Suksesi Ngayogyakarta Hadiningrat

yogyakartaSULTAN HB (Hamengkubuwono X) mengeluarkan Sabda Raja. Isinya, me-maklumat-kan nama gelar adat untuk putri tertua, GKR (Gusti Kanjeng Ratu) Pembayun. Dengan Sabda Raja itu, nama Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Enam frasa kata itu bukan sembarang nama gelar adat, melainkan sebagai pertanda suksesi. Berarti, GKR Pembayun, resmi menjadi Putri Mahkota di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kelak pada saat Sultan HB X lengser, GKR Pambayun akan menerima tongkat estafet sebagai Ratu (HB XI). Estafet di pucuk kekuasaan adat keraton Yogya itu menandai untuk pertama kalinya dipimpin oleh seorang perempuan. Sepuluh HB sebelumnya, seluruhnya laki-laki. Namun Sabda Raja, tidak mulus benar. Banyak kerabat keraton (termasuk adik kandung HB X) tidak sepakat. Bahkan keraton sebelah (Surakarta, Kesultanan Mangkubumi) juga tak sepakat.
Penyebab tidak sepakat-nya keraton Surakarta, adalah penyebutan satu frasa nama gelar paling belakang. Yakni, frasa kata “Mataram.” Dengan frasa itu, berarti GKR Pembayun bukan hanya Putri Mahkota di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Melainkan juga Putri Mahkota di keraton Kesultanan Mangkubumi, Surakarta. Padahal, kedua keraton memiliki “struktur” pemimpin yang berbeda, Raja-nya juga berbeda. Sehingga personel calon pengganti raja, niscaya juga berbeda.
Walau menilik sejarah, kerajaan Mataram, asalnya, memerintah dua keraton. Mataram (yang diwarisi sampat saat ini) didirikan oleh Sutawijaya, tahun 1588. Sutawijaya dinobatkan menjadi penguasa wilayah Mataram, oleh Sultan Pajang (Hadiwijaya). Sebelumnya, Sutawijaya adalah anak angkat Raja Pajang (kelanjutan Majapahit Islam).
Sebagai Raja, Sutawijaya memiliki gelar adat “Senapati Ing-alaga Sayidin Panatagama.” Artinya, Sutawijaya adalah Panglima Tertinggi sekaligus ulama pembimbing kehidupan beragama. Pada tahun 1613, cucu Sutawijaya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta. Mas Rangsang, bergelar “Sultan Agung Senapati Ing-alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama.”
Namun berdasarkan perjanjian Giyanti (13 Pebruari 1755), Mataram telah dipecah menjadi dua kelembagaan. Yakni, Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kesultanan Mangkunegaran, di Surakarta. Perpecahan ini merupakan siasat VOC (penjajah Belanda). Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, untuk pertama kali dipimpin oleh Hamengkubuwono I. Gelarnya bernama Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah.”
Sejak itu, tidak populer lagi adanya kerajaan Mataram, berganti menjadi kesultanan Ngayogyakarta (Hamengkubuwanan), dan kasunanan Pakubuwanan.    Namun pada tahun 1813, Ngayogyakarta Hadiningrat, terpecah lagi. Menjadi lembaga kesultanan  Ngayogyakarta, dan lembaga kadipaten Pakualaman. Syukur, sejak tahun 1950 keduanya bergabung kembali menjadi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta).
Perpecahan yang sama dialami keraton Ka-sunan-an Pakubuwanan di Surakarta. Seorang pewaris tahta Pakubuwanan (pangeran Sambernyawa)  membangun keraton baru, dan diakui sebagai Raja (bergelar Sultan Mangkunegara I). Jadi, kerajaan Mataram telah terpecah menjadi empat kerajaan. Masing-masing dua di Yogyakarta, dan dua di Surakarta (Solo). Masing-masing memiliki raja.  Bahkan Inggris dan Belanda (penjajah) mengakuinya semacam daerah otonom.
Maka, andai salahsatu keraton meng-klaim ke-Mataram-an, dapat dituding sebagai penyimpangan “paugeran” (batas otoritas adat). Dibutuhkan rembug (musyawarah) persetujuan dari seluruh trah Mataraman untuk klaim sebagai kerajaan Mataram. Syukur lagi, protes (kalangan internal keraton) dilakukan secara pasemon, dengan “mengadukan” HB X Allah SWT, dan berdoa di makam leluhur (raja-raja) Mataram di makam Imogiri.
Sehingga Sabda Raja HB X terhadap ke-putri mahkota-an GKR  Pambayun, cukup menyoret satu frasa akhir dari gelarnya. Tanpa kata Mataram, atau menggantinya dengan satu kata lain yang lebih tepat, yakni Ngayogyakarta Hadiningrat. Konon, Sabda Raja HB X, berhubungan dengan sabda terdahulu  (Sabdatama, perintah utama). Bahwa keraton Yogyakarta dan pura Paku Alaman, merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan. Ini berkait dengan jabatan gubernur DIY, yang harus laki-laki.

                                                                                                               ———   000   ———

Rate this article!
Tags: