Tumpeng Sewu, Kearifan Lokal Asal Banyuwangi

7-FOTO KAKI nan banyuwangiBanyuwangi, Bhirawa
Masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, menggelar tradisi tumpeng sewu. Tumpeng sewu merupakan ritual adat selamatan massal yang digelar di Desa Kemiren, salah satu basis suku Osing, masyarakat asli Banyuwangi. Tujuannya: bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahanan yang mereka terima.
Tumpeng sewu diyakini sebagai selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul, disela-sela tumpeng sewu, Kamis (25/9).
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur kelapa). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah.
Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang bagus, yakni “ngucel-ucel barang sithik”. Dapat juga diartikan mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.
Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng Sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum makan bersama, warga Desa Kemiren mengawalinya salat maghrib berjamaah dan doa bersama.
Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.
Melengkapi tradisi tumpeng sewu, pada siang hari, warga desa melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara masal. Uniknya, semua kasur yang dijemur berwarna hitam dan merah. Warga Suku Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing agar terhindar dari segala jenis penyakit. Penjemuran kasur ini bisa ditemui di sepanjang jalan Desa Kemiren, mulai pagi hingga sore. “Juga akan digelar selamatan desa di makam Buyut Cili, leluhur desa,” kata dia.
Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, mengatakan tradisi tumpeng sewu bagian dari upaya merawat tradisi. “Kearifan lokal yang harus terus dirawat. Kearifan lokal sejatinya menyangga dan mendukung jalannya kehidupan ini,” kata Azwar Anas.
Sebelum menggelar tumpeng sewu, warga Osing melakukan ritual mepe kasur di Desa Kemiren. Ratusan kasur kombinasi warna merah hitam dijemur (mepe) di depan masing-masing rumah warga desa Kemiren. Sebagai lambang tolak bala penyakit dan keutuhan rumah tangga.
Pagi itu, Atemani 60 tahun tampak mengeluarkan kasurnya yang tersimpan dari dalam rumahnya. Tebal kasur hampir 25 cm itu membuat Atemani tak bisa membawa kasurnya sendirian. Dibantu tetangganya, perempuan ini menaruh kasurnya persis di depan rumahnya. Atemani tidak sendiri, aktivitas mepe kasur di depan rumah ini juga diikuti seluruh warga Kemiren.
Warna kasurnya pun seragam, kompak merah dan hitam. “Saat matahari terbit, orang-orang mengeluarkan kasur. Warnanya merah dan hitam. Setelah panas, lalu dipukul-pukul biar bersih. Setiap rumah ada yang mengeluarkan satu atau dua kasur,” ujarnya.
Mepe Kasur ini menurut kepercayaan masyarakat Kemiren yang bertujuan membersihkan diri dari penyakit dan tolak bala. Kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang.
Ritual ini digelar setiap tanggal 1 Dzulhijah dan bagian dari ritual bersih desa. Begitu matahari terbit, kasur segera dijemur di depan rumah masing-masing, sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Tujuannya agar dijauhkan dari balak dan penyakit.
Umumnya kain yang digunakan warna merah dan hitam. Merah di bagian samping kasur, dan hitam di atas dan bawah kasur. “Merah melambangkan berani dan hitam simbol kelanggengan rumah tangga. Biasanya tiap pengantin baru diberi kasur warna ini. Seperti punya saya yang dijemur ini, sudah berumur 48 tahun mulai saya kawin,” kata Atemani dengan logat Osingnya kental. [nan]

Keterangan Foto : Warga Osing di Desa Kemiren ketika menjemur kasur sebelum menggelar tumpeng sewu. Agenda rutin menjemur kasur ini setiap tahun menjelang Iduladha atau masuk bulan Dzulhijah kalender Islam. [nan/bhirawa]

Tags: