membuat cetakan cobek dari tumpukan pasir. Setelah adonan sudah siap, pekerjanya memasukkan satu per satu adonan ke dalam cetakan yang sudah dibentuk di atas pasir tadi.
“Pembuatan dengan pasir dan semen pun tidak sembarang, bahkan membutuhkan proses berhari-hari. Komposisinya dua karung pasir satu karung semen,”ujar Sukoyo kemarin.
Setelah didiamkan sekitar satu jam dan cukup mengering, adonan dalam cetakan itu diberi cekungan. Setelah dijemur selama 3 hingga 4 hari, cobek yang sudah jadi, direndam di dalam air beberapa jam.
“Proses perendaman dilakukan agar cobek memiliki kualitas baik, dan sangat kuat seperti halnya cobek batu,” jelasnya.
Ia mengakui pembuatan cobek sudah berlangsung 26 tahun sejak 1991 hingga sekarang. Awalnya Sukoyo memiliki tujuh pekerja. Per harinya, ia mampu memproduksi sekitar 50 sampai 70 cobek serta ulek. Tujuh pekerjanya itu, kata Sukoyo, keluar karena sudah dapat ilmu membuat cobek berbahan semen dan pasir.  “Sekarang saya produksi bersama anak saya,” ucap pria kelahiran Kebumen Jateng itu.
Alat- alat yang digunakan untuk membuat cobek cukup sederhana. Yakni cangkul, gerinda dan mesin bubut modifikasi. Cangkul untuk mengaduk dan meratakan pasir dan semen. Sementara mesin bubut modifikasi digunakan untuk mencetak cobek. Sedangkan gerinda untuk menghaluskan cobek yang telah dicetak.
Hasil dari kerajinan, pemasarannya tidak hanya di pasar tradisional Bojonegoro saja. Melainkan sudah menembus pasar tradisional luar daerah. Misalnya, Blora, Ngawi, Madiun, Tuban dan Surabaya. Pengiriman cobek dan ulek buatannya, tergantung pada stok pelanggan. “Jika stok pelanggan hampir habis, kami langsung mengirim,” tegasnya.
Harga cobek buatan Sukoyo cukup terjangkau. Mulai dari harga Rp 10 ribu hingga Rp 45 ribu. Untuk pemasaran alat dapur tradisional, ia baru menggunakan jaringan teman. Belum pernah memasarkan secara online. Pada awal produksi, ia penah menggunakan jasa sales untuk memasarkan cobek buatannya itu. Namun, hasilnya dirasa kurang maksimal. “Alhamdulillah jaringan teman banyak membantu,” ucapnya.
Saat ini kendala yang dialami Sukoyo adalah cuaca yang tidak menentu dan sulit ditebak. Jika musim hujan, otomatis proses pengeringan menjadi agak lama. Namun jika musim kemarau, proses pengeringan agak cepat. Sementara Sukoyo tidak memiliki alat pemanas (oven) untuk proses pengeringan.  “Kalau musim hujan seperti ini, terkadang sampai dua hari baru kering,” pungkasnya. [Achmad Basir]

Tags: