Suksesnya Harlah Satu Abad NU Harus Mandiri

Gus Ulib

Gus Ulib: Jangan Sampai Terkesan Sukses Dekat Penguasa

Jombang, Bhirawa
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, KH Zainul Ibad As’ad mengatakan, gairah peringatan satu abad Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 2023 sangat terasa. Harlah Satu Abad NU jatuh pada 7 Februari 2023.
“Rasa gegap gempita 1 Abad NU di seluruh pelosok-pelosok yang khususnya di Jawa ini notabene sebagai simpul-simpul dari organisasi NU, saya keliling kemana-mana gairahnya sangat luar biasa,” ujarnya, Kamis (2/2).
Meski demikian, Gus Ulib sapaan akrabnya meminta untuk lebih cerdas lagi untuk menjadi orang NU yang sudah 1 abad ini. Secara keseluruhan, NU harus bisa lebih mewarnai dari kehidupan berbangsa.
“Karena NU sendiri didirikan oleh Mbah Hasyim (Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari) berkontribusi terhadap peradaban sosial bermasyarakat dan bernegara. Intinya, kalau kita seorang muslim yang hidup di negara Indonesia ini mampu dan bisa beradaptasi sekaligus menjadi pemilik dari bangsa ini yang tidak harus merubah identitas diri kita sebagai bangsa indonesia yang muslim, atau orang islam yang Indonesia,” bebernya.
Menurut Gus Ulib, ini perjalanan yang tidak mudah karena setiap kali dan masa ada perkembangan dari tanda kehidupan itu sendiri. “Kadang perkembangan ini diluar daripada kebiasaan-kebiasaan yang terpikirkan oleh masyarakat kita yang agamis dan kulturis,” imbuhnya.
Dari sisi ekonomi, kata Gus Ulib, teknologi dan pendidikan juga selalu berubah. Pada saat perubahan ini pemerintahlah yang punya peran. Terkadang peran pemerintah dalam menangkap suatu kemajuan itu orientasi pemerintah itu perekonomian.
“Karena kita negara yang dikatakan baru saja merdeka dibandingkan dengan Amerika atau kita yang setara dengan negara ASEAN menduduki status negara yang berkembang atau yang akan berkembang. Semua rata-rata memfokuskan pada faktor ekonomi. Nah, berarti pemerintah harus meningkatkan kualitas perekonomiannya dari sisi pendapatan, penerimaan dan upaya pengusahaan nilai-nilai ekonomi itu sendiri,” jelasnya.
Kadang hal semacam ini, tambah Gus Ulib, berbenturan dengan tradisi, budaya atau kultur yang berlaku di masyarakatnya. Datangnya tenaga asing, kata dia, teknologi asing dan peradaban asing yang kemudian tidak bisa menyalahkan semuanya. “Dan itu tidak bisa menyalahkan. Karena semuanya yang baru itu kita butuhkan agar bisa survive dalam mengikuti zaman,” terangnya.
Oleh karenanya, Gus Ulib menegaskan bahwa NU disini menjembatani dengan konsep-konsep yang sudah diberlakukan sejak dulu. Bagaimana ketika para muassis NU yang lebih mengadopsi cara dakwahnya para Wali Songo untuk bersinergi dengan tradisi dan budaya yang ada di Indonesia dengan memasukkan unsur-unsur agama islam. “Dan juga tidak alergi dengan peradaban baru dalam khasanah peradaban yang menyangkut sosial, ekonomi dan teknologi,” imbuhnya.
Pihaknya menekankan, yang perlu didorong kepada pengurus disini yakni memiliki kepekaan dan kepedulian. Sebab, hal ini tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus bersinergi.
“Potensi semacam ini para pengurus untuk mengolah menjadi suatu kebijakan-kebijakan yang kemudian disalurkan dan disosialisasikan ke para Nahdliyin yang ada di desa-desa dan daerah terpencil, pada ranting-rantingya di sisi organisasinya karena itu adalah pelaku langsung. Yang sekarang menghadapi suatu sentuhan langsung dengan peradaban dan teknologi yang menyebar seperti angin,” katanya.
Seperti pola-pola perdagangan yang sekarang memakai sistem online. Gus Ulib menjelaskan, sistem keuangan dengan online ini sudah hampir paham.
“Di desa itu kalau belanja apa-apa memakai online. Ini sudah bisa mengaplikasikan bagaimana sinergitas kita dengan paham-paham apapun jangan sampai melewati batas-batas fiqih. Halal haram kita yang terlampaukan karena ketidakmampuan kita dalam menterjemahkan ini,” ujarnya.
“Karena pemerintah sangat butuh NU. Berapa ratus juta Nahdliyin yang ada dan semua menggunakan aplikasi untuk belanja online. Berapa pendapatan yang didapatkan oleh pemerintah ini,” katanya.
Menurutnya, NU secara organisatoris telah mendeklarasikan kembali ke khittah. Akan tetapi secara personal atau figur-figur yang seharusnya menjadi panutan, menunjukkan sikap dan prilaku yang lebih mendekat kepada penguasa dan merasa nyaman.
“Ini terlihat langsung dalam mengambil keputusan yang menjadi bagian umara. Yang lebih dikhawatirkan muncul presepsi seakan-akan tanpa bantuan pengaruh kekuasaan, NU tak berdaya. Persepsi tersebut harus dibalik justru seharusnya kekuasaan tidak berdaya tanpa NU, karena NU representasi masyarakat yang menjunjung nilai-nilai Islam Wasathiyah atau moderat, Islam gaya NU yang cocok dan mampu menopang eksistensi NKRI,” ungkapnya.
Pengurus harus lebih peka yakni dengan kesederhanaan dan kebersahajaan harus dijaga. “Boleh kita mengikuti kemajuan, modernisasi kita jalani tapi kesederhanaan ini tidak boleh terabaikan. Kebersahajaan para ulama, organisasi kita itu jangan sampai terlibat politik praktis,” ulasnya.
“Akhirnya tidak mampu menjadi fungsi kontrol, hanya mengiyakan apa yang dikatakan pemerintah. Ini kan repot jadinya. Fungsi kontrol ulama ini kan amar ma’ruf nahi munkar. Ini pentingnya. Jadi ini yang dimiliki oleh NU lebih elegan. Elegan bukan berarti lembut mengikuti apa yang dikehendaki pemerintah dan orang yang mempunyai kekuasaan. Elegan itu kita bisa mencegah, menyuruh dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kegaduhan,” bebernya.
“Saya juga perlu memberikan banyak ungkapan-ungkapan rasa syukur itu penting dan perlu. Tapi jangan sampai hal yang sia-sia itu menjadi penyebab hilangnya rasa syukur itu. Hal yang sia-sia itu apa, menyelenggarakan sampai 24 jam ini mensia-siakan waktu, mensia-siakan harta ini justru tidak menandakan kebesaran NU disitu,” tandasnya. [geh.rif.iib]

Tags: